🌙 13. Kepada Rasa Perhatian 🌙
"Nanti malam sahur hari pertama, tapi kamu malah sakit gini. Kalau enggak kuat jangan ikut puasa dulu."
"Hmm, iya bawel." Syabira mendelik. Menyikut perut Raga yang dia papah sampai lelaki itu mengaduh sakit.
"Dikhawatirin malah ngatain bawel!" Semburnya. Wajah Raga yang pucat malah membias senyum, sakit di badan seketika tidak terasa mendapati Syabira yang ternyata khawatir dengan keadaannya. Sedangkan mulut Syabira kicep seketika. Antara tidak sadar sama keceplosan memang bedanya sangat tipis.
Inikah definisi sakit tapi malah bahagia? Batin Raga.
Syahdan ....
Mobil yang dikemudikan Bang Fad sampai juga di klinik Permata. Raga dibantu Bang Fad turun langsung menuju ruang periksa umum. Dokter jaga segera menangani setelah Raga dites suhu badan dan tensi darah oleh seorang perawat.
"Panasnya 39,8 derajat." Perawat menjelaskan pada dokter. Raga ikuti semua arahan dokter untuk berbaring saat diperiksa, termasuk membuka mulut lebar-lebar.
"Perut sebelah kiri sakit saat ditekan ya?" Raga mengangguk sekilas dengan pertanyaan dokter. "Kepala pusing, jantung berdebar-debar?" Lagi, anggukan singkat Raga berikan. Kepalanya diserang pening hebat, sampai susah memproduksi banyak kata.
"Oh, nggak pa-pa ini, gejalanya biasa seperti ini." Dokter menjelaskan singkat.
"Saya sakit apa, Dok?"
"Demam cinta ciri-cirinya begini, Pak." Selera humor dokter lumayan tinggi juga. Raga dibuat senyum-senyum tidak jelas oleh celoteh dokter. Syabira yang menunggu di sebelahnya berdecih sebal.
"Bercanda ya, Pak. Nggak pa-pa, cuma gejala asam lambung. Jangan telat makan, jangan minum es, apalagi makan pedas, asam dan yang mengandung minyak tinggi. Nanti saya kasih obat untuk lambungnya, diminum sebelum makan, ya." Dokter laki-laki setengah tua itu menuliskan resep pada buku rekam medik pasien.
"Kalau belum kuat, saya sarankan istirahat di sini saja dulu, Pak. Nanti biar diinfus vitamin." Dokter memberi saran.
"Iya Dok, setuju!" Bukan Raga yang menjawab, tapi Syabira.
"Tuh, Pak. Kata istrinya setuju," sahut dokter. Mata Syabira membeliak mendengar kalimat sang dokter. Dia mengutuk, salahnya sendiri, kenapa bibirnya lancang sekali mengambil keputusan tanpa bertanya pada yang sakit.
"Saya bukan istrinya dia, Dok," ralat Syabira.
"Oh, maaf. Saya kira istrinya. Habis wajahnya mirip. Katanya kalau mirip itu jodoh." Dokter menjawab Syabira dengan kelakar.
Di ranjang ruang periksa. Lelaki yang terbaring dengan wajah pucat itu malah antusias menanggapi tawaran dokter. Ada senyum yang coba disembunyikan Raga.
"Baik Dok, saya terima saran Dokter." Raga senyum-senyum dikulum. Dokter segera instruksikan perawat untuk memasang infus pada pergelangan tangan Raga. Sementara Bang Fad yang tadi sengaja menunggu di luar, kini beranjak masuk ke ruang periksa mencari tahu keadaan Raga.
Kakaknya Syabira itu mendekat pada bed tempat Raga berbaring, "Gimana, Dek?" Pertanyaannya mengarah pada Syabira.
Syabira mengangkat kedua bahu, "Ya itu, seperti yang Abang lihat. Tepar dia. Bandel sih, suka telat makan!" Cibir Syabira.
"Kamu kenapa tahu banget tentang saya, Sya? Akhir-akhir ini saya memang suka telat makan." Raga menyahut santai.
Syabira mengangkat sebelah alis, "Aku cuma nebak, ya! Enggak usah ge-er kamu!!" Pipi Syabira seperti terbakar rasanya. Merah padam menahan malu dan salah tingkah.
"Bang Fad, ibu dulu waktu hamil Syabira ngidamnya apa ya? Kenapa anak gadisnya jadi super garang begini. Galaknya subhanallah." Syabira sudah siap melayangkan tangan pada lengan Raga, tapi Bang Fadli melarang dengan gelengan keras.
Syabira terdiam. Bibirnya bergemelutuk menahan rasa gemas ingin 'menganiaya' Raga.
Senyum tipis lelaki yang berbaring di bed itu mengembang. Raga paling suka melihat ekspresi kesal gadis di sebelahnya.
"Bang Fad, terima kasih banyak." Raga bicara pada Fadli. "Maaf sudah merepotkan," lanjutnya tanpa menoleh sedikit pun pada Syabira.
"Hmm, sama-sama. Saya juga minta maaf atas salah paham kemarin."
Raga mengangguki rapalan maaf Bang Fad.
"Sya, Abang pulang dulu ya. Hana WA terus, katanya perutnya sakit." Bang Fadli pamit, Syabira sontak berdiri.
"Ayo, Bang," Ajaknya pada Bang Fadli.
"Lho, kamu di sini saja dulu, tungguin dia, Sya. Kasihan, masa ditinggal sendiri."
Syabira merekam kalimat Bang Fadli barusan. Apa dia tidak salah dengar? Di sini, berdua satu ruangan dengan Raga? Yang benar saja. Otaknya Bang Fad ini kadang-kadang suka eror memang. Sudah tahu Syabira ilfil sama Raga, malah disuruh mendekat.
"Nggak pa-pa, kalau Syabira mau pulang sama Bang Fadli, saya di sini sendiri enggak masalah." Raga angkat suara - tapi terdengar seperti basa-basi. Ngarepnya memang Syabira tinggal di situ dulu menemani. Ah, dasar Raga!
"Emang aku mau pulang! Yakali nungguin kamu di sini. Ogah!" Sembur Syabira geram.
"Dek, kasihan lho dia, kalau da apa-apa nggak ada yang nungguin. Nanti biar Abang yang izinin sama ayah-ibu, sahur nanti Abang anterin makanan, ya?"
Syabira memutar bola matanya, malas sekali harus duduk berdekatan dalam satu ruangan dengan Raga. Tetapi kalimat Bang Fad tidak salah juga. Dia dan Abangnya yang membawa Raga ke klinik ini, kalau ada apa-apa, pasti dia duluan yang akan dicari. Antara ikhlas dan tidak Syabira menjawab titah abangnya dengan anggukan kecil.
"Tapi bilangin sama dia, suruh jauh-jauh, jangan dekat-dekat sama Sya." Syabira melayangkan syarat - langsung disahuti oleh Raga.
"Kebalik Sya, yang ada kamu jangan mendekat. Saya kan tiduran di sini, yang bisa mondar-mandir itu kamu."
"Ish, manusia satu ini--"
"Sudah Sya, jangan berantem. Abang balik dulu ya, hati-hati, kalau ada apa-apa langsung telpon Abang. Abang izinkan Syabira bersama dia, tapi jangan lupa buat selalu jaga jarak, oke?" Pamit Bang Fadli disertai beberapa wejangan. Syabira mengangguki semua titah abangnya dengan perasaan kurang ikhlas. Disuruh jaga jarak, tapi bersamaan malah dikurung di sini bersama Raga. Sebentar, ini konsep pemikiran Bang Fad macam apa, sih?! Syabira jadi uring-uringan sendiri.
Hening. Sunyi lebih mendominasi ruang tempat Raga berbaring. Di sudut lain, duduk di sofa tunggal Syabira fokus pada layar ponsel pintarnya. Lebih baik main game guna membunuh bosan yang mulai melanda. Syabira sengaja enggan mengajak berbincang, agar Raga bisa istirahat dan lekas pulih. Kalau lelaki itu cepat pulih, maka dia akan cepat pergi juga dari klinik ini - serta dari sisi lelaki itu.
Dua jam berlalu, cairan infus di tangan Raga berkurang banyak. Ingin beranjak ke kamar kecil, Raga inisiatif mencopot selang infus dengan hati-hati setelah menegakkan badan bersandar pada kepala bed.
Mata Raga memindai sosok yang meringkuk di sofa. Tidur dengan posisi duduk. Raga turun dari pembaringan, mendekat pada sofa tempat Syabira tertidur pulas. Ini kali kedua dia mengamati gadis itu dari jarak dekat saat Syabira memejamkan mata. Raga ulas senyum lebar. Rasa panas tubuhnya sudah berangsur turun. Kepalanya yang berat sekarang sudah normal kembali. Tetapi deguban jantung iramanya masih meletup-letup saat memangkas jarak dengan Syabira. Raga ambil selimut tebal yang ada di bed kemudian memakaikan pada Syabira, sekaligus membetulkan posisi tidur si gadis yang tadi duduk menyandar punggung sofa, menjadi berbaring dengan bantal di kepala. Raga menepati janjinya, saat Allah mempertemukan kembali dengan Syabira, dia ingin menebus kesalahan sikapnya di masa dulu, dengan menjadikan perilakunya sangat manis pada Syabira.
Syahdan, Syabira yang tertidur di sofa perlahan membuka kelopak mata saat rungunya sayup-sayup mendengar suara tadarus dari masjid yang dekat dengan klinik.
Rekaman suara mengaji melantunkan lafadz-lafadz Kalam Allah memang biasa diputar saat menjelang waktu sahur tiba. Biasanya diselingi dengan suara lantang yang menyerukan agar orang-orang bergegas melaksanakan makan sahur.
Syabira lirik jam di pergelangan tangan. Pukul tiga dini hari. Saat akan menegakkan duduk, Syabira baru merasai sesuatu. Posisi tidurnya berubah dari yang semula duduk sekarang kakinya terangkat berselonjor pada ujung sofa, serta kepalanya terganjal bantal. Badannya juga terasa lebih hangat karena terbebat selimut. Kedua netranya merangkum sosok yang tidur di bed. Raga tidur meringkuk tanpa selimut dan bantal.
Perasaannya ikut menghangat oleh sikap Raga. Syabira mau tidak mau harus mengakui bahwa perhatian Raga padanya memang sangat manis. Padahal selama ini sengaja sudah diketusi, digalaki dan sebagainya, tetap sikap Raga tidak berubah, apalagi menjauhinya.
"Assalamualaikum ..." Sebuah suara menginterupsi gerak Syabira yang tadinya akan beranjak turun dan hampiri Raga. Suara Bang Antok, tapi tidak sendirian karena lantunan salam terdengar berbarengan beberapa orang.
"Wa'alaikumussalam," sahut Syabira. Matanya membeliak mendapati ibu dan ayah serta Bang Antok dinihari begini datang ke klinik.
"Sya, sahur dulu. Ibu bawa makanan sengaja mau nemenin kamu sahur di sini." Ibu duduk di sofa mulai membongkar ransum bawaannya
"Ibu sama ayah ngapain ke sini?" Edaran mata Syabira memindai ayah dan ibu bergantian. "Bang Antok juga? Ngapain sih, rame-rame, kayak apaan aja," dengkus Syabira.
Ibu mencubit pelan pipi Syabira sembari tersenyum, "Anak ibu jangan galak-galak, sana cuci muka terus kita sahur. Ibu sama ayah juga sekalian mau jenguk Nak Raga, kata Fadli sakitnya lumayan parah." Mata ibu memindai Raga yang masih terpejam.
Kening Syabira bergelambir karena bingung. Sikap Bang Fad juga kadang aneh. Setelah baku-hantam dengan Raga, lalu kemarin malam membiarkannya semalaman di ruangan ini bersama Raga, sekarang mengatakan pada ayah ibu kalau Raga sakitnya parah. Plin-plan! Setelah melarang dekat, sekarang seperti menyodorkan adik perempuannya pada Raga.
"Cuma magh, Bu, nggak usah dikhawatirkan. Syabira aja ini yang harus ibu cemasin, semalaman tidur di sofa, sakit semua badan Sya," keluh Syabira.
Yang dibicarakan rupanya terbangun mendengar ruangannya ramai suara orang saling bersahutan dalam obrolan. Raga tersenyum rikuh pada ayah dan ibu. Sungkan.
"Ayah, Ibu, Bang Antok, kenapa repot-repot ke sini? Saya baik-baik saja."
"Baik-baik, tapi ngerepotin orang!" Syabira menyela.
"Iya, maaf ya, Sya."
"Sakit semua badanku gara-gara nungguin kamu!"
"Nanti aku pijitin." Raga hanya bercanda. Mana mungkin memijit Syabira. Baru mendekat saja paling sudah kena gampar.
Dari tempatnya duduk Bang Antok menimpali, "Halalin dulu kalau mau main pijit-pijitan!"
🌻🌻🌻
Tabik
Kachan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top