🌙 12. Kepada Dia Yang Mendekat 🌙


Ayunan kakinya melunglai, tatapan kedua pelupuk mata-nya melapuk. Ingin dihindari tapi rasa cemas itu terkemas rapi di dalam isi kepala. Meruangi perasaan. Mengacak-acak sudut hati dengan penuh kesadaran. Syabira harus mengaku kalah oleh pikirannya sendiri yang terus mengarah pada sosok Raga. Ya, dia didera rasa khawatir yang membumbung tinggi. Ah! Menyebalkan.

Syabira melangkah pulang dari masjid usai melaksanakan tarawih hari pertama. Dalam benaknya ada pelbagai pertanyaan, kenapa Raga tidak terlihat, apa laki-laki ber-rahang tegas itu tidak ikut menyambut tarawih hari pertama? Bahkan bubar salat Syabira menunggu di pinggir masjid hanya untuk mengamati setiap jamaah laki-laki yang keluar, tetapi tidak ada Raga di antara semuanya. 

Apa laki-laki berbadan atletis itu benar sedang sakit? Batin Syabira bertanya sendiri.

"Dek, ngelamun aja dari tadi?" Tanya Mbak Hana yang berjalan di sisi Syabira. Dia menggeleng pelan. Sorot mata Syabira menyirat layu.

Raga sialan! Kenapa harus kepikiran. Batin Syabira merutuk.

Tadinya sudah berniat tak acuh. Peduli apa dengan laki-laki penguntit yang selalu membuat jengah pandangan Syabira. Tuhan juga sepertinya sengaja sekali ingin menimpakan ujian sabar dengan mempertemukannya kembali dengan Raga. Entah ada rahasia takdir apa di balik pertemuan tak terduga ini.

Raga itu ... adik kelas yang selalu jail dan mengganggu  saat di bangku putih abu-abu dulu. Setelah sekian tahun, laki-laki yang terpaut usi dua tahun di bawah Syabira itu berada dalam lingkup yang sama, tapi dengan keadaan dan penampilan berbeda. 

Ya, memang, Raga bukan lagi cowo alay dan kucel seperti zaman SMA dulu. Malah banyak perubahan drastis sampai membuat Syabira melongo, awalnya tidak mengenali laki-laki dengan tinggi badan 180 senti meter itu. Setelah menekuri wajah dengan garis tegas - dan yang khas sekali Syabira ingat adalah, mulut pedasnya saat di kantor, baru dia ngeh kalau sosok yang sedang menatapnya dingin adalah Ragantara Sadewa.

"Nak, nanti malam sudah sahur, Ibu boleh minta tolong sama kamu?"

"Iya, Bu. Apa?" Sahut Syabira yang sedang fokus menatap layar ponselnya. Berharap ada pesan masuk dari ... Raga. Eh.

"Ini." Ibu menunjuk susunan rantang yang ada di tangannya. "Anterin makanan buat teman kamu itu ya, Ibu nggak lihat dia tadi di masjid. Tadinya mau ibu suruh mampir ke rumah. Ini sebagai ucapan terima kasih, kemarin  waktu kesini sudah bawain banyak kue, sedikit masakan ibu buat dia sahut nanti," sambung ibu menjelaskan. Syabira mendengkus. Bukan apa-apa, karena jam sudah mengarah ke pukul sembilan malam, dia malas keluar rumah. Sudah melepas hijab dan mengganti gamis dengan piyama santai.

"Ayo Dek, biar Bang Fadli temenin. Sekalian Abang mau minta maaf sama dia." Bang Fadli menukas. Syabira mencerna kalimat Bang Fadli. Apa dia tidak salah dengar? Abangnya yang memiliki ego tingkat tinggi, mau minta maaf pada seorang Raga?

"Abang nggak lagi bercanda, kan?" Syabira perhatikan airmuka Bang Fadli. Fadli yang masih mengenakan sarung dan baju kokoh mengulas senyum tipis dengan gelengan pelan.

"Serius! Udah ayok, keburu malam, nggak enak bertamu malam-malam ke rumah orang," ajak Bang Fadli.

Syabira mengangguk dan beranjak dari duduknya. Satu lagi campur tangan Tuhan yang seolah menggiring Syabira untuk bertemu dengan Raga.

"Bentar Bang, Syabira pakai jaket sama pasmina dulu."

Konon, katanya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Pasti semua yang terjadi sudah atas kehendak Rabb-nya. Syabira percaya sih, tetapi soal Raga, dia masih ragu, apalagi riwayat lelaki itu, yang hobi menguntitnya sejak dulu. Dalam isi kepala Syabira muncul teori konspirasi; jangan-jangan selama ini Raga selalu tahu setiap tindak tanduknya? Atau jangan-jangan sudah lama Raga menyewa detektif untuk memata-matainya? Kenapa bisa satu kantor? Kenapa juga bisa satu kompleks rumahnya dengan Syabira? Pikiran Syabira mulai ngelantur rupanya.

"Dek, Abang minta maaf, ya." Suara Bang Fadli menembus rungu, membuyarkan pemikiran Syabira soal teori konspirasi ala dirinya. Dia dan Bang Fadli melangkah beriringan menyusuri trotoar menuju kediaman Raga.

"Hmm, iya. Syabira udah maafin Abang sejak kemarin. Sya juga minta maaf ya, Bang. Sudah ngelunjak sama Bang Fad." Berjalan beriringan dengan sang kakak, Syabira menuju rumah Raga yang terletak di blok A.

Bang Fad menggandeng tangan Syabira, satunya menenteng rantang berisi masakan ibu untuk Raga, "Abang salah besar menilai kamu. Tadinya Abang percaya saja dengan kata-kata Arman, dia bilang tiba-tiba kamu yang membatalkan pernikahan. Kemarin saat ingin minta maaf secara langsung sama dia, Abang datang ke apartemennya. Abang kaget sekali mendapati kenyataan yang sebenarnya, Sya," aku Bang Fadli. Syabira menghela napas lega. Akhirnya Bang Fadli tahu dengan sendirinya tanpa dia harus repot menjabarkan laki-laki macam apa Arman itu.

"Sudah ya, Bang. Nggak usah diterusin. Itu artinya Allah maha baik, ditunjukkan yang sebenarnya sebelum semuanya terlanjur."

"Hmm, tapi Abang malu sekali sama kamu. Sama Bang Antok, apalagi sama ayah-ibu. Sebenarnya saat kamu minta maaf tadi sore, ingin sekali Abang menarik kamu untuk duduk di sebelah Abang dan Abang yang harusnya minta maaf, tapi karena terlalu malu sama kamu, makanya Abang hanya bisa diam." Bang Fadli berkata dengan tulus. Angan Syabira menampilkan kembali ingatan saat dia minta maaf pada Bang Fadli sore tadi. Oh, jadi karena Bang Fadli sedang dikuasai rasa malu, makanya hanya diam, tidak merespons ucapan maaf adiknya.

Syabira menggeleng pelan, "Udah ya, Bang. Yang penting sekarang kita enggak salah paham lagi. Syabira janji, nggak akan cerita sama siapa-siapa soal Arman. Lagipula alasan aku dari awal enggak mau cerita karena menghargai Abang, Syabira enggak mau Abang malu di depan keluarga kita, enggak  mau Bang Fad ngerasa bersalah karena udah salah pilih Arman."

"Makasih ya, Dek." Syabira tersenyum menyambut rapalan terima kasih abangnya.

Larut dalam obrolan, tidak terasa kedua kakak-beradik itu sampai di tempat tujuan. Rumah besar dua lantai dengan pagar berwarna putih tulang tersebut terlihat menyala terang. "Yang ini kan, Sya, rumahnya?" Tanya Bang Fadli. Syabira mengendikkan bahu. Dia sendiri baru pertama kali menghampiri rumah Raga.

"Bismillah, semoga benar, Bang." Syabira memencet tombol bel. Beberapa kali baru terdengar bunyi gembok dibuka.

Perempuan setengah tua dengan gamis batik dan kerudung bergo menyambut Syabira serta Fadli, "Cari siapa, Mbak, Mas?" ucapnya bertanya dengan sopan.

"Assalamualaikum, Bu, ini benar rumahnya Pak Raga?" Rapalan salam disertai pertanyaan meluncur dari bibir tipis Syabira.

"Oh, temannya Mas Raga ya, Mbak? Iya betul, Mas Raga-nya ada di kamar. Mari silakan masuk," ajak perempuan setengah tua tersebut. "Saya Bi Rum, panjangnya Ningrum, tapi biasa dipanggil bibi sama Mas Raga, saya yang bantu-bantu di rumah ini, Mbak, Mas." Tanpa ditanya perempuan yang minta dipanggil Bi Rum itu bercerita pada Syabira dan Fadli.

"Oh iya, Bi, salam kenal, saya tetangga beda blok. Rumah kami ada di blok C, mau anterin ini buat Raga." Syabira mengangsurkan rantang pada Bi Rum. Setelahnya Syabira berniat langsung pulang tanpa menemui Raga. Tetapi Bi Rum kembali mengatakan bahwa sejak pulang tadi sore Raga masuk kamar dan belum keluar lagi.

"Tadi pas saya pamit mau tarawih, Mas Raga bilang lagi nggak enak badan. Rebahan aja itu orangnya, Mbak. Saya jadi khawatir Mas Raga sakit."

Syabira terusik. Tadinya mau bodo amat, tapi nuraninya berontak. Hatinya diruangi sedikit cemas mendengar Raga yang katanya jatuh sakit.

"Sebentar ya, saya coba panggilkan Mas Raga, Mbak sama Mas silakan duduk dulu." Bi Rum menunjuk sofa ruang tamu, sejurus melenggang pergi ke dalam.

Lima menit kemudian Bi Rum tiba kembali di ruang tamu, "Mbak, Mas, kata Mas Raga disuruh ke kamarnya saja," ujarnya pada Syabira dan Fadli. Kedua kakak-beradik tersebut saling pandang sejenak. Agak ragu, tapi akhirnya Syabira beranjak melangkah, mengikuti ayunan kaki Bi Rum.

"Assalamualaikum," ucap Syabira dan Fadli bersamaan. Pemandangan pertama saat pintu kamar terbuka lebar adalah sosok Raga yang meringkuk dengan bebatan selimut tebal dari ujung kaki sampai sebatas leher. Berusaha menegakkan badan saat tahu kedua tamunya memasuki ruang privasinya.

"Wa'alaikumussalam," sahut Raga dengan suara serak.

"Nggak usah duduk kalau enggak kuat!" Suara Bang Fadli menggema. Menahan Raga yang berusaha ingin duduk. Lelaki itu menahan sakit, terlihat dari kernyitan wajahnya.

Seulas senyum terbit dari wajah tampan yang berhias pucat itu, "Kenapa repot sekali. Makasih ya, Sya." Mata legam Raga berserobok dengan manik cokelat Syabira.

Tidak terbantahkan bahwa ada jelaga kecemasan memancar dari netra Syabira, "Kamu sakit?" Tanyanya dengan nada khawatir.

Bang Fadli duduk di tebing ranjang king size milik Raga. Tangannya terulur memeriksa suhu badan teman adiknya, "Panas sekali, Sya," ujarnya.

"Tolong Bang, kalau mau ngajak gelud jangan sekarang. Saya beneran lagi enggak enak badan." Raga mengira bahwa Fadli masih murka padanya. Bang Fadli tertawa pelan.

"Saya ke sini cuma mau minta maaf sama kamu."

"Lagian jangan suudzon sih! Aku sama Bang Fadli ke sini nganterin titipan ibu. Tapi kamunya malah sakit gini."

"Sya, bisa nggak jangan ngomel dulu. Kepala saya sakit sekali rasanya." Protes Raga.

Syabira perhatikan peluh yang membentuk titik-titik kecil di pangkal dahi Raga. Kasihan sih, tapi rasanya gengsi sekali mau menunjukkan perhatian.

"Kenapa nggak ke dokter aja sih!?" Omel Syabira.

"Nggak ada yang nganterin."

"Dasar manja! Emangnya orangtua kamu ke mana?"

"Mama sama papa tinggal di Surabaya. Makanya saya sendirian di sini ditemani Bibi Rum saja."

"Sya, kita bawa ke dokter saja. Kasihan dia." Bang Fadli angkat suara. Syabira mengangguk. "Dekat kompleks sini ada klinik yang buka 24 jam. Kita antar kamu ke sana," lanjut Bang Fadli. Raga mengangguk pasrah.

Memakai mobil Raga, Bang Fadli menyalakan mesin mobil lebih dulu, sedang Raga dipapah Bi Rum dan Syabira. Memang benar, badan Raga terasa panas sekali, tadi saat membantunya berdiri tangan Raga tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Syabira.

"Nanti malam sahur hari pertama, tapi kamu malah sakit gini. Kalau enggak kuat jangan ikut puasa dulu."

"Hmm, iya bawel."

Syabira mendelik. Menyikut perut Raga yang dia papah sampai lelaki itu mengaduh.

"Dikhawatirin malah ngatain bawel!" Semburnya. Wajah Raga yang pucat malah membias senyum, sakit di badan seketika tidak terasa mendapati Syabira yang ternyata khawatir dengan keadaannya. Sedangkan mulut Syabira merekat seketika. Antara tidak sadar sama keceplosan memang bedanya sangat tipis. Dia merutuki diri yang suka sekali keceplosan tanpa sadar.

🌻🌻🌻








Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top