BAB 6
Attention!
Chapter ini lebih panjang dari chapter-chapter sebelumnya.
Enjoy
.
.
.
Tugas yang diberikan Aslan adalah menjamu para Raja dan Ratu selama mereka disini, dan ini merupakan tugas yang mulia -itu menurut Eva.
Meski tidak tidur semalaman, Eva dengan semangat berlari menuju tenda dapur membantu orang-orang yang berada di bagian memasak.
Dia ingin menyiapkan sarapan yang enak bagi para calon Raja dan Ratu yang berakhir malah jadi kacau.
Dia lupa, selama dia lahir di Charn, dia bahkan tidak pernah datang ke suatu tempat yang bernama dapur.
Apalagi setelah tinggal ribuan tahun di Narnia, bersama para Raja dan Ratu terdahulu. Mana mungkin para pelayan juga koki kerajaan mengizinkan Eva belajar memasak.
Mereka masih memiliki rasa hormat yang besar pada Eva. Makanya melarang Eva menginjakkan kaki ke dapur kecuali untuk meminta dibuatkan makanan oleh koki istana.
Kembali pada Eva yang berada di tenda dapur dia diusir dengan tidak elitnya dan terjatuh didepan kaki milik seseorang. Kepalanya menengadah mendapati Peter yang sedang menatapnya bingung. Lalu tertawa kecil.
Eva bangkit dari jatuhnya dan menepuk-nepukkan jubah yang sedikit kotor. Sedang Peter tidak henti-henti nomenertawakannya.
"Tidak bisakah anda berhenti tertawa? Anda membuat saya malu."
Benar saja, wajah Eva terlihat sangat memerah menahan malu. Ia tak bisa menjaga image-nya sebagai penyihir hebat nan anggun.
"Kalau begitu, jangan malu." Peter mengangkat bahunya tak acuh lalu kembali tertawa.
Eva menatapnya tidak percaya. Dan karena jengkel, tangannya melayangkan pukulan sayang pada Peter.
"Maaf-maaf. Aku tidak akan tertawa lagi."
Lantas mereka tertawa bersama.
Eva lalu berjalan pergi mengambil karpet di tenda yang tak jauh dari sana. Sang lelaki mengikutinya dan membantu mengangkat karpet yang ada. Membuat Eva menatapnya bingung
"Kenapa anda malah ikut mengangkat karpetnya juga?"
"Membantumu, kurasa." Sang lelaki menjawab singkat.
Diberi tatapan datar sang puan. "Tolong lepaskan. Saya bisa membawanya sendiri."
Peter menggeleng lalu ikut membantu membentangkan karpet di atas rumput antara tenda para Raja dan Ratu. Jika kalian bertanya kenapa Eva tidak memakai sihir?
Jawabannya karena Eva membutuhkan tongkat sihir untuk melakukan sihir dan dia meninggalkannya di tenda, dia lupa membawanya.
Eva pergi lagi lalu kembali membawa meja kecil dan menaruhnya diatas karpet. Peter tidak mengikutinya karena sibuk menahan karpet yang terkadang terbang terbawa lantaran angin cukup kencang.
Kini salah satu Satyr yang menjadi juru masak -dan berwajah cukup tampan- membawakan mereka buah-buahan untuk ditaruh di atas meja sebagai jamuan.
"Maafkan aku." Sesal Eva sambil menerima buah itu.
"Tak perlu merasa bersalah, Yang Mulia. Yang perlu anda lakukan hanya introspeksi diri agar tidak memasuki dapur lagi."
Sang Satyr tersenyum menyeramkan membuat Eva tertawa canggung. "T-tentu."
Peter menatap lama Eva. "Aku pandai memasak jika kau ingin tahu."
Eva dan sang Satyr mengalihkan pandangan pada sang empu.
"Oh." Eva menjawab pelan sedang sang Satyr pamit undur diri.
"Iya. Aku pandai memasak."
Eva mengangkat alisnya sebelah. Bingung dengan arah pembicaraan mereka. 'Ya terus? kalau kau bisa masak memangnya kenapa?'
Ingin sekali labium berkata seperti itu. Namun agar tidak membuat masalah dengan sang calon raja, dia hanya menjawab cuek.
"And then?"
Sang lelaki tersenyum dan mengangkat bahu. "Aku bisa mengajarimu kalau kau mau."
Eva mengalihkan pandangan. Wajahnya memanas, jantungnya berdetak cepat. Siapapun tolong Eva. Jantungnya tidak sanggup menatap wajah tampan Peter yang tersenyum itu.
"T-tak perlu. Saya bisa belajar sendiri."
Tolaknya. Baru begini saja dia tidak sanggup. Bagaimana kalau nanti Eva belajar memasak bersamanya? Bisa-bisa jantung Eva lompat dari tempatnya.
"Peter! Eva! Mana Edmund?"
Datang juga penyelamat Eva. Diam-diam dirinya menghela nafas. Eva menatap dua gadis yang akan menjadi Ratu Narnia, Susan dan Lucy.
Peter pun kini beralih pada kedua adiknya. "Ah, dia masih tidur."
"Sa-saya permisi!"
Eva pamit undur diri entah kemana. Kemanapun asal tidak didekat Peter.
Susan menyenggol lengan Lucy. "Kenapa dia?"
Sang adik mengangkat bahu tak tahu. "Mungkin dia ingin pipis."
***
Netra emeraldnya menatap datar pada sang adik yang telah turun dari kursinya dan berjalan angkuh menuju Aslan. "Ada penghianat diantaramu, Aslan."
Para rakyat mulai berbisik riuh. Jelas sekali mata mereka menatap kearah Edmund. Eva sendiri mengarahkan netranya hingga bersirobok dengan netra Edmund.
Dapat dilihat gurat khawatir disana. Eva langsung menunjukkan senyum menenangkan, seolah bicara bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Dan dengan ajaibnya Edmund merasa tenang. Mereka bertatapan cukup lama. Hingga teriakan Peter mengalihkan atensi mereka.
"Coba dan tangkap dia kalau berani!"
Eva yang tak tahu-menahu pun hanya menatap Peter bingung. Kenapa dia malah menantang Jadis?
"Apa kau pikir kekuatanmu bisa mengingkari apa yang jadi hakku, Little King?" Jadis kembali memasang wajah meremehkannya.
"Aslan tahu kecuali aku punya darah sebagai tuntutan aturan, semua Narnia akan dijatuhkan didalam api dan air. Anak itu.."
Jemari porselen itu terulur menunjuk Edmund.
Ah, inilah yang paling ditakutkan Eva. Dia takut Jadis-
"Akan mati diatas 'Meja Batu' sebagai tradisi." Dia kini menatap Aslan. "Jangan berani menolak permintaanku!"
-meminta persembahan jiwa penghianat di 'Meja Batu'.
Hal itu entah bagaimana membuatnya geram. "JADIS!"
Teriakannya membuat seluruh rakyan menatapnya. Jadis yang menatapnya kaget. "H-how can?!"
Eva malah berbalik menatap Jadis. Membuat netra emerald dan netra biru bertubrukan. "Apanya yang bagaimana?"
Jadis malah terlihat emosi, hidungnya kembang kempis bagai banteng yang mengamuk.
"Harusnya kau sudah mati saat aku menusukmu seratus tahun lalu! KENAPA KAU MALAH MASIH HIDUP?!"
Wanita itu menggeram. Eva menggepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang sepertinya akan menguasai.
Eva tersenyum miring. Oh, dia masih sangat pandai mengendalikan emosinya. "Oh Jadis, my little sister. Have you forgotten my vows?"
Ucapannya dibalas helaan napas kasar sang adik.
"Kali ini aku memberikan kesempatan terakhir padamu untuk bersujud dibawah kakiku memohon ampunan! Dan aku akan memberikan hadiah yang indah untukmu."
Eva mengernyit, lalu memutar bola matanya malas. 'Tak tahu malu. Bisa-bisanya dia berkata lancang begitu dihadapan Aslan.' Batin Eva dongkol.
Tangannya bersedekap, ia mengangkat dagunya dan menatap rendah sang adik. Sungguh mencerminkan penguasa tiran.
"Ya ampun, Jadis. Lancang juga kau menyuruh Penyihir Agung yang entitasnya lebih tinggi darimu untuk bersujud. Memang kau siapa?!"
"Aku? Aku adalah Jadis! RATU DI NARNIA!"
Lantas diberi tawa keras sang kakak.
"You? A queen? No. No Jadis. Kamu bukan ratu! Selagi aku masih ada, kau tak akan pernah kubiarkan menduduki takhta manapun! Hingga kau sadar makna sesungguhnya akan kekuasaan."
"Enough!" Seruan Aslan membuat adu mulut keduanya berhenti.
Eva menatap Aslan tajam. Kesal ada yang menginterupsinya saat berbicara dengan Jadis. Aslan balik menatap Eva lama.
'Aku tidak mengharapkan kau melakukan sesuatu lebih dari ini, anakku.'
Suara Aslan bergema dikepalanya. Netra emerald dilebarkan. Lantar menatap sang singa.
'Apa kau baru saja bicara dalam pikiranku?'
Aslan mengangguk pelan. 'Jangan biarkan emosi menguasaimu, Eva.'
Semua orang menatap dua makhluk beda jenis didepan mereka -saling memandang seolah sedang berbicara dalam pikiran- dengan raut penuh kebingungan.
Eva menatap Aslan lekat-lekat lalu menghela nafas panjang. Dengan tidak rela mengangguk pelan dan menatap kearah lain.
Aslan lalu mengalihkan pandangannya menuju Jadis. "I should talk with you alone."
Jadis mengikuti sang singa dari belakang dengan angkuh. Sempat melirik tajam Eva.
Eva menatap punggung Jadis, entah kenapa timbul rasa bersalah di hatinya. Berfikir dirinyalah yang membuat Jadis jadi jahat begitu. Tanpa terasa, matanya memanas.
Eva merasa ada yang menyentuh tangannya, dan mendapati Lucy yang menatapnya khawatir.
Tanpa sadar, liquid bening menjatuhi pipinya. Eva langsung mengusapnya dengan lengan bajunya.
"Kau tak apa?" Tanya Lucy.
"Tidak. Hanya sedikit khawatir."
Gadis emas itu menarik Eva duduk bersama ketiga saudaranya yang sibuk memainkan rumput. Edmund yang paling pertama bicara.
"Kira-kira apa yang mereka bicarakan?"
"Mungkin saja sesuatu tentang tentang cara agar Edmund tidak dikorbankan di Meja Batu." Eva menjawab sembari mendudukkan diri disebelah Peter.
"Kira-kira, apa keputusan Aslan?"
Kini Susan yang bertanya. Kepala merah menggeleng tak tahu. Terdiam sejenak, lantas sang lelaki tertua menatap Eva.
"Tadi, saat kau adu mulut dengan penyihir itu, bagaimana bisa kau begitu berani?"
Sang ginger menatap kearah lain selain sang empu.
"Memangnya ada apa dengannya? Dia bahkan tak lebih menakutkan dari kecoak." Kini keempat Pevensie menatapnya kagum.
"Astaga! Aku diculik olehnya berhari-hari merasa begitu ketakutan dan terintimidasi setiap melihatnya kau tahu!" Kata Edmund.
"Jangankan kau Ed, aku bahkan tidak diculik dan baru pertama kali melihatnya bisa merasakan intimidasi yang mengerikan meski dia tak menatapku!" Seru Susan.
"Tapi Eva juga menyeramkan tadi, saat dia bicara dengan Penyihir itu. Jangan marah. Ini pujian." Kata Lucy. Diikuti anggukan setuju oleh ketiga saudaranya.
Menurut mereka Jadis memang menakutkan. Tapi Eva jauh lebih menakutkan.
Eva tersenyum kecut. "Sebetulnya, Jadis adalah adikku. Mungkin karena itu aku tidak takut padanya."
Semuanya menatapnya tak percaya. Edmund bahkan menganga lebar. "Dia terlihat lebih tua darimu!"
"Panjang ceritanya." Sang puan nampak tak mau menceritakan kisah masa lalunya. Lebih tepatnya tak siap
"Pantas saja wajah kalian agak mirip."
Susan sambil meneliti wajah Eva. Lantas Peter menatap dalam netra emerald. "Tapi Eva jauh lebih cantik."
Gadis ginger sontak menundukkan wajahnya. Dia benar-benar bingung kenapa jadi gugup. "T-terima kasih?"
Para Pevensie -selain Peter yang masih tersenyum sambil melirik Eva- saling bertatapan lalu kembali memainkan rumput untuk membunuh waktu.
Tak begitu lama, dan Jadis keluar lalu diikuti oleh Aslan dibelakangnya.
"Dia telah membatalkannya tuntutannya akan darah anak Adam."
Sontak semua orang bersorak gembira. Jadis yang tengah menuju kursinya, lantas berbalik kembali menatap Aslan.
"Bagaimana aku tahu janjimu bisa ditepati?"
Aslan langsung mengaum dan membuat Jadis jatuh terduduk ke kursinya. Sang penyihir putih memerintahkan para pelayannya untuk segera beranjak dari sana.
Aslan nampak terduduk disana. Dengan segera, Eva melangkah padanya dengan guratan sendu diwajah.
"Maafkan adikku, Aslan. Aku yang bertanggung jawab atasnya. Ini salahku."
Ia menyesal. Pastilah ini semua karena dirinya yang selalu menjauhkan diri sejak dulu dengan Jadis. Hal itu tentu saja bisa menimbulkan dendam maupun amarah.
"Aku tidak akan menyanggah. Tapi jangan salahkan dirimu atas kesalahannya. Itu adalah kesalahan dirinya yang harus dia tanggung sendiri. Dia sudah dewasa dan bukan lagi menjadi tanggunganmu."
Aslan berbalik memasuki tendanya meninggalkan Eva yang sedang menahan diri untuk menunjukkan emosi sedih berlebihan. Ia mengeraskan rahang. Marah pada dirinya sendiri karena baru sadar kalau ia tak mampu membesarkan sang adik dengan baik.
Para Pevensie menatap Eva bingung. Lucy yang pertama menghampiri Eva lalu menggenggam tangannya. Ditatapnya Eva disebelah dalam diam.
Sang ginger mengeratkan tangannya pada Lucy. Entah kenapa tangan itu sanggup membuat perasaannya menjadi sedikit lebih baik.
Ia menghela napas lelah Lantas tersenyum kecut menatap sang surai emas. "Thanks, Lu."
Diberi tatapan bingung. "Untuk apa?"
Eva makin melebarkan senyumnya, menampilkan gigi kelinci dan lesung pipinya. "Tanganmu entah kenapa membuatku merasa lebih baik."
Lantas kurva terukir di wajah. Lucy menatap senang karena telah membuat sang teman merasa lebih baik.
Meski telah ditutup dengan senyum hampa, namun entah bagaimana Edmund bisa menangkap netra yang masihlah sendu.
Lelaki itu menghampiri dua gadis diikuti oleh dua kakak dibelakang. "Kau tak apa?"
Eva mengangguk kecil. "Yeah, better."
Tangan porselen milik Peter terulur meraih pipi Eva tanpa sadar sadar. "Tapi kau terlihat tidak seperti itu."
Sontak tangannya ditepis kasar oleh sang adik. membuat yang lainnya menatapnya heran.
"Kenapa denganmu, Ed?" Susan bertanya. Mendekat lantas membuat formasi seperti lingkaran kecil.
Edmund memberi kakak pertama tatapan sinis."Jangan menyentuhnya. Nanti dia jadi tidak nyaman!"
Susan dan Eva saling menatap.
Lantas Peter balas menatapnya sembari membela diri. "A-aku hanya memastikan kalau dia baik-baik saja."
"Ya, tentu. Dengan menyentuh pipinya dan membuatnya tak nyaman." Sang adik kembali sarkas
'Anak ini benar-benar.' Eva menatap Edmund datar. Dia tak paham dengan jalan pikiran bocah satu itu.
Tapi disisi lain dia juga setuju kalau Peter tak seharusnya memegang pipinya sembarangan. Well, setahunya itu bukanlah tindakan pria terhormat yang sebentar lagi akan menjadi Raja Agung.
"Yang Mulia sekalian, tolong tenanglah, tak baik kalian bertengkar hanya karena masalah sepele."
Niatnya agar mereka berhenti. Tapi bukannya berhenti, pertengkaran mereka malah semakin menjadi-jadi.
Lelaki emas mengarahkan tangan pada sang puan. "See? Eva baik-baik saja!"
Sang adik memutar bola mata malas. "Memangnya kapan aku bilang Eva tak baik-baik saja?"
Eva tersenyum, menahan tawanya melihat pertengkaran kakak beradik di depannya yang dia rasa pantas untuk dinonton.
Kepalanya ditundukkan, bahunya bergetar menahan tawa. Tapi kedua Pevensie di depannya mengira dia tengah menangis. Lantas keduanya terdiam menatap Eva khawatir.
"Apa kau terluka, Ev?" Peter bertanya khawatir. Edmund malah menghadiahkannya pukulan penuh cinta dilengan. Membuat Peter mengelus lengan sembari
menatapnya nyalang.
"Kau ini kenapa sih, jadi hobi memukul?"
"Salahmu sendiri!"
"You're not get a period right, Edmund?"
Susan bertanya sambil cekikikan. Dibalas tawa Eva. Yang dimaksud Susan adalah masa periode para gadis yang sudah cukup umur. Yah, kalian tahu lah. Urusan perempuan.
Lucy menatap kedua gadis yang tengah tertawa heran
"What period?"
"Kau akan mengerti saat dewasa." Susan menatap Eva dan tertawa semakin keras.
Para Pevensie ikut tertawa meski tak paham apa yang harus ditertawakan. Selain Susan dan Eva yang tentunya paham.
.
.
.
TBC~
Hai hai~ makasih udah mampir.
______________________________________
Publish : 17 Februari 2021
Revisi: 22 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top