• TUJUH BELAS •

PENGUMUMAN!
MASA GIVE AWAY TELAH DITUTUP DAN PEMENANG BERHADIAH PULSA JATUH KEPADA Diviahld_ (Hadiah sudah diterima oleh pemenang)
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA KARYA INI YA TEMAN-TEMAN,
KARENA TERNYATA KARYAKU YANG SATU INI LOLOS KE DALAM KURASI DI PLATFORM DREAME LAGI.
MULAI BESOK AKAN DI UPDATE BERKALA DI SANA MULAI BESOK 1 AGUSTUS 2020.

SEBAGAI BENTUK DUKUNGAN KEPADA PENULIS, JANGAN LUPA TAP IKON BINTANG DI SUDUT KIRI BAWAH YA.

DAN BUAT KALIAN YANG PENASARAN DENGAN KELANJUTAN KARYA INI BISA FOLLOW AKU DI DREAME : helloimaaa

Sekali lagi,
Terima kasih.

***

Star High School, New York.

Zach menarik kursi yang paling dekat darinya dan duduk dengan posisi tegak. Bahunya yang tegap tampak mengintimidasi sang lawan bicara yang sudah lebih dahulu menunggunya. Meja yang dipilih oleh murid laki-laki yang kini duduk di sebrang Zach itu adalah meja kesukaan Isabella;di sudut yang tak terlihat dan minim menarik perhatian. Zach tersenyum tipis ketika manik cokelatnya yang gelap bertemu dengan netra cokelat berkacamata milik Andrew. "Sudah menunggu lama?"

Andrew menarik kedua tangannya dari atas meja, lalu bersedekap. Ia memandang sang detektif dengan tatapan tak suka;cenderung sinis. "Kau tidak perlu berbasa - basi," ucapnya ketus. "Kenapa kau memanggilku kemari?"

Membuat Zach terkekeh pendek dan menganggukkan kepalanya dua kali. "Baiklah, baiklah. Pertama, aku ingin berterima kasih karena kau tidak memberi tahu siapapun mengenai penyamaranku dan Nate di asrama, kedua, apakah kau sudah menemukan ponsel Alisa?"

"Pertama, aku tidak membocorkan informasi karena Paman Ben mengancam akan menghapusku dari olimpiade matematika jika aku melakukannya dan kedua, aku sama sekali tidak mengetahui dimana ponsel Alisa." Andrew kemudian membenarkan kaca matanya yang turun dan menatap Zach tak suka. "Apa kita sudah selesai?"

"Sebagai kekasih, bukankah kau seharusnya tahu dengan siapa saja Alisa berteman, atau mungkin...," Suara Zach tertahan di udara ketika Andrew mengangkat satu alisnya, menunjukkan ketidakpercayaan di wajahnya yang mulus. "Seseorang yang berselisih dengannya," lanjut Zach berhati-hati pada akhirnya.

"Alisa berteman baik dengan semua orang," sahut Andrew lugas.

"Lalu apa menurutmu, ini memungkinkan jika disebut sebagai kasus bunuh diri?"

Laki-laki dengan sedikit poni yang menutupi dahinya itu lantas menghela napas jengah dan membuang wajahnya ke arah lain, menatap meja-meja kafetaria yang kosong dan sepi untuk beberapa detik, lalu kembali melihat Zach yang menatap menunggu di hadapannya. "Aku dan Lily melihat Alisa sendirian di bilik toilet, ada pisau dan darah di sana, tangannya terluka dan wajahnya memucat. Apa mungkin ini sebuah kasus pembunuhan?"

Perkataan Andrew justru menarik perhatian Zach. Sensasi menggelitik tiba-tiba muncul di dada pria bertubuh atletis itu. Menggerakkan instingnya sebagai seorang penyelidik kepolisian untuk mengungkap kebohongan yang ada di depan matanya. "Bukankah gadis pirang itu berkata bahwa bunuh diri adalah sesuatu yang tidak menggambarkan Alisa? Kau tidak sepakat dengannya, begitu?"

"Dengar, Detektif, atau Paman Troll, aku bahkan tidak tahu harus memanggilmu apa," ucap Andrew dengan suara yang meninggi. "Lily mungkin mengatakan hal aneh karena dia terlalu syok hari itu, begitupula dengan aku. Tapi jika kuingat-ingat lagi, Alisa belakangan ini memang dibicarakan banyak orang karena rumor buruk tentang keluarganya."

"Apa kau berusaha mengatakan bahwa Alisa mungkin menghabisi nyawanya sendiri karena dia tertekan dengan rumor yang beredar?"

"Tidak ada yang tahu," tukas Andrew ambigu.

Keheningan terjadi setelahnya, mungkin sekitar dua sampai tiga menit, sampai akhirnya Andrew menarik napas dan memaksakan senyum di bibirnya yang keabuan. Kedua tangannya yang sejak tadi berada di sisi kursi, kini diangkat ke atas meja, kedua jari-jarinya saling mengait dan meremas satu sama lain. Wajahnya kemudian mendongak, menatap Zach lurus-lurus. "Ini sudah pukul sembilan, Paman Troll. Bisakah aku kembali ke kamarku sekarang?"

"Boleh aku menanyakan satu hal lagi padamu?"

Andrew terdiam, sebelum akhirnya menghela napas dengan kesal dan mengedikkan bahunya. "Sebaiknya kau tidak mengulang pertanyaan yang sama, Detektif."

"Apakah kau mengenal Isabella?"

Pertanyaan Zach membuat Andrew tak bisa berkata-kata. Ia tercenung untuk sekitar dua puluh detik, sebelum akhirnya mendengus geli dan menggeleng tak habis pikir. "Bagaimana aku tidak mengenalnya?"

Zach membulatkan kedua matanya, kaget. "Kau mengenalnya?"

"Ya."

"Bagaimana?"

"Bagaimana apa?" Dahi Andrew mengerut dalam-dalam. "Isabella dan aku berada di kelas yang sama. Bagaimana aku bisa tidak mengenalnya?"

Ekspresi wajah Zach tampak muram. Ekspektasinya tentang Andrew yang mengetahui hubungan antara Isabella dan Alisa mendadak sirna seketika. Tampaknya Andrew tak tahu apa-apa soal gadis es yang kini menjadi teman satu kamar Zach. Pria bertubuh tinggi itupun lantas menyilang kedua tangannya di dada dan menaikkan satu alisnya, lalu bertanya lagi, "Maksudku, apa kalian saling mengenal sebelum dia pindah ke asrama ini?"

"Ck, bagaimana bisa?" Zach mengamati wajah Andrew yang terlihat meremehkannya. "Aku akan kembali ke kamarku sekarang. Sampai jumpa, Paman Troll." dan tubuhnya pun beranjak dari kursi, lalu pergi meninggalkan Zach sendirian di kafetaria asrama malam itu.

Andrew kemudian berjalan menuju kamarnya yang ada di ujung koridor sembari menyeringai penuh kemenangan. Ketika sampai di belokan koridor, seorang gadis tiba-tiba muncul dan menghentikannya. Wajah gadis itu tak kalah ceria jika dibandingkan dengan mimik muka milik Andrew. Lalu, gadis itu bertanya, "Bagaimana?"

"Kurasa dia mempercayai kata-kataku."

"Sungguh?" tanya gadis itu memastikan. Ia lantas mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. "Mari kita terus bekerja sama sampai akhir. Jangan biarkan orang lain mengetahuinya sampai kedua polisi itu pergi dari asrama."

Andrew melihat tangan sang gadis untuk beberapa saat sebelum menjabat tangannya dan balas menatap sang gadis dan menyeringai lagi. "Ya. Pastikan kau menepati janjimu padaku," timpalnya.

"Tentu saja."

***

Zach kembali ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya dengan asal di atas ranjang. Ia memejamkan mata, lalu mengembuskan napas dengan berat, sebelum akhirnya matanya kembali terbuka secara perlahan. Manik cokelatnya yang gelap menengadah menatap langit-langit kamar yang di cat putih. Ia memikirkan banyak hal kemudian, sedikit banyaknya tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam kasus kematian Alisa. Termasuk kesaksian Lily, Andrew dan sikap aneh yang ditunjukkan oleh Isabella.

Ah, omong-omong soal Isabella, Zach dibuat kaget karena pintu kamar mandi terbuka secara tiba-tiba. Zach jelas merasa terkejut, karena bagaimanapun juga, kamar yang ditempatinya adalah kamar sepeninggal orang mati. Tubuhnya tak bisa berbohong bahwa ia ketakutan. Namun semua imajinasinya itu memudar seketika saat Isabella keluar dan muncul dari balik pintu, dengan menggunakan piyama handuk berwarna hitam sepaha, Isabella justru terlihat sibuk menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang lain. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa adegan yang terpampang di hadapannya sekarang, berhasil membuat sesuatu di tubuh Zach menegang seketika. Seluruh bulu kuduknya meremang dan Zach merasakan desir hangat yang menggelitik dadanya ketika netra biru milik Isabella kini menghunus tepat ke arahnya.

Isabella ... adalah orang pertama yang membuat jantungnya berdegup tak karuan seperti sekarang dan Zach, akan memastikan, bahwa gadis itu juga akan menjadi orang terakhir yang membuat tubuhnya menggila seperti saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top