Spesial Chapter! With Aslan Part 3
Matahari telah tenggelam di ujung cakrawala. Menyisakan beberapa bias cahaya sebelum temaram menguasai tanah Narnia. Gadis berambut emas dengan gaun hijaunya tengah menari tanpa alas diatas rumput lembab.
Kaki kecilnya bergerak lembut seakan ada irama yang mengiringi langkahnya. Dia sendirian. Didepan Meja Batu yang menjadi saksi kalau wanita bergelar Penyihir Agung ini telah kehilangan akal. Mana ada orang waras yang menari tanpa musik? Kecuali kalau dia sudah gila.
Tapi tidak. Sebenarnya dia bukan kehilangan akal. Dia hanya kehilangan keluarganya. Rasa sakit hati yang menjalar keseluruh tubuhnya bagaikan racun yang siap menghabisi nyawanya kapanpun. Sekali kebencian itu padam, dia akan tenang. Tapi jiwanya akan melayang karena telah merelakan diri menggantikan sang adik.
Tapi naas. Nasi telah menjadi bubur. Sumpah yang dia katakan menjadi belenggu. Mengikat jiwanya agar tetap hidup, demi menghabisi adiknya seorang diri. Memang sudah begitu takdirnya. Dia pun sudah tahu. Akhir dari dua keturunan terhebat Charn hanyalah satu. Mati.
Apapun yang dia lakukan, apapun yang adiknya lakukan, keduanya akan mati. Mau Jadis yang lebih dulu mati atau sebaliknya.
Ah, dia jadi ingat tentang beberapa tahun lalu. Saat terakhir dia bertemu Aslan. Katakan gadis itu merindukannya. Aslan bagaikan tumpuan saat Eva tidak bisa melakukan apapun didunia asing ini.
Berapapun banyaknya kesetiaan yang Eva berikan pada Raja manusia, tetap tidak bisa menenangkan hatinya yang gelisah karena terdampar di dunia asing. Disini tidak ada jin selain Jadis. hanya Jadis satu-satunya keluarga yang Eva miliki. Tapi Eva terikat sumpah agar keduanya saling membunuh. Jelas gadis ini tidak bisa bertumpu pada Jadis.
Tapi ada satu makhluk yang jenisnya masih samar-samar. Meski rupa yang sering ia tunjukkan pada makhluk lain adalah singa, tapi Eva baru tahu dia bisa berubah menjadi manusia.
Aslan.
Satu-satunya entitas yang membawa Eva kesini, satu-satunya yang bisa menjadi tumpuan Eva setidaknya sampai dia membunuh Jadis. Ah, Eva jadi merindukannya.
Jangan salah paham. Ini bukan seperti rasa cinta seorang gadis kepada pujaan hatinya. Ini lebih seperti seorang anak yang merindukan ayahnya. Aslan seperti ayah bagi Eva. Orang yang menjadi tumpuan, keluarga, sosok yang Eva percaya ditengah kesendiriannya di dunia ini.
"Aku tidak pernah melihat tarian itu."
Suara berat itu membuat kaki porselen berhenti. Dia berbalik menatap surai emas di belakang. Sosok manusia dari Aslan. Wajah yang tidak akan pernah bisa dilupakan itu menjadi tandanya.
Eva tersenyum. Mengulurkan tangan pada sang empu. "Kami menyebutnya tarian 'Selamat Tinggal'. Ditarikan saat matahari tenggelam."
Aslan mendekat. Tubuh berbalut baju merah Narnia dengan celana cokelat tua itu sangat kontras dengan rambut emasnya. Tangannya yang hangat menyentuh jemari Eva yang dingin. "Tapi matahari telah lama tenggelam."
Eva tak menurunkan senyuman. Malah membuatnya lebih lebar. "Ada tarian berikutnya. Namanya 'Lentera Temaram'. Ditarikan setelah tarian 'Selamat Tinggal'."
Ia menarik kedua tangan Aslan. Keduanya menari, berputar dengan lembut diatas rerumputan. Bintang gemintang, kunang-kunang dan bulan yang menjadi cahaya dalam gelapnya malam.
Satu kali percobaan, kaki tanpa alas Aslan sering kali menginjak kaki Eva. Tapi saat percobaan kedua, lelaki itu bisa melakukannya dengan lancar tanpa kesalahan apapun. Sebut saja dia jenius. Menguasai satu tarian dansa merupakan hal mudah baginya.
Suara jangkrik kini yang menjadi irama, memenuhi udara yang sunyi senyap. Seakan memberikan musik tersendiri kepada keduanya. Diikuti kunang-kunang yang juga berputar-putar, seakan menari menemani mereka.
Eva mengingatnya. Lantai pualam, suara ketukan sepatu yang samar, alunan musik lembut yang memenuhi aula pesta dansa. Itu adalah hari ulangtahun ke delapannya. Pesta pertama dimana Eva diizinkan menari bersama sang ayah.
Tarian yang sama yang dia lakukan dengan Aslan saat ini.
"Aku tidak menyangka bangsa Jin bisa melahirkan makhluk seperti dirimu, Eva."
Netra emerald yang sedari tadi tertutup kini terbuka. Menatap dua netra emas didepan. Ia kembali tersenyum. "Bisakah kau mengatakan maksud dari perkataanmu? Rasanya aku selalu menjadi orang paling bodoh di Narnia jika bicara denganmu, Aslan."
Alis Aslan terangkat, tersinggung mendengarnya. "Apa kau baru saja menghina kalau aku tidak pandai bicara?"
Eva menggeleng pelan. Anak rambutnya bergerak lembut mengikuti arah gelengan. "Bukannya aku menghinamu. Kalimatmu terlalu luar biasa sampai aku bingung maksud yang kau sampaikan."
Aslan meraih pinggang mereka, merapatkan tubuh keduanya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bahu Eva. "Lupakan saja, Eva. Tapi, bisakah kau menganggapku sebagai manusia? Jangan pandangi aku seperti itu."
Eva mengernyit. Dia tidak tahu bagaimana matanya menatap Aslan. Seingat Eva, dia sudah menatap laki-laki itu seperti biasa. Seperti menatap Aslan saat keduanya bertemu. Eva jadi semakin tidak mengerti dengan kalimat Aslan.
"Aslan, tolong jelaskan. Kalau kau tidak mengatakannya, sampai akhir pun aku tidak akan pernah mengerti."
Kepala emas yang tadinya disembunyikan itu, kini ditarik. Menatap wajah Eva sepenuhnya. "Jangan tatap aku seperti aku adalah hewan, Eva."
Wajahnya serius. Rahangnya mengeras, tanda dia kesal. Sepertinya tatapan Eva telah membuat sang Singa Agung tersinggung. Tapi bukankah itu wajar? Aslan kan singa. Singa itu hewan kan? Atau di negeri Aslan, singa itu bukan hewan?
"Jadi kau ingin aku menatapmu seperti apa?"
Kedua tangan Aslan yang tadinya memegang Eva, kini melepasnya. Tarian mereka berhenti tepat beberapa langkah sebelum tarian itu selesai. Eva menautkan kedua alisnya kesal. Tidak sopan menghentikan tarian saat tarian itu akan selesai.
Tapi hal tak terduga terjadi berikutnya. Tangan Aslan meraih lembut jemari Eva. Dia menunduk sedikit sebelum mengecup pelan tangan porselen. "Tatap aku sebagai manusia, Eva. Seakan aku adalah laki-laki yang bisa menikahimu."
Harusnya sekitar mereka penuh dengan aura musim semi yang hangat, juga kelopak bunga yang bertebaran. Tapi alih-alih udara lembut seakan untuk orang yang jatuh cinta, malah yang ada hanyalah atmosfer berat. Sangat tidak cocok dengan pembahasan mereka.
Rasanya Eva tidak sedang menghadapi Singa bernama Aslan. Melainkan tengah menghadapi Raja terhebat dalam satu benua. Aura intimidasi Aslan menekannya. Memaksa Eva menunduk dan mengangguk.
Aslan yang tak terbantahkan.
Rupanya itu bukan hanya gelar semata.
Lelaki berambut emas kini tersenyum. Kembali meraih jemari Eva dan membawanya dalam tarian. Menyelesaikan putaran yang membuat dansa mereka berakhir.
Eva masih menunduk. Tidak mengerti bagaimana dia harus menatap Aslan. Seperti apa? Seperti saat dia menatap para ikan terbang yang sering membuatnya emosi? Atau seperti saat dia menatap ayam-ayam bicara yang sering membuatnya tertawa? Atau-
"Eva? Kenapa tidak menatapku?"
-Seperti saat dia menatap mendiang mantan tunangannya?
Jemari Aslan meraih pipinya. Memaksa wajah Eva agar menatap lelaki itu. Baiklah. Eva akan menatap Aslan seperti saat menatap para ikan terbang. Tatapan marah dan emosi.
Tapi tidak. Bukan wajah penuh amarah yang sang ginger tampilkan. Pasalnya lihatlah Aslan.
Cahaya bulan yang menyinari punggungnya, membuat surai belakangnya bercahaya agak keemasan. Wajahnya yang diterangi cahaya bintang dan kunang-kunang dengan samar, nampak membuat raut rupawannya semakin mempesona.
Eva salah menampilkan ekspresi.
Dia sudah menatap Aslan seperti saat dia menatap tunangannya pertama kali.
Tatapan yang seolah terpesona pada lelaki itu.
Keduanya bertatapan cukup lama. Hingga Eva menutup matanya. Memutus kontak mata yang sepertinya tidak akan dilakukan Aslan.
Tapi rasanya dahi Eva seakan disentuh oleh sesuatu yang lembut. Netra Eva sontak terbuka lebar. Alih-alih mendapati wajah Aslan yang rupawan, kini dia mendapati leher Aslan yang berada tepat didepannya.
Singa ini mencium dahinya?!
"Selamat ulang tahun, Eva."
Lagi-lagi netra emerald melebar. Air pada matanya menggenang, sebentar lagi akan jatuh membasahi pipi. Sudah sekitar lima ratus tahun lebih sejak dia tinggal di Narnia. Tidak sekalipun ada yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Bahkan Eva sendiri sudah lupa kapan dia lahir.
Entah apakah itu adalah hari ini, ataukah hari lain. Tapi, jauh dalam lubuk hati Eva, dia bahagia. Eva senang. Ada orang yang mengingatnya kalau dia hidup. Ada yang mengingat kapan dia lahir.
Tanpa sadar air mata itu menetes. Untuk pertama kalinya selain saat bertemu Jadis, Eva menangis. Ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata kebahagiaan.
"Terima kasih."
Aslan yang ada di depan nampak tersentak kecil. Lantas tersenyum lembut. Ia meraih tubuh Eva yang terisak. Membiarkan gadis itu menumpu pada bahunya. "Menangislah, Eva. Tidak apa-apa."
Singa berwujud manusia itu menepuk pelan punggungnya. Eva menenggelamkan wajahnya pada bahu Aslan. Membiarkan pakaian yang lelaki itu kenakan basah dibagian bahu.
Cukup lama mereka dalam posisi itu hingga Eva jatuh tertidur.
"Bagaimanapun identitasmu, kau tetap saja selalu bertingkah seperti manusia."
Lagi, lelaki itu mengecup dahinya lembut. Aslan tahu jelas, batas diantara mereka sangat lebar. Seakan ada jurang besar saat berhadapan dengan Eva. Faktanya, keduanya tidak akan pernah bisa disatukan.
Tapi hati, tidak ada yang tahu kemana ia akan berlabuh. Aslan dahulu bagaikan kapal ditengah lautan, terombang-ambing diterpa ombak. Dirinya yang sendirian dalam kegelapan, menemukan satu bintang bersinar di atas langit. Dia menurunkan layar, membawa kapalnya menuju bintang itu.
Saat dia tiba, bintang itu merupakan Eva. Hanya sebuah alasan kecil saat dia bilang membawa Eva karena mendengar sumpahnya. Aslinya, gadis itu sebenarnya akan tetap hidup di Charn dan tidak akan terkena kata kemalangan saat Jadis mengatakannya. Harusnya Eva bisa melepaskan Jadis dari kata kemalangannya sendiri, dan keduanya akan bertarung hingga mati.
Harusnya dua pengembara tidak akan pernah menemukan Jadis, apalagi membawanya menuju Narnia. Karena Jadis telah mati dibunuh Eva. Dan Eva mati karena sumpahnya telah berakhir. Tapi tidak.
Aslan dengan egoisnya menarik tubuh Eva. Membawanya pada Father of Time. Meminta pada sang pemilik waktu agar mau menyimpan Eva dengan batas waktu tertentu.
Dengan tenang, Aslan menunggu waktu yang tepat. Membiarkan dua pengembara berselisih dengan Jadis, membawa makhluk itu ke Narnia. Disaat yang bersamaan, Father of Time melepaskan Eva. Memberikannya pada Aslan.
Sekarang Aslan sadar. Keegoisannya menjadi belenggu untuk Eva. Keegoisannya menghancurkan kebahagiaan Eva. Andai Aslan mau menunggu sedikit, keduanya akan bertemu di Negeri Laut. Tapi Aslan yakin. Saat tiba disana, Eva pun pasti akan kembali pada tunangannya.
Tidak ada celah bagi Singa Agung yang kesepian. Dia akan terus ditakdirkan untuk tetap sendirian. Hingga akhir. Bahkan meski dia telah kembali ke negerinya.
"Andai waktu bisa diputar kembali, aku pasti akan mengikatmu dalam negeriku. Aku pasti sudah meminta sang Entitas Agung agar menjadikanmu milikku saat itu Eva."
Itu adalah obsesi kecil seekor singa.
Ah, tidak. Dia bukan singa.
Tubuh berbalut pakaian Narnia, kini berubah menjadi jubah putih dengan sulaman perak. Itu adalah pakaian asli Negeri Laut. Pakaian yang telah lama tidak dia kenakan.
Aslan mengangkat tubuh Eva, menggendongnya dengan bridal style. Dia membaringkan tubuh yang tengah tidur itu diatas Meja Batu. Andai dia ingin, Aslan bisa saja menikahi Eva disini meski gadis itu tengah tertidur.
Tapi Aslan menolak. Sudah cukup dia membuat dunia yang ada ini rusak. Sudah cukup dia mengekang Eva. Aslan tidak akan mengikat Eva lagi dengan benalu yang akan menghancurkannya.
"Aku akan melepaskanmu, Eva."
Iya. Sepertinya lebih baik begitu.
Penghuni Negeri Laut tidak akan pernah bisa menikahi jiwa yang telah memiliki pasangannya.
Lelaki berambut emas kini mengayunkan tangannya. Dia benar-benar akan melepaskan Eva. Dan hanya satu caranya.
Ingatan gadis itu harus diacak sedikit.
Manipulasi ingatan adalah keahlian Aslan. Dia akan menghapus ingatan yang tidak seharusnya ada. Seperti saat-saat keduanya bersama. Benar. Kejadian kali ini hanya akan dikenang oleh Aslan. Tidak akan pernah diingat oleh Eva.
Meski sakit, Aslan akan menahannya. Eva sudah banyak menderita. Gadis itu harus bebas.
Cahaya keemasan menyinari keduanya. "Dengan ini, aku harap sisa waktu yang diberikan padamu, bisa membuatmu bahagia, Eva Marthille Loan De Charnie."
Cahaya itu berangsur memudar.
Aslan sudah melepaskan hatinya.
Ingatan Eva tentang pembicaraan keduanya di pohon kehidupan, saat Aslan merawatnya, dan pertemuan keduanya hari ini telah terhapus.
Biarlah hanya Aslan yang akan mengingat kenangan keduanya.
•
•
•
Special Chapter End!
Hai hai~~
Arrah disini!
Oke. Makasih karena udah mau baca Spesial Chapter ini. Maafkan sayaaaT^T. Niatnya mau bikin sampai 5 bab gitu. Trus dimasukin dalam fanfic baru. Tapi ide aku mentok gaess. Cuma segini doang.
Nantinya aku mau bikin fanfic baru. Tapi nggak tau sih. Aku nggak yakin apakah yang satu itu layak untuk ditulis :'D
Oke, sekali lagi aku mau berterima kasih karena kalian mau baca part ini sampai habis. Sampai ketemu di lain waktu.
Babaii~~
______________________________________
21 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top