Bab 3
Narnia, hari ke-3.
Tubuhnya terasa ringan. Terasa seperti baru bangun dalam tidur yang sangat lama. Lama sekali.
Dirinya tak ingat apapun selain kata ‘Eva’ dan ‘Aslan’. Tapi dia sendiri pun tak tahu apa itu.
Mata emeraldnya mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Mendapati langit biru cerah dengan berhias awan yang berbentuk abstrak.
Yang lain masihlah kabur selain awan di langit biru. Hingga ketika suara cempreng mengagetkannya.
"Blimey! Lihat! Dia sudah sadar!"
Dia mengedarkan pandangan. Banyak hewan-hewan yang bisa berbicara mengelilinginya.
Ada gajah, jerapah, anjing, kucing, domba dan beberapa hewan berkaki empat lain. Bahkan burung-burung pun terbang untuk melihatnya.
Seekor anjing dengan mata binar bersuara. "Nah ayo tanya dia. Tanya namanya!" Suaranya agak berat. Mungkin dia jantan
"Halo. Makhluk apakah kau?" Tanya seekor jerapah. Suaranya terdengar lembut. Mungkin dia betina.
"Bodoh! kubilang namanya. Bukan jenisnya!"
"Oh ya ampun. Apa bedanya?"
"Kalian berisik! Biarkan dia menjawab dulu." Tegur seekor gajah.
Tapi percakapan itu terhenti kala seekor singa jantan mendatangi mereka. Semuanya mundur membukakan jalan kepada sang singa bersurai emas nan bercahaya.
Eva bisa melihat cahaya sihir kuning keemasan disekeliling singa itu menandakan sang singa bukanlah singa biasa.
"Eva. Maaf membuatmu menunggu cukup lama."
Netra emerald melebar. Entah bagaimana dia mengenal sang singa. Hingga labium berucap dengan sendirinya. "Aslan?"
Sang singa mengangguk mantap, membuat surainya menari kala bergoyang. Sekelebat ingatan muncul dalam pikiran.
Eva jadi mengingat semua hal tentang dirinya. Tentang Charn, peperangan dirinya dan kelompok Takhtranz, hingga adiknya yang mengucapkan Kata Kemalangan.
Ia berdiri, tapi langsung terhuyung lantaran merasakan sakit luar biasa dikepala.
"Tenanglah Eva. Berbaringlah kembali, maka kau akan merasa lebih baik." Sang singa agung berkata lembut tapi terdengar seperti perintah ditelinga Eva.
Dengan patuh dirinya kembali berbaring dan menyamankan diri diatas rerumputan. Sembari menatap langit yang tak hentinya meneduhkan mata.
"Apa aku disurga?"
Anehnya ia merasa begitu nyaman berbincang dengan Aslan. Seolah Aslan adalah orang yang sudah lama dia kenal. Padahal dirinya sendiri pun tak tahu selama apa ia mengenal Aslan.
"Tidak. Kau ada di negeriku, Narnia."
Alis merah mengernyit. Tak ada ingatan tentang negeri bernama Narnia di kepalanya.
"Narnia? Apa itu adalah negeri di utara Charn? Tidak. Disana namanya Nirant. Atau itu adalah desa kecil di bagian Solis?"
"Bukan. Negeri ini adalah negeri yang baru ku buat tiga hari yang lalu. Tepat saat tiga hari yang lalu, adikmu datang mengacaukan negeri ini dengan memakan buah apel kebeliaan. Dia telah memperoleh kekuatan untuk dirinya sendiri."
Eva mengangguk mengerti. Dasar, adiknya. Tidak di Charn, tidak disini, selalu saja membuat masalah. Apakah Jadis itu ditakdirkan menjadi seorang biang kerok?
"Kupikir, kupikir aku sudah mati."
Netra ditutup kala labium berucap. Dijawab gelengan pelan sang singa.
"Aku memanggilmu tepat sebelum Penyihir itu mengucapkan Kata Kemalangan. Tapi aku menyembunyikanmu dulu, berada dibawah naungan Father of Time selama bertahun-tahun. Dia memutar waktu tubuhmu agar kau bisa bertahan. Kau tidak boleh bertemu penyihir itu sebelum waktunya."
Kini kepalanya bertanya-tanya. Padahal adiknya yang membuat masalah, kenapa selalu dia yang harus membereskan? Netra kembali dibuka. Menatap sang singa agung yang masih menatapnya.
"Tapi untuk apa?"
"Aku yakin penyihir itu akan berbuat sesuatu lagi. Hingga ketika dia tiba di Narnia, aku semakin yakin bahwa menyembunyikanmu dibawah naungan Father Of Time adalah pilihan yang benar. Selain itu, aku juga mendengar sumpahmu. Sumpah yang mengikatmu dengan penyihir itu sejak kau mengucapkannya hingga kalian dipisahkan maut."
Netranya melebar sedikit. Lantas diri terkekeh kala menyadarinya.
"Benar juga."
Bagi keturunan bangsa jin di Charn, sumpah adalah hal yang sangat sakral. Sekali mengatakannya, maka akan terlaksanakan apapun yang terjadi.
Apalagi sumpah mengikat seperti yang diucapkan Eva dulu. Sumpah itu akan mengikatnya dengan Jadis sampai mati.
"Kalau begitu, akan kutuntaskan sumpahku. Aku akan melawan Jadis. Bawa aku padanya Aslan!"
Ia mencoba duduk. Tapi langsung ditahan oleh singa agung.
"Tentu. Tentu akan kau lawan. Tapi tidak sekarang. Semua ada waktunya, Eva."
Aslan kini menatap seluruh hewan-hewan yang bisa berbicara. Nampak mereka menunduk kala ditatap.
"Narnians! Anak didepan kalian ini adalah Penyihir Agung Narnia yang akan membantu kalian melawan Penyihir jahat. Dia adalah Eva, Penyihir Agung Narnia."
Yang lain berbisik-bisik sembari menatapnya. Entah apa isi bisikan itu, Eva tak tahu.
Karena bingung apa yang harus dilakukan, jadi dia hanya mengedarkan pandangan pada semua makhluk dan menatap mereka dengan senyum kikuk.
Astaga, sejak kapan dia jadi naif begini? Kemana semua wibawa dan kharismanya saat menjadi ratu? Oh, mungkin saja sudah di telan waktu.
"Selain itu, akan kusebutkan ramalan pada kalian. Ramalan ini akan terwujud suatu saat nanti. Ramalannya yaitu ‘Ketika daging Adam dan tulang Adam duduk di Cair Paravel dalam takhta, maka kejahatan akan berakhir dan selesai’."
Eva menatap Aslan yang penuh wibawa. Alisnya terangkat sebelah kala mendengar ramalan. Apa itu artinya sumpahnya pada Jadis tak akan terlaksana hingga daging dan tulang milik makhluk bernama adam itu datang?
Ia menatap para hewan yang juga saling bertatapan bingung. Rupanya ia tak sendirian.
"Apa maksudnya Aslan?"
Eva menatap sang pemilik suara bariton. Ia adalah lelaki dengan mahkota dan jubah merah yang menjulang kelantai. Membuat Eva merasa yakin bahwa manusia itu adalah raja di Narnia.
"Kalian akan mengetahuinya. Jenismu adalah yang tercerdas anakku."
Kini Aslan beranjak, berjalan menjauh dari mereka. Tak ada yang berani menahannya. Malah semua membukakan jalan agar dia bisa lewat.
Eva langsung berdiri berjalan mengikuti Aslan. Menghiraukan rasa pusing yang menyerang kepalanya.
"Aslan. Kau mau kemana?"
Sang singa berhenti dan menatap Eva. Seolah tak ingin Eva bertanya lebih lanjut, ia menjawab tanpa benar-benar menjawab.
"Aku harus pergi, ada yang harus kulakukan."
Eva menatap Aslan sendu. Dia mengelus surai Aslan lembut.
"Aslan, bawa aku bersamamu."
Eva langsung mengerjapkan matanya kala sadar saat apa yang baru saja di katakan. Ia menarik tangannya.
"Astaga Aslan, maafkan aku. Aku sudah lancang!"
Aslan menatapnya lantas terkekeh.
"Aku membawamu kesini, karena kuharap kau mau membantu anak adam dan hawa itu menjaga Narnia. Tak kusangka kau malah ingin ikut denganku."
Eva tersenyum manis menampilkan lesung pipinya. Lalu tertawa kecil.
"Tanpa sadar, aku ingin terus berada disisimu, Aslan."
Ia berhenti sejenak dan menunduk sebentar. Lantas kembali mengangkat kepala, menatap serius pada netra sang singa.
"Tapi jika kau ingin aku melindungi Narnia dari Jadis sebagai salah satu bentuk sumpahku, maka akan kulakukan."
Angin semilir memainkan surai mereka. Netra menyendu saling bersirobrok.
Rasanya seperti pertemanan singkat yang baru saja terjalin, namun harus langsung berpisah sedetik berikutnya.
"Tapi Aslan, kita akan bertemu kembali kan?"
"Tentu Eva. Ketika ramalan itu hampir terwujud, kita akan bertemu kembali."
Kurva terukir di keduanya. Perpisahannya kali ini tergolong sebagai perpisahan yang menyenangkan.
"Kalau begitu, akan kutunggu kau kembali."
***
Sejak saat itu, Eva membantu semua rakyat Narnia. Bahkan dalam pembangunan kastil baru untuk tempat tinggal Raja dan Ratu Narnia yang pertama.
Eva memasukkan sihirnya di kastil itu. Membuat kastil itu tetap kokoh dan bersinar meski ratusan tahun berlalu.
Kastil besar, berwarna putih itu diberi nama Cair Paravel. Tempat Eva dan Raja dan Ratu tinggal.
Raja dan Ratu memiliki banyak anak yang tersebar menuju selatan. Mendirikan negeri bernama Archenland.
Eva sudah melihat banyak kematian didepannya. Mulai dari Raja dan Ratu pertama, kedua, dan seterusnya hingga Raja terakhir. Dia seperti itu karena sumpahnya pada Jadis. Jika Jadis masih hidup, maka dia akan tetap hidup.
Eva ikut disemua peperangan melawan Jadis. Mereka bisa membuat Jadis dan pasukannya mundur. Tapi tidak bisa membuat Jadis mati.
Alasannya? Eva tidak bisa membunuhnya. Jadis telah memakan buah kebeliaan membuatnya kuat dan tidak bisa mati.
Hingga peperangan terakhir Eva dan Raja terakhir Narnia bertarung melawan Jadis. Jadis membuat Narnia berubah menjadi daratan salju. Tidak ada musim panas. Hanya salju dingin dan putih.
Setelah peperangan itu, Eva memerintahkan seluruh rakyat Narnia untuk bersembunyi dan hanya keluar jika ada yang penting.
Di saat yang bersamaan, ia telah mengembangkan sihir untuk menyegel Jadis.
Hanya saja, sihir itu belum sempurna. Ia tak tahu bagaimana cara menyempurnakannya.
Selain itu, ia juga tengah menanti kedatangan empat anak manusia yang bisa melindungi Narnia.
.
.
.
TBC~
Makasih udah mau mampir~~
______________________________________
Publish: 13 Februari 2021
Revisi: 21 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top