Season 2 | Bab 4
Edmund
.
.
.
Enjoy
"Wait, what?"Suara Peter terdengar rendah. Dia nampak marah mendengar perkataan Eva. Eva menatapnya heran. Baru kali ini dia melihat Peter begitu padanya.
Semuanya bermula ketika saat istirahat, Eva mengajak para Pevensie untuk berbincang. Eva membawakan peta dan langsung meminta izin kepada para Raja dan Ratu itu.
"Aku ingin pergi kesini." Eva menunjuk salah satu tempat yang sudah dilingkari dengan tinta di peta. "Ada yang ingin kucari."
Peter menatapnya tidak percaya. Dia melihat peta itu, tidak. Tanpa melihatnya saja Peter sudah hapal bentuk peta yang tidak pernah berubah itu.
Jarak tempat yang di tunjuk Eva adalah ujung dari peta, jauh sekali dari Cair Paravel. Mungkin di ujung Narnia. "Apa yang kau mau disana?" Tanya sang Ratu pertama.
Eva nampak ragu mengatakannya. "Ada... Sesuatu." Dia sebenarnya tidak ingin bilang. Eva ingin menjadikannya surprise untuk mereka karena yang dia cari ialah hal yang sangat langka di dunia ini. Bahkan katanya hanya ada dua pohon disana.
"Katakan saja Eva. Kami tidak bisa memberimu izin jika izinmu saja tidak jelas ingin kemana." Sang Raja pertama mendesak. Ingin tahu apa yang gadis itu cari di tempat sejauh itu.
"A tree." Jawabnya pelan. Edmund menatapnya datar, lantas memutar bola matanya. "And what tree?"
Eva menghela nafas. "Toffee's tree." Jawabnya. Dia bisa melihat para Pevensie mengkerutkan dahi heran.
"Itu bukan pohon, Eva. Itu adalah permen." Lucy mengeluarkan suaranya. Setahunya itu adalah permen yang sering dia makan dahulu sebelum ke Narnia.
Susan mengangguk setuju. "Benar. Itu permen yang dibuat dari gula yang di karamelkan. Aku bisa membuatnya kalau kau mau." Tawarnya lembut dengan senyum khasnya.
"Bukan. Sungguh, ini benar-benar pohon. Para pegasus bilang ini adalah pohon langka. Jadi aku ingin setidaknya membuat pie dari itu." Bujuk Eva.
Dia benar-benar ingin mencarinya lagi. Dulu dia tidak sempat untuk mencari pohon itu bersama Blueberry. Lantaran waktu mereka tidak cukup.
Saat itu Blueberry buru-buru harus pergi entah kemana. Lalu selain itu dia tidak tahu harus kemana jika ingin mencari pohon itu.
Sekarang dia sudah mendapatkan petunjuknya. Dia ingin menunjukkannya pada para Pevensie di pesta musim panas nanti.
Disinilah dia, menatap heran para Pevensie, terutama Peter yang nampak tidak ingin dia pergi kemana-mana.
"Wait what?" Nada rendah itu entah kenapa terasa seperti menekan Eva. "You want to go to the place that so far from here with a legend called Pegasus? Apa kau yakin pegasus-pegasus itu masih ada?"
Kecewa. Apa Peter sebegitu tidak percaya padanya? "Kapan terakhir kali kau bertemu pegasus itu?" Tanya Peter lagi.
Eva mengingat-ingat, kalau tidak salah sudah 300 tahun sejak saat itu. Benar. Sudah lama sekali dia tidak bertemu mereka. "300 tahun." Cicitnya.
Peter tersenyum puas. "Sudah terlalu lama, Eva. Mereka mungkin sudah punah."
Edmund nampak tidak setuju dengan kakaknya. Menurutnya ada kemungkinan pegasus itu masih ada. Karena mermaid, dwarf, hewan berbicara saja masih ada. Tidak mungkin pegasus yang di lihat Eva sudah punah.
"Benar. Begitu. Kalau tidak keberatan, izinkan aku ke kamar dulu. Aku ada kerjaan. Permisi." Eva berbalik dan pergi menuju kamarnya yang terletak tak jauh dari sana.
Edmund yang melihat menatap saudara-saudaranya. "Kenapa kalian begitu?" Tanyanya. Lucy menatap Edmund heran. "Begitu bagaimana?"
"Kenapa tidak beri saja izin padanya?" Kini netra Edmund menatap sang Raja Agung. Peter menyesap tehnya yang sudah mendingin. "Tidak. Itu terlalu jauh. Jika terjadi sesuatu pada Eva, akan sulit mengirim bantuan."
"Tidak akan terjadi apa-apa. Eva itu kuat. Dia yang mengalahkan Jadis. Atau kau hanya ingin mengurung Eva disini? Untuk dirimu sendiri?" Dia bisa melihat bahu Peter menegang. Rupanya benar, kakaknya ingin mengurung gadis itu.
Dirinya berdecak kesal. "Sudahlah, aku lapar. Mau ke dapur dulu." Pamitnya pergi keluar dari ruangan, namun dia tidak pergi ke tempat yang dia katakan, melainkan menuju ke kamar Eva.
Didorongnya pintu yang terbuka sedikit itu. Mendapati Eva yang tengah sibuk di kursi kerjanya. "Oh, kupikir kau sedang sedih." Dia lagi-lagi seenak jidatnya duduk di ranjang kesayangan Eva.
Eva terkekeh sembari masih membolak-balikkan kertas. "Kalau aku sedih kau mau menghiburku?"
Wajah Edmund memanas. Kenapa Eva bisa bilang begitu dengan santai? Tidak. Kenapa malah Edmund yang malu-malu disini? "Ohoo. Wajahmu merah, Ed." Goda Eva.
Edmund menarik bantal dan melemparkannya pada Eva. Eva yang melihat itu dengan gesit menghindar. "Hey! Kalau bantal itu mengenai mejaku lalu terkena tinta, bagaimana? Kau mau tanggung jawab?"
Pria pemilik surai hitam itu berdecih. "Tinggal suruh Mr. Tumnus membuatkannya lagi." Katanya santai lalu berbaring merentangkan kedua tangan. Menatap langit-langit kamar Eva.
Eva menatapnya tak percaya. Lantas menghela napas pelan. "Dasar. Hobi sekali membuatku kesal." Menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kecil.
"Aku percaya." Edmund berkata tiba-tiba. Eva menatapnya masih menunggu lanjutan perkataan Edmund. "Aku percaya kalau pegasus dan pohon Toffee itu ada."
Netra hijau itu melebar kaget. Padahal awalnya Eva percaya kalau Edmund ialah orang yang paling menolak akan hal itu.
"Aku juga pernah mendengarnya. Dari salah satu rakyatku di barat sana. Mereka bilang dahulu sering menikmati pohon legendaris di ujung Narnia. Buahnya berbentuk lonjong, kecil, manis dan lembut. Para pengembara menyebutnya buah Toffee." Jelas Edmund.
Eva tersenyum lebar. Rupanya dia tidak sendiri mempercayai legenda itu. "Benar. Salah satu pegasus yang pernah kuselamatkan juga bilang begitu. Katanya kakeknya pernah membawa para pengembara untuk pergi ke tempat itu dan menanamnya disana."
Edmund bangkit dari baringnya. "Ayo cari." Eva memiringkan kepala. "Ayo cari pegasus itu!"
***
Eva menatap Edmund sembari menggeleng. Setelah Edmund mengajaknya ingin mencari pegasus, dia langsung menarik Eva menemui Peter dengan Susan dan Lucy yang masih ada disana.
"Jangan, Edmund. Mereka tidak akan setuju." Bisik Eva sangat kecil hingga Edmund kesulitan mendengarnya. Jika tidak melihat mulut Eva yang bergerak, mungkin dia tidak akan mengerti apa yang dikatakan gadis itu.
"Diam dan lihatlah." Edmund meyakinkan. "Aku mau pergi besok ke wilayahku." Izinnya. Peter mengangguk masih menatap jendela. "Memang sudah waktunya untukmu berkunjung."
Mereka memang harus berkunjung setiap sebulan sekali ke wilayah masing-masing. Hanya untuk memantau. Ini kebijakan yang Peter buat di awal dia menjabat menjadi raja.
Hal itu disebabkan karena Peter tidak ingin ada saudaranya yang menelantarkan wilayah mereka. Jadi dia membuat kunjungan bergantian setiap bulan.
Dimulai dari Peter yang ke utara di bulan pertama. Dilanjut Susan yang ke selatan di bulan kedua, lalu Edmund yang ke barat di bulan ketiga.
Dan Lucy yang menunggu para merman di timur untuk menjelaskan situasi disana karena wilayahnya tidak memungkinkan baginya untuk kesana secara langsung. Timur hanya penuh dengan lautan. Tidak mungkin kan dia menyelam berjam-jam untuk masuk wilayah itu?
Lalu terakhir Eva yang mengunjungi pulau di ujung barat di bulan kelima, ke wilayahnya, tempat para Elf. Mereka bergantian terus setiap bulan. Dan kini adalah giliran Edmund.
"Bagus. Aku akan pergi dengan Eva." Peter langsung mengalihkan pandangannya pada Edmund. "Bukannya kau biasa dengan Mr. Tumnus?"
Edmund menggeleng. "Kita harus selalu mengefisienkan waktu, Peter. Dengan aku yang berkunjung ke wilayahku bersama Eva, kami bisa langsung datang ke wilayah Eva tanpa membuang banyak waktu. Jadi bulan depan kau bisa langsung berkunjung ke wilayahmu."
Baru hendak membuka mulut, Edmund langsung menghentikannya. "Kau tidak ingin mengurung kami disini kan, Peter?"
Peter terkekeh tidak percaya dengan yang dia liat. Adiknya baru saja membantahnya. Padahal semenjak perang adiknya itu penurut sekali.
"Baiklah. Pulanglah dengan selamat."
.
.
.
TBC~
Uwaaah... Disini Peter mulai agak ngeselin yah. Kyk mau ngurung Eva wkwk.
Makasih udah mau baca~
Edit : wah maaf soalnya judulnya sempat salah :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top