Season 2 | Bab 11

Enjoy
.
.
.

Lucy menatap datar dua orang yang sedang main petak umpet ini. Peter yang sedang mengejar Eva sepertinya ingin mengajaknya bicara, lalu Eva yang bersembunyi begitu saja.

Mirip petak umpet, kan?

Lucy yang begitu menyukai kisah romansa di novel-novel Narnia, kini merasa gemas dan ingin segera membuat mereka bicara berdua agar keduanya tidak main kucing-kucingan begini.

"Susan!"

Dirinya menatap marah pada Susan. Sang kakak hanya mengedipkan mata berkali-kali lantaran heran pada sang adik yang tiba-tiba muncul dan memanggilnya seolah dia melakukan hal yang salah.

Yah, dia memang sudah melakukan hal yang salah. Ia baru saja membakar buku novel Lucy secara tidak sengaja.

Untung berhasil diselamatkan, walau buku itu harus menghitam sedikit. Tapi, tidak mungkin kan, Lucy tahu?

"Aku tidak membakar buku novelmu!"

Ia menutup mata kuat. Kenapa bisa dia mengatakannya seperti itu. Itu kan membuatnya jadi mencurigakan.

Lantas netra Lucy melebar. "Hah? Kau membakar buku novelku?!"

Sang pemilik surai kelam meneguk ludah kasar "Harusnya aku tidak mengatakannya." Gumamnya menyesal.

Namun Lucy menggeleng. "Tidak! Itu tidak penting. Sekarang yang penting adalah, lihat itu!"

Jemari porselen menunjuk ke luar jendela pada lelaki yang sedang mengelap pedang dengan sapu tangan tapi matanya menatap fokus pada gadis bersurai merah yang membuat karangan bunga di bawah pohon. Sesekali gadis itu melirik sang empu lalu pura-pura fokus pada karangan bunga yang dibuat.

"Apa Peter sudah gila?"

Susan mengernyit melihatnya. Kakak mereka itu seperti anjing yang baru saja melakukan kesalahan pada majikannya.

"Nah itu dia! Dan tadi aku baru saja mendapat pencerahan! Mataku tak mungkin salah mengenalinya!"

Gadis emas itu kini begitu membara. Seolah ia begitu tahu kondisi kedua orang yang bertingkah aneh itu.

"Mereka sedang bertengkar! Pertengkaran asmara!"

Lucy berkata lantang. Sepertinya dia sudah lupa kalau dirinya sendiri pernah bilang pada Susan bahwa Peter menyukai gadis Merman.

Susan menatap adik bungsunya bingung. Apa katanya? Pertengkaran asmara? Apa dia pikir kakaknya itu punya perasaan pada Eva?

Ia menggeleng. Walau Eva memang cantik dan merupakan kandidat nomor satu sebagai wanita yang paling sempurna untuk dijadikan istri di Narnia, tetap saja dia sudah berumur ribuan tahun. Dan menurut Susan, itu agak.... Tidak logis.

"Paling mereka bertengkar biasa, Lu. Jangan terlalu khawatir. Tidak mungkin ada perasaan lain antara mereka."

Perkataan Susan membuat Lucy menatap tak percaya. Dia tidak mungkin salah lihat.

"Mereka saling mencintai! Aku yakin itu! Mata itu! Mata itu adalah mata penuh cinta! Mataku tidak mungkin salah mengenalinya!."

Sang kakak menatap khawatir. Adiknya tidak gila, kan? Mana ada cinta yang di lihat dari tatapan mata? Tidak logis sekali.

Ia menggeleng pelan. Lalu kembali pada air yang di masak di teko perapian. Meraih teko dan mulai menyeduh teh.

Lucy mendelik padanya. "Pokoknya aku tim Eva-Peter!" Lantas berbalik pergi, keluar dari Cair Paravel menghampiri dua orang di taman.

Oh rupanya mereka tidak berdua. Ada Edmund yang berjongkok, bersembunyi di balik semak-semak sembari memilin daun.

Lucy menatap kakak lelaki keduanya. Kasihan. Kakaknya itu terlihat seolah hidup tak rela, mati tak mau. Entah apa yang jadi masalah hidupnya.

Yah, Lucy bisa membantunya nanti-nanti. Sekarang adalah untuk menyatukan dua orang yang sudah ada di depan mata.

Lantas kaki dibawa menuju Eva yang ada di bawah pohon. Nampak sang ginger meliriknya sedikit dan menggeser tempat duduk di permadani.

Ia mendudukkan diri, sembari menatap pada Peter yang kini menyarungkan pedangnya.

Lucy yakin Peter sedang kalut. Lantaran kakaknya itu tadi mengeluarkan pedang di dalam taman lalu mengelapnya pelan. Lalu kembali menyarungkannya.

Sedetik kemudian, mengeluarkan pedang lagi. Perilaku aneh berulang-ulang.

Kini netra biru mengerling menatap Eva. Bisa dia tangkap sesekali gadis di sebelah melirik malu-malu pada sang empu.

"Sebenarnya apa masalah kalian berdua?"

Pertanyaan itu langsung keluar dari labium sang emas. Membuat sang ginger tersentak kecil.

"A-aku tidak mengerti apa maksudmu." Kini Eva menunduk, memainkan daun-daun. Karangan bunga setengah jadi di biarkan begitu saja di pangkuan.

"Tuh, kan. Cerita saja soal masalah kalian. Aku akan coba bantu semampuku!"

Kini hening menyelimuti keduanya. Nampak Eva tak mau mengatakan apapun. Tapi Lucy menunggu.

Ia akan menunggu terus sampai bisa tahu permasalahan keduanya agar bisa membantu. ‘Kapal baruku tidak boleh tenggelam!’ Batinnya semangat.

Tak begitu lama ia menunggu, kini labium milik sang ginger terbuka. "A-aku hanya tidak tahu bagaimana cara menghadapi Peter."

Lucy mengangkat sebelah alisnya. ‘Pasti ada sesuatu!’. Ia mengerling pada Eva. "Memang apa yang dilakukan Peter sampai kau bingung begini?"

"Peter... Dia bilang dia mencintaiku." Lantas Eva menutup wajah dengan kedua tangan lantaran malu.

Sontak netra biru melebar. Menatap tak percaya pada sang puan. "S-serius?!"

"Semalam, kami bertemu di lorong. Dia bilang begitu. Tapi aku langsung kabur. Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa kalau sudah didepannya."

Kepala merah diangkat, menampakkan wajah porselen yang sudah dihiasi rona merah pada pipi. Ia memangku dagu sembari menatap Peter yang kini beranjak pergi ke tampat lain.

Lucy terdiam sejenak, berpikir apa yang bagus dia katakan. "P-Peter melamarmu?" Ia mencoba mencari tahu, sejauh apa Peter bertindak.

Eva menggeleng. "Tidak. Dia tidak melamarku. Dia hanya bilang kalau dia mencintaiku."

Lucy menatap datar Eva. "Lalu apa masalahnya? Dia hanya menyatakan perasaan. Kau tak perlu membalas kalau dia tidak bilang langsung."

"Masalahnya, aku takut kalau dia melamarku! Semalam aku bisa selamat. Tapi nanti bagaimana? Aku... Harusnya aku memang sudah mati saat itu."

Tubuhnya dibaringkan diatas permadani. Menatap malas pada langin biru cerah berhias awan putih. Sesekali burung-burung nampak beterbangan disana.

"Kau apa?!"

***

Semua orang menatap Eva yang baru saja menyelesaikan ceritanya. Tadi awalnya dia menceritakannya pada Lucy. Lantas gadis itu membawanya pada para Pevensie lain agar Eva bisa menceritakannya tentang dirinya.

Susan menatap sendu pada Eva. Lantas beranjak ke sofa seberang dan memeluknya. "Aku tidak tahu kau menjalani hidup yang begitu berat."

Eva balas memeluknya. "Tidak. Aku sekarang sudah tidak masalah. Toh aku bisa mendapat keluarga baru dan hidup dengan kalian."

Ia melirik pada Peter yang sedari tadi menunduk. "Bisa semuanya keluar dulu? Aku ingin bicara pada Eva." Kepala emas itu menengadah dengan senyum teduhnya.

Lantas Lucy tersenyum kucing. Menarik dua saudaranya yang lain. "Tentu, selesaikan urusan kalian dulu. Selamat menikmati." Dan keluar dari ruangan itu.

Setelah dirasa agak jauh, Lucy melepaskan tautan tangannya pada dua kakaknya. Lalu menunjuk mereka masing-masing.

"Aku tidak mau tahu! Kapalku akan berlayar melalui tujuh samudera!" Ia berkacak pinggang. Menatap kedua kakak seolah menantang duel.

Susan hanya memutar bola mata malas. Tapi tidak dengan Edmund. Ia menatap heran. "What? Ship? Where are you going?"

Lantas Lucy menghela napas pelan. Ia harus membujuk kakak ketiganya. Karena jelas kakak keduanya sudah menolak jalur kapal yang dia buat.

"Maksudku, aku mendukung hubungan Eva dan Peter. Kau juga harus ikut, Ed!"

Ia meraih tangan kakaknya itu dan menggenggamnya. Menatap penuh harap pada dua bola mata biru.

Sang kakak mengernyit, menghempaskan kasar tangan sang adik. "Tidak mau. Aku tidak merestui keduanya."

Lantas Susan tersenyum lebar. "Sudah kuduga. Kau pasti juga merasakannya, kan? Mereka tidak cocok. Hubungan mereka sangat tidak masuk akal. Wanita ribuan tahun dan lelaki remaja 19 tahun. Aku juga menolak."

Lucy menganga mendengarnya. Parah. Dia sendirian yang mendukung kapal Eva-Peter.

Kalau begini sih sudah jelas. Dua kakaknya pasti menolak membantunya mendekatkan Eva dan Peter hingga ke pelaminan.

Lamtas ia mengernyit marah. "Ya sudah! Biar aku saja yang menjodohkan mereka!"

***

Sesaat setelah ketiga Pevensie pergi, kini Peter dan Eva diselimuti keheningan. Sampai Peter bersuara lebih dulu.

"Apa aku ada salah, Eva?" Lelaki itu kini menghadap sang puan sembari menatap sendu.

Eva menggeleng. "Aku yang salah Pete. Aku sudah menyembunyikan semuanya." Kepala ditundukkan sembari memainkan jemari.

Sang empu yang disana tersenyum gemas melihatnya. "Boleh aku mendekat?" Ia memilih bertanya lebih dahulu agar sang puan tak lari lagi seperti kemarin.

Kepala merah itu terangkat menatapnya heran. "Kenapa harus izin? Biasanya juga kau akan langsung melakukan yang kau inginkan."

Senyum tak lepas dari wajahnya. Lantas beranjak, mendudukkan diri di sebelah Eva.

"Benar. Seperti ini, kan?" Jemari porselen itu meraih beberapa helaian surai merah, lalu mengecupnya.

Membuat wajah sang gadis memerah sepenuhnya. 'Sadar Ev! Dia masih kecil! Umurnya baru 19 tahun! Masa aku memerah karena remaja lelaki?!' Batinnya nelangsa.

"Apa yang semalam aku terlalu terburu-buru?" Lelaki itu memainkan rambutnya, memutarnya pelan.

Eva menghela napas lelah. Lantas mengangguk. "Aku... Semalam aku cukup kaget. Kau mengatakannya secara tiba-tiba."

Kepala emas ikut mengangguk. "Aku memang mengatakannya begitu tiba-tiba. Tapi perasaanku ini tidak tiba-tiba, Ev. Nyatanya aku sudah menyukaimu sejak kita pertama kali bertemu."

Netra emerald mengerling, membuatnya bersirobok dengan netra biru.

"Bagimu yang setengah raksasa dan jin, mungkin enam tahun adalah waktu yang singkat. Tapi bagi manusia, itu sangat lama. Mungkin rasanya seperti selama kau hidup di Narnia."

Netra biru itu berubah sendu. Senyum tak luput dari wajah tampannya.

Eva menatap dalam bola mata seindah langit itu. "Kau tahu, Pete? Setiap detik aku melihatmu, saat itu juga jantungku berdetak cepat."

Perkataannya membuat senyum sang empu semakin melebar. Tapi langsung menghilang kala mendengar kalimat selanjutnya.

"Tapi di saat yang bersamaan, aku menganggapmu Eiden. Bukan Peter."

Eva sudah mengetahui jawabannya. Dia hanya mencintai wajah Peter. Wajahnya mengingatkannya pada lelaki yang pernah dia cinta.

Kepala emas itu memalingkan wajah. Eva bisa melihat guratan kecewa disana. Lantas lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Sedetik setelahnya ia langsung menatap netra emerald itu.

"Tak masalah. Perasaan bisa berubah. Aku akan membuatmu mencintaiku di setiap detik kau bersamaku. Agar pria bernama Eiden itu bisa kau lupakan selamanya."

Dengan senyum percaya diri, ia pergi meninggalkan Eva yang menatapnya tak percaya. Lantas kurva diukir di wajah indah.

"Pfft. Pantang menyerah sekali."

.
.
.


TBC~

U

waaah!!! Maafkan aku karena gak up kemarin. Mau up sih, tapi kemarin nulis chap ini telat banget. Jadi ya nggak sempat soalnya udah tengah malam juga. Huhuu maaf yah (; T.T))

Btw udah mau mendekati ending gaess mungkin tiga chapter lagi UwU

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top