4.
Sangir, terletak di kabupaten Solok Selatan, tempat dimana Leon dan Anaya diungsikan. Sebuah daerah di Sumatra Barat yang terkenal indah dan subur. Udaranya sejuk dan pemandangan alam yang masih alami. Selain itu, tempat itu juga merupakan tempat wisata yang menjanjikan pemandangan alam yang begitu indah.
Rumah yang dimaksud papa Leon, memang cukup sederhana. Dua kamar tidur, satu ruang tamu dan satu dapur yang ukurannya lumayan. Kamar mandi terletak bersebelahan dengan dapur. Tidak ada kamar mandi di dalam kamar tidur.
Perabot seadanya, tempat tidur dengan kasur kapuk, lemari dua pintu serta sofa kecil di ruang tamu. Dapurnya hanya dilengkapi dengan rak piring kecil dan satu kompor minyak.
Jika Anaya cukup puas, lain halnya dengan Leon. Pria itu tak berhenti mengeluh dari tadi. Mulai dari perjalanan menuju desa ini, sampai kondisi udara yang baginya sangat dingin. Untung saja, ada Pak Haris yang menunggu mereka di bandara Internasional Minangkabau. Pak Haris lah yang mengantar mereka sampai ke rumah.
"Apa ini layak disebut rumah?" Leon berkacak pinggang, matanya menyapu sekeliling ruangan.
Anaya tak menggubris, dia tersenyum tak enak pada Pak Haris. Bagaimanapun, Pak Haris merupakan pemilik rumah itu. Syukurlah pak Haris tak menghiraukan sikap sombong Leon.
"Saya permisi, Non." Pak Haris mohon pamit.
"Terimakasih banyak ya, Pak."
"Iya, Non. Kalau ada apa-apa hubungi bapak, rumah bapak yang itu, yang pakai cat warna biru, sebelahan sama rumah kayu yang ada kandang ayamnya."
"Iya, Pak. Maksasih banyak." Anaya mengangguk ramah.
"Iya, Non. Pamit ya Mas Leon."
Leon menoleh, laki-laki itu hanya mengangguk sekilas.
"Hmmm," jawabnya.
Sepeninggal Pak Haris, Anaya mendekati Leon.
"Tidak seharusnya kamu bersikap begitu pada orangtua. Gimana pun, Pak Haris berjasa telah mengantar kita ke sini. Seharusnya kau mengucapkan terimakasih pada beliau."
"Apa yang dilakukannya tidak gratis. Papa pasti mengeluarkan uang yang cukup untuk dia, jangan bersikap terlalu berlebihan," jawab Leon cuek.
"Tidak selamanya sesuatu bisa diukur dengan uang, Leon."
"Oh ya?" Leon menoleh ke samping, pada Anaya yang tengah menatap takjub hamparan kebun teh di depannya.
Leon mengangkat dagunya, melipat tangannya di dada sambil menatap remeh wanita yang hanya setinggi bahunya itu.
"Lalu? Kau sendiri? Dibayar berapa oleh orangtuaku supaya mau menikah denganku?"
Wajah Anaya yang awalnya cerah, berubah tegang.
"Apa maksudmu?"
"Mengaku saja! Berapa kau dibayar oleh orangtuaku, dengan gaya seperti ini, kau kelihatan seperti orang yang butuh uang."
"Gaya seperti apa maksudmu?"
"Baju longgar, jilbab lebar, bahan pakaianmu kelihatan murah. Terus, terlihat ketinggalan zaman."
"Oo, Leonard. Kau pikir aku ini miskin? Sehingga butuh uang orangtuamu."
Leonard tertawa, tawa mengejek.
"Oh, ayolah! Aku tau pesantren keluargamu selalu didanai papaku. Dengan begitu, kau tak bisa menyangkal lagi kalau kau dan keluargamu butuh uang. Iya kan?"
Anaya sebenarnya ingin menjawab, akan tetapi dia mengurungkan niatnya. Bertengkar hanya menghabiskan energi.
"Terserah padamu. Aku capek, setelah istirahat, kita harus bekerja sama membersihkan tempat ini."
"Kita? Kau saja. Aku alergi debu."
Anaya sudah tau Leon takkan mau.
"Oh, hidupku. Begitu malang, tinggal di gubuk, terisolir, dan parahnya serumah dengan macan betina."
Anaya diam saja, melayani Leon tak ada gunanya, dia mulai terbiasa dengan ejekan dan hinaan Leon. Tiba-tiba, ucapan mertuanya terngiang kembali. Fokus untuk membuat Leon jatuh cinta. Semangat hidupnya langsung patah mengingat itu.
Anaya mengamati Leon dari atas ke bawah, putus asa, tak ada satu pun bagian yang membuatnya tertarik pada Leon.
"Kau? Kenapa menatapku begitu?" Leon bertanya curiga. "Kau pasti berpikiran jorok kan? Ya Tuhan, aku tau kau tak sepolos itu. Ck ck ck."
Anaya memaksakan senyum. Kemudian mendekat pada Leon, menatap tepat di mata pria itu. Akan tetapi, Leon malah mundur ke belakang.
"Mau apa kau?"
"Mau melihat dengan jelas wajahmu."
"Aku tau aku tampan. Tapi wanita sepertimu bukan tipeku. Pergi sana!"
Anaya tak menggubris, dia mendekat lagi, meninggalkan jarak satu jengkal dan menengadah menatap Leon. Leon sampai kelabakan. Bahkan wajahnya memerah.
"Aku yakin, selain rumah ini jelek, pasti ada penunggunya yang merasukimu. Kau berubah aneh."
"Aku ingin membuktikan sendiri, apa benar kau tampan. Bagian mananya yang tampan?" Anaya menatap lekat.
"Hush! Hush! Menjauh dari ku!" Leon risih.
Anaya tertawa geli, wajah panik Leon membuatnya terhibur.
"Mau aku panaskan air untukmu mandi?"
"Heh?" Leon tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku yakin, air di sini akan membekukan tulangmu." Anaya berbalik, hendak meninggalkan Leon.
"Hei," Leon berseru.
"Ada apa?" Anaya memaksakan senyum. Padahal dia ingin muntah saat ini.
"Aku ingin mendengar dari mulutmu, apa yang telah terjadi antara kau dan James malam itu."
Anaya berfikir sejenak. Pancingan berhasil.
"Apa yang terjadi? Hmmm," Anaya berpura-pura mengingat. "Banyak yang terjadi." Memang banyak yang terjadi, salah satunya dia mengusir James dari kamar kemudian menangis semalaman.
Leon menyipitkan matanya.
"Aku yakin kau berbohong, James tak mungkin tertarik padamu. Wanita sepertimu tak ada cantiknya sama sekali."
"Anggap saja begitu. Sudah ya, aku mau mandi." Anaya melangkah lagi ke kamar mandi.
"Hei," Leon memanggil lagi.
"Apalagi sih?"
"Kalian tidak sampai tidur bersama kan?" Leon menipiskan bibirnya.
Harusnya Anaya marah dengan pertanyaan itu. Tapi demi misinya, Leon tidak bisa dilawan dengan keras juga. "Sabar Anaya," katanya dalam hati.
"Logikanya begini, kau menikahiku, lalu memasukkan James ke kamar kita dimalam pertama setelah kita menikah. Menurutmu, apa yang akan terjadi dengan kami? Aku mengakui, James laki-laki yang tampan. Dia pria dewasa yang sudah diizinkan suamiku sendiri untuk masuk ke dalam kamar kami."
"Dia tak lebih tampan dariku," koreksi Leon.
"Terserah! Sudah ya, aku mau mandi."
"Hei," Leon bangkit.
Anaya tak menghiraukan lagi panggilan Leon. Setelah masuk ke kamar mandi dan menguncinya, Anaya mendecakkan lidah.
"Pria menyebalkan. Tapi, kita akan bertarung secara halus, Leonard." Anaya tersenyum menang.
***
Suara azan Maghrib berkumandang. Matahari mulai tenggelam dibalik pucuk-pucuk teh. Anaya takjub, begitu indahnya pemandangan ciptaan Allah. Mengungsi ke sini sama seperti liburan, minus Leonard.
Badan Anaya pegal-pegal setelah selama dua jam membersihkan rumah yang sudah lama tak ditempati itu. Jangan tanya apa Leon membantu, laki-laki itu sibuk dengan gadget di tangannya. Untung saja, akses internet cukup mudah di tempat ini. Sehingga mood pria itu cepat pulih.
"Leon, yuk Sholat!"
Leon menoleh, dia tengah berbaring santai di sofa ruang tamu.
"Tumben ngajak!"
"Waktu Maghrib, singkat Leon."
"Aku tau."
"Ayo shalat."
"Malas."
Anaya tak menyerah. Dia duduk di dekat Leon, tepat di dekat kaki laki-laki itu yang tengah berselonjor.
"Apa?" tanya Leon sengit.
"Tidak ada. Hanya memikirkan, kasihan orangtuamu nanti. Mereka akan diminta pertanggung jawaban karena memiliki anak sepertimu."
"Eh, kamu kalau ngomong hati-hati ya, jangan bawa-bawa orangtuaku." Suara Leon mulai meninggi.
"Aku bicara kenyataan."
"Aku nggak peduli, kalau mau shalat, shalat aja sana. Yang masuk neraka nanti kan aku, kok kamu yang repot. Memangnya kamu siapa?"
Anaya mengangkat jarinya, kemudian mengangkat tangan Leon, menyandingkan tangan mereka. Sehingga cincin kawin itu terlihat berdampingan. Leon sampai tersentak saking kagetnya.
"Aku? Aku istrimu. Lupa?"
Leon meneguk ludah susah payah. Dia lebih khawatir dengan Anaya yang baru dikenalnya. Dia aneh.
"Aku tunggu lima menit lagi."
"Aku tak mau."
"Kalau begitu tak ada makan malam untukmu, Leon."
"Kau? Beraninya kau?"
"Waktumu tinggal empat menit untuk berwudhu."
"Sial."
Anaya rasa, mertuanya tak berbohong mengenai Leon yang dulu pernah menjadi penghafal Al-Quran. Walaupun mengimami Anaya karena terpaksa, tapi sebuah pencapaian yang memuaskan bisa memaksa Leon untuk sholat kembali.
Surah pendek yang dibacanya adalah surah Al-Ikhlas, sepertinya dia mau cepat selesai saja. Akan tetapi Anaya mengakui, bacaannya bagus dan suaranya juga merdu.
Sekarang mereka sudah berada di meja makan. Wajah antusias Leon yang kelaparan langsung redup setelah melihat apa yang terhidang di meja makan.
"Apa ini?" Leon mengangkat wadah yang berisi gulai daun singkong itu.
"Gulai daun singkong."
"Daun singkong? Kau pikir aku kambing. Aku nggak mau."
"Terserah!" Anaya mengambil nasi untuknya.
"Lalu ini?" Leon mengangkat wadah satu lagi.
"Goreng ikan asin balado."
"Apa-apaan ini? Gulai daun singkong, ikan asin balado! Parah, kau pikir aku akan memakannya."
"Terserah padamu. Kalau mau makan enak, kasih aku nafkah. Apa nggak sadar, kamu masih minta uang sama Mama dan Papa."
"Kau," Leon mengacak rambutnya frustasi. Dengan wajah jengkel, Leon masuk ke kamarnya dan membanting pintu, sedangkan Anaya mengangkat bahu tidak peduli.
Dua jam berlalu, Leon berusaha mempertahankan harga dirinya untuk tidak membuka tudung saji dan makan malam. Tapi, perutnya benar-benar perih, terakhir kali dia mengisi perutnya sewaktu mereka akan berangkat ke Bandara di Jakarta.
"Sial! Laper banget gue." Leon mondar-mandir di kamarnya.
"Kalau nggak makan, besok gue pasti mati nih. Si Anaya Baru dah tidur belum ya?" Leon membuka pintu kamarnya sedikit.
"Aman." Leon keluar mengendap-endap. Dia lega, keadaan sudah sunyi, artinya Anaya pasti sudah tidur.
"Sial, gue laper." Leon memasukkan cukup banyak nasi ke piring di hadapannya.
"Terpaksa, gulai daun singkong, selera si Anaya Baru memang aneh."
Leon memasukkan sedikit gulai itu ke piringnya. Dia mencoba sedikit, kuahnya enak, walaupun daun singkong itu awalnya terasa aneh dalam mulutnya, pria itu tetap menelannya.
"Gue janji terakhir makan makanan kayak gini. Gila si Anaya Baru, bikin gue jadi kambing."
"Leon?"
Trang! Leon tak sengaja menyenggol piring saking kagetnya, benda itu pecah berserakan di lantai. Dia kaget melihat Anaya baru saja keluar dari kamar mandi. Padahal dia yakin sekali Anaya sudah tidur.
"Aku terpaksa makan makanan aneh kamu. Jangan besar kepala."
Anaya mengangguk, sampai-sampai poninya bergoyang.
Poni? Ya ampun! Leon baru menyadari baru pertama kali wanita itu membuka jilbabnya di depannya.
Dia cukup ... Menggemaskan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top