Season 2 | Bab 9
Enjoy
.
.
.
Peter menyandarkan samping kepalanya pada jendela. Netranya menatap pada laut dengan sendu.
Tepukan pelan terasa dibahunya membuatnya berbalik menatap Susan yang menatapnya khawatir. "What happen?"
Sang kakak menggeleng lalu kembali menatap pada pemandangan diluar. Susan menghela napas lelah.
Semenjak kepergian Edmund dan Eva ke wilayah mereka beberapa hari lalu, Peter tak hentinya menatap kearah laut. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Terkadang lelaki itu sampai lupa makan jika tidak di ingatkan. Ia juga sempat lupa melaksanakan janji temu dengan pada peri angin yang datang.
Membuat semua orang hanya menggelengkan kepala bingung.
Lantas ia beranjak, mendudukkan diri di sofa. Bergabung dengan Lucy yang sedang membaca novel romansa.
"Astaga!"
Gadis bersurai emas itu berseru membuat dua orang yang lain berbalik padanya.
"Ada apa, Lucy?" Susan bertanya khawatir. Tak cukup kakak pertama yang membuatnya khawatir, adik bungsu pun ikutan membuatnya jantungan.
"Novel ini seru sekali!" Lucy dengan wajah tanpa dosa kembali membaca novel. Membuat Susan hanya mengelus dada.
Netranya kini menatap kakak pertama yang juga rupanya sudah kembali menatap laut. Susan memutar otaknya.
Melihat Peter melamun begini, membuatnya mengingat percakapan lalu dengan Eva dan Lucy.
Mereka berfikir bahwa Peter melamunkan gadis merman. Itu saat Eva dan Edmund masih ada di Cair Paravel.
Kini mereka telah pergi berhari-hari. Dan Peter masih melamun bahkan semakin parah.
Apakah mungkin Peter bukan menyukai gadis merman? Lantas siapa? Tak mungkin kakaknya belok menyukai adik kandung lelakinya sendiri.
Lantas pilihan terakhir jatuh pada Eva. Ada kemungkinan Peter menyukai Eva.
Lamunan Susan terhenti kala melihat Peter yang menempelkan tangannya pada kaca jendela. Sedangkan wajahnya berubah kaget.
Diikuti netra Susan yang melebar setelah mendengar lirihan Peter.
"Eva pulang."
***
Mereka tiba di Cair Paravel tepat pada matahari berada di tengah langit. Dua penunggang kuda terbang itu turun dari punggung pegasus masing-masing.
Lantas menyampaikan salam sampai jumpa dan melambai pada dua pegasus yang kini terbang tinggi.
Edmund membawa keranjang besar berisi buah didepannya. Dengan segera, Eva meraih sebelah pegangan keranjang, hendak membantu sang raja. Membuat sang lelaki mengangkat alis heran.
"Apa yang kau lakukan?"
Bibir kecil melengkung. Menampilkan lesung pipit yang selalu menghias kala tersenyum.
"Aku membantu teman baruku."
Edmund terkekeh. Lantas memegang sebelah pegangan keranjang dan membawanya bersama dengan Eva. Menuju kearah dapur.
"Let's go!"
Baru hendak berjalan, mereka menatap tiga orang yang tengah berlari kearah mereka. Yang terkecil, gadis bersurai emas hendak menerjang sang gadis ginger.
Namun terhenti kala melihat keranjang di tengah-tengah Eva dan Edmund. Alisnya bertaut heran.
Tangan porselen itu mengangkat buah dalam keranjang. "Kurma?" Lantas memakannya dalam sekali lahap.
Eva menggeleng. "Itu Toffee."
Netra Lucy melebar kala merasakan rasa permen yang begitu kental. Bedanya yang satu ini lebih berair.
"Ini toffee!!" Girangnya mencoba untuk mengambil satu buah lagi. Tapi tangannya dipukul oleh sang kakak ketiga.
"Ini untuk pembuatan pie. Kalau mau makan, tunggu saat sudah jadi saja."
Susan dan Peter tiba paling terakhir. Raut heran jelas terpampang di wajah mereka. Masing-masing menatap buah kecoklatan dalam keranjang.
Susan menatap Eva. "Kalian habis dari mana?"
Netra emerald mengerling menatap lelaki yang juga menatapnya. Lantas mereka berdua tersenyum lebar.
Eva yang lebih dulu memutuskan kontak mata. Menatap Susan yang semakin mengernyit heran. "Panjang ceritanya!"
"Ayo bantu kami! Buah ini berat loh."
Edmund mencoba menggoda mereka dengan berpura-pura mengangkat keranjang dengan kedua tangan. Padahal tadi saja dia bisa mengangkatnya dengan satu tangan.
Lantas dengan segera Peter meraih pegangan milik Eva. Eva menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Menahan tawa yang akan meledak.
"Baginda, bukankah harusnya anda memanggil pelayan untuk membawa ini?"
Eva juga ikut-ikutan. Ia berpura-pura formal untuk menggoda Peter. Nampak lelaki itu sedikit linglung. Lalu tersadar dan berbalik hendak memanggil pelayan.
Edmund tertawa kecil. "Sudah, Pete. Biar aku dan Eva saja yang membawa ini."
Netranya mengerling memberi kode. Eva mengangguk mengerti. Lantas mereka berjalan beriringan membawa keranjang hingga kedapur
Meninggalkan tiga manusia yang menatap kepergian mereka dengan heran.
Sejak kapan mereka bisa akur? Tidak. Lebih tepatnya, bagaimana?
***
Surai merah bergelombang dibiarkan terurai. Nampak dirinya berbalut gaun tidur panjang hingga ke betis, tak lupa selendang hijau panjang nan lebar yang menghiasi bahu hingga ke lengan.
Kaki telanjang mengendap-endap pelan. Berjalan melalui lorong-lorong Cair Paravel yang panjang. Melangkah sampai pada gedung aula yang begitu luas. Disinari cahaya rembulan lantaran langit-langit beralaskan kaca membuat lantai aula nampak bersinar.
Netra emerald menangkap cahaya oranye kecil disana. Dirinya semakin mendekatkan diri pada balkon yang langsung menuju kearah laut.
Ia mendapati sosok berambut kelam yang tengah menyimpan lentera di pinggiran balkon. Nampak belum sadar akan adanya Eva yang menuju kearahnya.
Kurva diukir kala menyadari siapa sosok itu. "Kau juga kesini?"
Nampak bahu sang lelaki menegang. Lantas berbalik menatap netra emerald yang bersinar. "Apa yang kau lakukan disini?"
Dibalas kekehan pelan. "Harusnya aku yang bertanya begitu."
Piring dengan sepotong Toffee's pie dengan campuran potongan buah-buahan lain kreasi milik Ress—sang koki istana— disimpan di meja samping pintu.
Ia melangkah menuju sang lelaki yang kini menyandarkan punggung pada pagar balkon. Lantas Eva menumpukkan lengan pada pagar balkon. Menatap pada lautan bertabur cahaya rembulan.
"Cantik, yah."
Angin malam memainkan surai mereka. Sang lelaki tiada henti menatap paras samping Eva. "Iya cantik."
Lantas bibir ditipiskan. Membalikkan badan mengikuti postur sang ginger, menatap air laut.
Eva menengadah, netranya menyelam pada cakrawala bertabur bintang dan rembulan yang sering disapa purnama. Pikirannya menerawang pada ingatan yang baru saja membekas.
Tentang dirinya dan Edmund yang telah berteman.
Berbeda dengannya, sang lelaki kini fokus menatap bulu mata lentik milik sang puan. Begitu lentik dan lebat. Berwarna merah yang dirasa begitu kontras dengan netra emerald yang bercahaya.
Bermandikan sinar rembulan, keduanya terdiam menikmati waktu masing-masing. Saling melamun memikirkan satu sama lain.
Padahal keduanya tak ada niat untuk saling bertemu. Entah bagaimana kaki mereka mengarahkan agar beristirahat sejenak disini.
Hingga pada sang puan melirik padanya. Membuat sang empu tersentak dan langsung mengalihkan pandangan pada laut. "Ed, kau tidak bawa kue?"
Lantas kepala hitam berbalik menatap dengan heran. "Untuk apa bawa kue?"
"Ya sebagai cemilan malam? Kau mau menikmati angin dingin tanpa sepotong kue?"
Alis hitam menyatu, bingung lantas mengangkat bahu tak perdulu. Dia sebenarnya bingung kenapa tiba-tiba mau kesini tanpa persiapan apa-apa. Bahkan dirinya masih mengenakan baju tidur milik lelaki dan kaki tanpa alas.
Eva berbalik, mengambil sepiring Toffee's pie. Sang ginger memotong kecil kue itu dan mengarahkannya pada mulut sang empu.
"Cobalah. Kue dingin dengan angin malam dan pemandangan laut yang indah! Perfect!"
Edmund bisa merasakan wajahnya memanas. Lantas membuka mulut dan memakan sesendok kue itu. Mengecap rasa asam keju dengan rasa manis buah lain yang memenuhi rongga mulut. Tak lupa rasa khas permen toffee yang tak ketinggalan di lidah.
"Bagaimana?"
Netra emerald itu terlihat berbinar. Menanti pendapat sang empu.
"Enak." Tangan porselen menutup mulut dengan punggung tangannya. Netranya mengerling menatap hal lain selain Eva.
Astaga. Baru kali ini dia disuapi oleh seorang perempuan. Ingat, perempuan! Bukan kakaknya, bukan adiknya! Melainkan orang asing dari dunia lain.
Entah bagaimana perasaan Edmund. Tapi yang jelas, ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Tak lupa pikirannya berkecamuk laksana kabel yang terlilit-lilit.
Netranya kembali menatap Eva yang sedang mencicipi kue dari sendok yang sama. Membuat kalimat yang dibacakan Lucy dari buku romansa terkenal di Narnia jadi terngiang-ngiang.
‘Jika pasangan memakan dalam satu sendok, atau minum dalam satu gelas, itu artinya mereka ciuman dengan tidak langsung.’
Terima kasih, Lucy. Kau membuat taja kedua dengan prestasi gemilang jadi berjongkok menutup wajah karena menahan malu.
Eva melirik lelaki disebelahnya yang tengah bertingkah aneh. Lantas dia juga ikut berjongkok.
Meraih kedua tangan yang menutup wajah. Menampilkan Edmund yang sedang mengulum bibir.
Suasana agak gelap membuat Eva tak menangkap rona wajah yang sudah menyebar hingga ke leher.
Eva menatapnya sendu, lantas menempelkan punggung tangan pada kening sang lelaki. "Kau sakit, Ed?"
Edmund menggeleng keras sontak berdiri tiba-tiba. Ia menghela napas kasar berusaha menenangkan degup jantung yang kian meningkat.
"Ed, kalau sakit kembali saja lebih dulu. Atau mau kuantar?"
Kembali dibalas dengan gelengan. Eva tak begitu tahu seperti apa wajah Edmund. Lantaran eskpresi mereka cukup tertutupi oleh gelapnya malam.
Walau sinar rembulan masih ada menyinari, tapi tetap saja tak cukup untuk bisa membuatnya melihat sejelas saat siang.
Ia kembali menumpukan lengan. Menatap lautan yang luas. Sembari bersenandung pelan menghilangkan rasa sepi.
"Kenapa kau belum tidur?" Akhirnya sang empu mau bicara.
Eva terdiam sejenak, lantas menutup mata. "Aku ingin menikmati sepotong kue dengan pemandangan indah sebelum tidur."
"Kau sendiri?" Netra emerald kembali dibuka, mengerling pada lelaki yang rupanya diam-diam menatapnya.
"A-aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mau kesini."
Eva kini menatap Edmund dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jelas sekali lelaki itu pergi begitu saja tanpa siap-siap. Lantas ia mengangguk pelan.
"Tahu, tidak? Aku mencuri kue yang tadi." Seringai terukir di bibir. Membuat sang lelaki melebarkan mata. Lalu menatapnya kecewa.
"Kenapa kau tidak mengajakku?!"
Oh, rupanya lelaki disebelahnya kecewa karena tidak diajak. Eva mengangkat bahu. "Yah, mana ku tahu kalau kau masih bangun?"
Edmund berdecih pelan. "Lain kali ajak aku. Terserah mau tengah malam, pagi buta juga boleh. Kalau aku tidur, bangunkan aku."
"Huh? Tapi bagaimana caraku mengajakmu?"
"Panggil saja aku dikamar." Edmund menjawab dengan wajah tanpa dosa. Membuat Eva mengangguk setuju.
Terima kasih pada keduanya yang masihlah polos dan lugu.
.
.
.
TBC~
Hai hai~~
Aku up hari ini mumpung lagi mood dan lagi kosong. Daaaaan, hari ini hari yang membahagiakan buatku hehe.
Hari ini aku ultah!
Yeyyyy selamaaat!!
―☆゚。+。ヽ(≧▽≦)ノ。+。゚☆―
Ya, sebenarnya gak penting-penting amat sih. Aku cuma mau membagikan kebahagiaan hari ini pada kalian dengan cerita uwu antara Edmund-Eva. Hehe
Btw.. Gak ada yang mau ucapin selamat gitu?
See yaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top