Epilog
Enjoy
.
.
.
London, setelah para Pevensie pergi ke Narnia.
"Bu, kenapa kita berhenti?"
Gadis bersurai merah sebahu menatap heran pada luar jendela kaca kereta kuda. Sang kakak didepan ikut menoleh dan menangkap sesuatu yang aneh.
"Daunnya tidak bergerak!"
Ia berseru sembari menatap daun yang terhenti di langit. Tidak jatuh seperti biasa.
"Benar. Sepertinya 'Dia' meminta untuk menghentikan waktu lagi"
Sang ibu hanya melirik sekilas. Lantas kembali merapatkan jas pada tubuh. Raut wajahnya terlihat kurang baik.
"Dia?"
Gadis bersurai merah panjang itu memasang raut heran. Diikuti sang adik.
"Lagi?"
Ibunya memberi senyum simpul. "Aslan."
Dua pasang netra emerald melebar lalu saling menatap satu sama lain. "Aslan!"
Itu adalah kisah lama yang sering diceritakan nenek mereka. Sang singa agung dari Narnia. Penguasa, raja sesungguhnya, pembuat Narnia. Atau bahkan, dia adalah Narnia itu sendiri.
Cerita itu telah di dengarkan di telinga mereka sejak kecil. Dan mereka juga begitu menyukai tanah bernama Narnia itu.
"Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Sang adik memangku tangan. Sang kakak mengangguk, menyandarkan punggung dan menatap keluar.
"Dia pasti bersinar seperti cerita nenek Cilica."
"Kapan dia memanggil kita?"
Netra emerald sang adik beralih pada sang ibu. Mengharapkan jawaban yang memang tidak pernah diberi.
"Jangan berharap."
Ah, ibunya memang sangat singkat jika bicara. Ia menyunggingkan senyum. Lantas menatap sang kakak.
"Hey, aku sudah lama ingin bilang. Tapi tidak pernah punya waktu. Mau lihat?"
Kakaknya mengangkat alis sebelah heran. Ia mengangguk dan menatap sang adik.
Gadis sebahu itu melepaskan sarung tangan yang menutupi jemari porselen. Lantas menempelkannya pada kaca jendela kereta.
Netra emerald sang kakak melebar kala melihat kaca itu membeku bagai es.
"Kau! Bagaimana mungkin kekuatanmu bangkit sebelum aku?!"
Adiknya menyeringai, melepaskan tangan dan memakai kembali sarung tangannya.
"Mengerikan, yah. Tapi ini belum sempurna. Lihat saja esnya tidak bertahan selama lebih dari tiga detik setelah aku melepaskan tangan."
Bibirnya manyun. Ia bersedekap dan menatap jendela.
"Itu keren! Dan itu jauh lebih baik daripada aku yang kekuatannya belum bangkit!"
"Ayo keluar."
Sang ibu tiba-tiba bicara. Dengan segera mereka mematuhinya tanpa banyak bicara. Keluar dari kereta kuda berjalan menuju rerumputan.
Bisa mereka lihat mata sang ibu berkaca-kaca. Nampak seperti ingin menangis. Ia melepaskan kalungnya dan memasangkannya pada putri sulung.
"Ini akan sedikit sakit."
Netra emerald sang surai panjang itu melebar. Lantas ia jatuh terduduk dan mencengkram rumput.
"AAAARGGH"
Sang adik bersembunyi dibalik sang ibu. Tapi ibunya menarik lengannya dan memaksanya untuk menatap sang kakak.
"Bu, kakak kesakitan. Hentikan saja!"
Ia takut. Pasalnya kakaknya itu tidak hentinya berteriak meraung-raung kesakitan.
"Tidak. Ini memang prosesnya. Kamu harus melihatnya agar saat giliranmu tiba, kamu bisa menahannya."
Ia mendelik pada sang ibu. "Mana ada yang seperti itu!" Namun ketika dilihat, rupanya sang ibu juga sama takutnya dengannya.
Kenapa mereka harus seperti ini?
Cukup lama melihat pemandangan menyakitkan. Akhirnya sang kakak terbaring lelah di rumput.
Ia menatap kosong pada langit biru.
"Bu, apa aku harus membawa sumpah itu?"
"Tidak. Itu hanya milik Eva. Kau adalah Evalyn. Orang yang berbeda."
Netra emerald miliknya bersirobok dengan netra biru sang ibu.
"Kenapa kita harus lahir sebagai anggota keluarga Charn? Kalau kita kembali kesana, apa kita bisa menjadi Raja?"
"Charn sudah lama berakhir."
Sang ibu mengusap ujung pelupuk mata. Kedua putrinya menatapnya serius.
"Kenapa nenek Cilica datang ke bumi dan menikahi kakek? Bukankah jika dia tidak menikahi kakek, dan hanya kesini untuk menuntaskan pencarian, maka kita tidak akan lahir? Rasanya mengerikan jika kita harus hidup seperti monster."
Si bungsu memeluk dirinya sendiri. Entahlah, dia hanya takut jika berubah menjadi jahat seperti kakak sang nenek, Jadis.
Ibunya menunduk, menyamakan diri dengan sang putri. Ia memegang kedua bahu itu erat.
"Kamu bukan Jadis. Kamu adalah putriku, Janette. Kalian adalah dua orang yang berbeda."
Gadis itu memalingkan wajah. "Tetap saja! Kami punya kekuatan yang manusia biasa tidak miliki."
Sang ibu menghela napas. Beralih menatap dedaunan yang tengah terhenti di udara. Ia mengulurkan tangan. Dengan segera, daun itu mengikuti arahan tangannya.
Kedua putrinya menatap takjub. "Nenek Cilica mencintai kakek kalian."
Kini alis sang bungsu bertaut. "Memangnya kenapa kalau cinta? Aku tidak mengerti!"
Jemari porselen sang ibu melambai padanya. "Kau akan mengerti pada waktunya."
Semilir angin menerbangkan rambut sebahu. Lantas beralih memainkan surai sang sulung yang telah duduk.
Sang ibu berbalik, kembali ke kereta kuda.
"Ayo ganti baju."
Ia kembali dengan tiga gaun hitam ditangan. Dua putrinya menatap heran. Tidak. Hanya si bungsu.
"Siapa yang meninggal?"
"Eva dan.... Nenek Cilica."
***
Keempatnya jatuh terduduk dalam sebuah ruangan kosong berdebu. Dibelakang mereka pintu lemari yang membawa mereka kesini masih terbuka lebar.
Namun sudah tidak ada jalan untuk kembali kesana. Sekarang lemari itu telah berubah menjadi lemari biasa.
Suara-suara berisik Mrs. Macready dan pelayan-pelayan terdengar dari luar. Tak begitu lama hingga pintu terbuka menampilkan lelaki tua dengan rambut yang telah memutih seluruhnya. Sekali lihat mereka sudah tahu. Itu Professor Digory.
"Disini kalian. Apa yang kalian lakukan didepan lemari itu?"
Keempatnya tersenyum. Peter menatap sang Profesor. "Anda tidak akan percaya apa yang baru saja kami alami, Sir."
Sang Profesor menyeringai. "Ceritakan."
Profesor Digory membawa mereka kedalam ruangannya. Meminta para pelayan membuatkan empat cokelat panas dan satu teh.
Lantas dengan semangat, para Pevensie menceritakan tentang perjalanan hidup mereka di Narnia. Tak lupa buah toffee pun ikut dibahas.
"Sebenarnya dari mana bibit toffee itu diambil? Maksudku aku tidak pernah tahu bahwa itu adalah pohon dan bukan permen."
Perkataan Susan diangguki oleh keempatnya. Lantas sang profesor tertawa.
"Itu hanyalah permen toffee yang dibawa oleh temanku, Polly. Kami menanamnya tepat ketika Narnia baru pertama kali dibuat."
Ia menutup mata mencoba mengingat-ingat tentang itu.
"Aslan bilang, pohon itu tumbuh karena kami menanamnya tepat ketika sihir Aslan sedang bekerja."
Nampak keempatnya kagum mendengarnya. Mereka pun berbagi cerita cukup lama, hingga ketukan dari Mrs. Macready menghentikannya.
"Sir, b-beliau telah tiba."
Senyum diukir di wajah lelaki tua. Ia mengangguk pelan dan menatap pada keempat anak didepannya.
"Berdandanlah. Kalian akan menemui tamu yang cukup terhormat dari dunia lain."
***
Keempat Pevensie telah selesai berdandan. Yah lebih tepatnya mereka hanya mengganti pakaian dengan lebih layak.
Edmund dan Peter menggunakan jas yang di berikan pelayan bernama Betty. Lalu Susan dan Lucy menggunakan gaun berenda berwarna biru.
Lucy menatap ketiga kakaknya yang memasang waut bingung. "Menurut kalian, kenapa kita disuruh mengganti baju begini?"
Susan menggeleng tidak tahu. "Biasanya kita tidak dibiarkan ikut menemui tamu."
Peter menoleh. "Lebih tepatnya para tamu akan langsung masuk ke ruangan Profesor Digory dan akan keluar jika ingin pulang."
Yang lain mengangguk setuju. Sampai Lucy memekik kala melihat sosok yang tengah duduk dengan anggun di sofa sana.
"EVA!"
Yang lain ikut menatap dua gadis berumur sepuluh dan sembilan tahun itu. Yang satu memiliki surai merah sepunggung, wajahnya sangat mirip Eva dengan netra emerald seindah permata.
Juga lesung pipi yang menghiasi. Benar-benar seperti Eva. Hanya gigi kelinci yang tidak ada disana.
Lalu disebelahnya gadis bersurai merah sebahu. Sekilas wajahnya mirip dengan Jadis dengan versi lebih muda. Gigi taring akan muncul kala ia bicara.
Keduanya mengenakan gaun hitam seolah tengah berkabung.
Ketika Lucy hendak menghampirinya, ia dicegat oleh Edmund. "Lepas Ed! Aku ingin menghampiri Eva!"
Edmund menggeleng dan menunjuk mereka yang kini telah berdiri disebelah meja. Gadis yang lebih tinggi membungkuk lebih dulu diikuti gadis.
Padahal mereka tidak pernah menceritakan tentang Narnia pada siapapun selain Profesor Digory.
"Salam pada para raja dan ratu Narnia."
Mereka juga yakin kalau Profesor Digory tidak akan menceritakan itu pada orang lain.
"Saya Evalyn Agatha De Charnie. Disebelah saya adalah adik saya, Janette Arabella De Charnie"
Lantas kenapa dua orang ini bisa tahu?
.
.
.
~TAMAT~
Hai hai~
Terima kasih banyak aku sampaikan untuk teman-teman yang sudah mau membaca book ini dari awal hingga sekarang!
Terutama buat yang aktif memberikan komentar juga vote, aku seneng bangetttt!!!! (*≧▽≦)
Awalnya waktu lanjut book ini sampe ke season 2, aku nggak terlalu mikirin bagaimana jadinya. Yah intinya aku bikin setengah hati doang. Nggak ada rencana matang.
Alhasil yah begini.... Cuma endingnya doang yang sudah aku bikin dengan lengkap. Jalan cerita lainnya nggak. Jadi maaf kalau ceritanya terkesan terburu-buru atau jadi aneh. (T^T)
Semoga kalian suka sama endingnya. Maaf kalau kurang memuaskan
Aku memang payah. (ノД')・゜・。
Canda sih. Aku pribadi lebih suka sama ending yang ini. Ehehe :3
Yaudah segitu aja. Makasih buat yang udah baca dan mendukung book ini! Aku mungkin bakal lanjut book 2.
Tapi nggak tau juga.. aku bingung.
( ・ω・)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top