2.

Pagi ini masih sama seperti kemaren. Tak ada kemajuan, malah semakin mundur. Seperti biasa, Anaya berangkat ke kampus dengan motor matic-nya, sedangkan Leon berangkat dengan mobil sport terbarunya.

Mereka sama-sama berhenti di lampu merah, saling melempar tatapan permusuhan. Ketika lampu hijau menyala, Leon sengaja menyalip Anaya, sampai-sampai motor Anaya kehilangan keseimbangan. Untung saja, dia cepat menguasai kendaraan itu.

Di kampus yang sama, di rumah yang sama, tapi tak pernah bisa dekat. Leon dan Anaya bagaikan minyak dan air. Mustahil untuk bersatu. Terkadang Anaya ingin bercerai dengan Leon di usia dua bulan pernikahan mereka. Mungkin masuk rekor pernikahan tersingkat di dunia tidak cukup buruk. Tapi, wajah Umi selalu menghentikan niat Anaya.

Di kampus, Leon berkumpul dengan teman-temannya. Mereka rata-rata memiliki kesamaan. Baik dari segi hobi, kebiasaan dan watak. Mereka juga terlahir dari keluarga kaya raya dan memiliki jabatan penting di negri ini.

"Kenapa, Bro? Wajah Lo kayak ketiban kulit duren. Ancur!" kata Mark, teman yang paling dekat dengan Leon

"Elo, seharusnya datang tadi malam."

"Gue lagi kencan sama Cindy," jawab Mark. "Lihat tuh si James, kayak lagi PMS," ejek Mark.

James lebih asik dengan gadgetnya, mengabaikan dua orang sahabatnya yang berbincang seru dari tadi.

"Kenapa Lo?" Leon menyikut lengan James. Di antara mereka, James lah yang paling pendiam.

"Nggak ada apa-apa," jawab James cuek.

"Sejak Lo masukin dia ke kamar penganten Lo sama bini lo, James jadi aneh. Gue jadi curiga, jangan-jangan Lo emang melakukan ritual malam pertama dengan bini lo." Mark menyipitkan mata.

"Gue cabut, omongan Lo semakin ngelantur, Mark." James bangkit dan pergi meninggalkan Leon dan Mark.

"Lo liat kan?" Mark terkekeh. Leon hanya diam sambil berfikir.

Memang, dia yang mengatur strategi meneror Anaya, dengan memasukkan James ke kamar penganten mereka. Awalnya James menolak keras, akan tetapi setelah diancam oleh Leon, James memilih untuk mengikuti.

James laki-laki yang tampan, kelewat tampan malah, dengan darah indo Belanda yang dimilikinya. Dia di idolakan oleh sebagian besar kaum hawa di kampus mereka. Sikapnya yang cool dan tak banyak bicara menjadi pesona tersendiri. Akan tetapi, dia tak sesempurna itu, James tidak tertarik dengan wanita. Dia penyuka sesama jenis, dan itu pun, hanya Mark dan Leon yang tau.

Leon tau dia jahat, tapi dia merasa, tak seharusnya Anaya masuk ke dalam kehidupannya. Apalagi menikah dengannya, Anaya bukanlah kriteria wanita yang diinginkannya. Tak ada menariknya wanita itu bagi Leon. Wajahnya biasa saja, dengan penampilan kuno dan tak ada modisnya sama sekali. Belum lagi sikap menyebalkan Anaya, yang selalu membuatnya naik darah.

"Apa nggak sebaiknya Lo cerai aja sama Ayanaon!" Ujar Mark. Dia tau, Leon membenci wanita itu.

"Gue bisa jadi gelandangan kalau itu terjadi, Lo tau kan? Gue belum bisa nyari duit sendiri. Yang perlu gue lakukan membuat Anaya tersiksa dan akhirnya minta cerai."

"Hidup Lo kayak drama aja." Mark meminum lemon teanya sampai tandas.

***
Malam penganten, malam sakral yang akan diingat seumur hidup. Penyerahan jiwa raga untuk mencapai redha-Nya. Karena di malam itu, setiap tetes keringat dihitung sebagai pahala, setiap helaan nafas akan dihitung sebagai Rahmah.

Anaya tau itu, sangat tau malahan. Mondok di pesantren selama enam tahun sudah cukup mengajarkannya berbagai ilmu tentang pernikahan. Anaya tau, apa kewajiban seorang istri, yaitu menaati dan menghormati suaminya.

Dua Minggu Anaya mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Menerima ikhlas takdir yang sudah ditentukan untuknya. Leon, sama sekali bukan laki-laki yang diinginkannya. Anaya mencoba untuk sabar, mengangguk dan menerima perjodohan itu.

Malam ini, dia harus membuktikan bahwa dia benar-benar ikhlas. Dia sudah sepenuhnya milik Leon, tak ada alasan baginya andaikan Leon meminta haknya.

Bunyi ketukan pintu kamar menyentak Anaya. Gadis itu merasa jantungnya bekerja tak normal. Takut, tentu saja, cemas, apa lagi.

"Kau harus membuktikan ucapanmu, Anaya." Dia berusaha memotivasi dirinya sendiri.

Anaya bangkit, membuka pintu kamar dengan jantung berdebar takut.

Sejenak, matanya membola. Saat laki-laki asing yang tak dikenalnya mendorongnya masuk lalu mengunci pintu kamar.

Anaya memberontak, namun dia kalah kuat, laki-laki asing itu berhasil membuatnya terduduk di ranjang.

"Siapa kamu?" Anaya menatap garang laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu masuk tanpa izin? Aku wanita bersuami."

Laki-laki itu adalah James. Wajahnya tampak putus asa.

"Tenanglah! Aku James, teman Leon."

"Lalu apa yang kamu lakukan di sini?"

"Leon, Leon yang menyuruhku!"

"Apa?" Bagaikan petir menyambar Anaya. Benarkah apa yang dikatakan laki-laki itu. Jika benar, alangkah jahatnya Leon, menyerahkan istrinya sendiri pada laki-laki lain.

"Keluar?" Anaya menjerit.

"Tenanglah! Aku takkan berbuat jahat, aku pun terpaksa melakukan ini. Aku mohon, aku juga butuh bantuanmu, setidaknya aku harus berada di kamar ini untuk dua jam ke depan."

"Aku tak peduli pada urusanmu, keluar!" Anaya menunjuk pintu.

"Tolonglah!" James memelas. Dia tau, Leon tak pernah main-main dengan ucapannya. Dia tak mau, orang lain tau, bahwa dia adalah gay. Rahasia itu, ada pada Leon, dan James akan melakukan apa saja asalkan rahasia itu tetap terjaga.

"Aku yang akan keluar." Anaya bangkit sambil menatap benci James.

"Maaf." James melempar kunci melalui balkon.

Anaya semakin panik.

"Tolong! Tolong!"

"Nona," James kalut, kemudian memegang lengan Anaya tapi disentak kasar oleh wanita itu.

"Lepas!"

"Nona, bekerja samalah!"

"Kau, sama jahatnya dengan Leon, mengapa aku begitu bodoh mempercayai Leon akan menemuiku setidaknya untuk mengucapkan salam." Anaya terisak, dia mundur, menutup wajahnya.

James hanya terpaku tak berdaya, dia duduk di lantai memandang lurus Anaya dengan kasihan. Leon, skenario Leon melukai hati banyak orang. Termasuk, dia dan wanita yang tengah terisak di ranjang pengantinnya.

***
Anaya tersentak dari lamunannya, saat pintu kamar digedor kasar. Siapa lagi tukang teror satu-satunya di rumah ini kalau bukan Leon.

Anaya membuka pintu setelah memakai jilbab secara asal.

"Apa?"

"Aku lapar."

"Terus?"

"Terus-terus, masak sana! Jam segini masih tidur aja, apa itu ajaran pesantren kamu?"

"Kalau iya, kamu mau apa? Emangnya aku peduli kamu lapar? Toh selama ini kamu bisa cari makan sendiri. Aku mau tidur." Anaya berniat menutup pintu kamarnya kembali.

"Eits! kamu pikir tinggal di sini gratis, lakukan tugas kamu, jadi, ba-bu," Leon mengeja kosa kata satu persatu.

"Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?"

"Anaya, aku serius, aku lapar. Apa nggak bisa kamu baik sama aku sekali saja!"

Anaya mengerutkan kening, ini bukan Leon yang biasa. Baru Anaya tau, kelemahan laki-laki itu adalah ketika perutnya kosong. Akan tetapi, sialnya, Anaya malah tak tega untuk membiarkannya begitu.

"Tunggu sebentar."

"Jangan pakai lama."

Anaya menoleh memberi tatapan peringatan.

"Ups! Sory." Leon nyengir bodoh.

Hanya nasi goreng sederhana, dibuat dengan bahan seadanya. Bahkan, membuatnya dengan rasa tak ikhlas, akan tetapi Leon memakannya sampai tandas dan mengeluarkan sendawa kekenyangan. Anaya baru tau, selain jahat, menyebalkan, Leon juga punya sifat tak tau malu.

"Nasi gorengnya nggak enak." Leon menyodorkan piring yang sudah kosong itu ke hadapan Anaya.

Anaya menjawab sinis.

"Baguslah! Aku nggak bakal bikin lagi buat kamu."

"Kamu pikir aku akan minta dibuatin lagi? Jangan merasa tersanjung ya!"

"Terserah kamu deh. Nggak penting, apa pun pendapat kamu tentang aku "

Anaya meletakkan piring kotor dan langsung mencucinya. Entah kenapa, Leon ingin bermain sejenak dengan Anaya. Tiba-tiba saja dia sudah berada di belakang Anaya. Saat Anaya berbalik, kepalanya berbenturan dengan dada keras Leon. Dia terasa begitu kecil di hadapan laki-laki yang memiliki tinggi 185 cm itu.

"Bisa nggak sih, jangan muncul tiba-tiba."

"Enggak." Leon menantang Anaya.

"Minggir! Aku mau lewat."

Leon tak beranjak, ketika Anaya bergeser ke samping, Leon mengikutinya dan menghalangi Anaya.

"Mau kamu apa sih, Leon?"

"Mau cerai, bisa?"

"Tentu saja, dengan senang hati. Silahkan kamu masukkan surat gugatan cerai, gampang kan?"

"Aku nggak mau."

"Lho? Katanya mau cerai? Nanti aku akan tanda tangani dengan senang hati. Gampang kan?"

Wajah Leon berubah garang.

"Kamu tau sendiri, kalau aku yang menggugat kamu, aku nggak dapat harta warisan. Kalau kamu yang menggugat, kamu nggak bakal rugi apa-apa. Oh ayolah! Tidak ada gunanya pernikahan ini kita teruskan. Kalau kamu berniat ingin aku berubah dan bertobat, jangan harap! Aku akan terus jahat sama kamu. Paham?"

"Sudah selesai bicaranya? Minggir!"

"Enggak!"

"Minggir!" Anaya mendorong Leon sekuat tenaga. Namun, laki-laki itu hanya tersentak mundur satu langkah. Anaya murka. Ingin dia melenyapkan laki-laki itu, saking muaknya dia pada Leon.

"Aku membencimu, jika kau merasa tersiksa dengan pernikahan ini, aku lebih tersiksa lagi. Bahkan kau tak meminta maaf saat sengaja memasukkan temanmu ke dalam kamar istrimu sendiri? Lelaki macam apa kau, hah?"

Anaya menumpahkan kemarahannya, bahkan dadanya terasa sesak, dia begitu frustasi. Akan tetapi, menumpahkan air mata di depan Leon akan membuat dia semakin lemah, Leon akan semakin semena-mena padanya.

"Umiku salah, salah menyuruhku menikah denganmu. Manusia sepertimu tidak punya hati."

"Aku memang jahat, semua orang tau. Ayolah! Kenapa begitu marah? Apa karena sampai saat ini aku tidak menyentuhmu?" Leon tertawa menang sambil matanya menjelajah nakal pada Anaya.

Dia mendekatkan wajahnya pada Anaya. Bahkan Leon bisa melihat pantulan dirinya di mata bening Anaya. Sebentar lagi pasti dia akan menangis.

"Atau ... James tidak memberikan apa yang kamu inginkan? Aku sudah mengira, dia takkan tertarik padamu, 32 B... Terlalu kecil." James tertawa puas penuh ejekan.

Plak! Anaya tak tahan lagi. Ucapan Leon sangat menyakitinya. Ini sudah keterlaluan. Air mata sialan itu, malah turun deras tanpa suara. Anaya tak tau, apa dosanya di masalalu, sehingga dia diberikan ujian seberat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top