• EMPAT BELAS •

Star High School, New York.

Zach sibuk memainkan ponsel sembari duduk bersandar pada bantal di atas ranjangnya ketika Isabella terlihat fokus membaca sebuah novel dengan sampul yang didominasi oleh warna gelap. Melihat bahwa keduanya hanya diam sejak 30 menit yang lalu, membuat perasaan Zach terganggu. Ia merasa canggung sekaligus penasaran di waktu yang bersamaan. Sehingga sesekali, netra cokelatnya yang gelap berusaha mencuri pandang ke arah Isabella di sebrang sana.

Gadis itu tampak tidak berekspresi. Wajahnya yang putih dan mulus hanya menambahkan kesan dingin dan angkuh yang sudah melekat dalam dirinya sejak pertama kali Zach melihatnya. Aneh bagi Zach ketika melihat gadis seperti Isabella, yang terkesan berandalan dan cuek, justru suka membaca buku.

Zach akhirnya mendapatkan sebuah ide. Sedikit pencerahan mengenai topik apa yang sebaiknya ia buka untuk mencairkan suasana di tengah-tengah atmosfer canggung di antara mereka berdua. Ia pun berdeham pelan dan meletakkan ponselnya di dekat bantal, lalu melihat Isabella dengan eskpresi penasaran yang dibuat-buat. "Gadis berandalan sepertimu suka membaca?"

Namun Isabella sama sekali tidak menanggapi. Wajah gadis itu hanya menunduk, sementara helai-helai rambut cokelatnya yang panjang menjuntai menutupi kedua pipinya, membuat bentuk wajah Isabella semakin terlihat kurus dan ramping.

Membuat detektif berusia 27 tahun itu mengernyitkan keningnya heran. Bagaimana mungkin seorang murid bisa mengabaikan wali kelasnya seperti ini? Zach pun bergerak, memperbaiki posisi tubuhnya untuk kemudian duduk bersila dan menghadap ke arah Isabella. Ia melipat kedua tangannya di dada dan mendengus pendek. "Hey, gadis berandal. Apa kau sedang menghindariku sekarang?"

Lagi, Isabella tak menanggapi. Gadis itu hanya diam dan terus menatap kertas berwarna kekuningan di tangannya lamat-lamat. Suara Zach seolah tak berarti apa-apa baginya. Isabella bahkan asyik membalik satu persatu halaman novel yang tengah dibacanya tanpa menyadari bahwa Zach kini telah turun dari ranjangnya dan menghampiri Isabella. Begitu gadis itu menemukan ujung kaki Zach di sudut matanya yang melihat buku, barulah Isabella mendongak, menatap kedua mata Zach yang memandanginya lurus-lurus dengan ekspresi datar. Ia menghela napas jengah dan melepaskan kedua earphone portabel dari telinganya dengan kesal. "Ada apa?"

Wajah Zach berubah merah. Ia berkacak pinggang dan melihat benda kecil berwarna putih yang sejak tadi menyumbat telinga Isabella dengan canggung. "Kau ... menggunakan 'itu' daritadi?"

Netra biru Isabella melihat benda yang dimaksud Zach, lalu kembali pada detektif itu sembari mengangguk. "Apa suaranya terlalu keras sampai mengganggumu di seberang sana?" tanyanya dengan nada sarkas. Ia bahkan menutup novel berukuran tebal dalam genggamannya dengan sekali tepuk, suaranya cukup keras dan mengagetkan sehingga membuat Zach terkesiap dan mundur dua langkah dari posisinya berdiri. Isabella tampaknya tahu bagaimana caranya mengintimidasi sang lawan bicara dengan baik, terlihat dari bagaimana eskpresi Zach yang benar-benar malu sekarang. "Apa caraku duduk, diam dan membaca buku, benar-benar mengganggumu?"

"Ti--tidak," kata Zach gugup. Ia terkekeh pendek, berusaha mencairkan suasana tegang yang mendadak muncul karena kesalahpahaman yang dibuatnya dan kembali duduk di tepi ranjangnya dengan hati-hati tanpa sedikitpun melepas pandangan dari Isabella. "Justru, aku ingin mengajakmu bicara."

"Tidak ada yang perlu yang dibicarakan." Gadis kelahiran New York itu hendak memasang kembali benda kecil tanpa kabel ke dalam telinganya, sebelum akhirnya Zach buru-buru memanggil namanya. Menarik atensi Isabella untuk segera menoleh ke arah pria bertubuh atletis di sebrang sana. "Apa kau harus memanggil namaku seperti itu, Paman Troll?"

"Panggil Zach saja," ucap Zach mengoreksi.

"Paman Troll terdengar cocok untukmu," balas Isabella ketus. Zach mendesah kesal, menyadari bahwa gadis di hadapannya benar-benar berbeda dari gadis lainnya;Isabella menyebalkan. "Bukankah kau ingin dihormati oleh muridmu selama di asrama?"

"Tapi hanya ada kita berdua di sini."

"Tapi kau adalah wali kelasku." Zach membulatkan kedua matanya tak habis pikir karena Isabella tak bisa berhenti menyindirnya. "Wali kelas pengganti."

"Baiklah, baiklah." Zach kemudian mengangkat kedua tangannya ke udara, memberi isyarat agar gadis itu bersikap tenang dan berhenti mengintimidasinya. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Isa ... bella."

"Isa sudah cukup," ujar gadis itu dengan nada tak suka. "Ada apa?"

Detektif bernama lengkap Zach Troll itu menarik oksigen sebanyak-banyaknya dan menatap mata Isabella dengan serius. "Begini, apakah saat kau datang ke tempat ini...," Suara Zach tertahan untuk beberapa saat, sebelum akhirnya pria itu meninggalkan keraguannya dan kembali melanjutkan, "Ada sesuatu yang terlihat mencurigakan?"

"Tidak."

"Apakah ada barang Alisa yang tertinggal?"

"Alisa?" Isabella balik bertanya.

Membuat Zach menganggukkan kepalanya dengan cepat. Raut minim ekspresi itu tampak sedikit berubah menjadi penasaran. Kedua alis tebal milik Isabella bertaut dalam dan manik biru lautnya tampak mengamati gerak gerik Zach dengan saksama. Ekspresi ingin tahu itu berubah menjadi bentuk defensif. Ia menyilang kedua tangannya di dada dan menaikkan satu alisnya dengan cepat. "Bagaimana kau bisa tahu tentang Alisa? Bukankah kau hanya wali kelas pengganti di asrama ini?"

Mulut Zach menganga untuk beberapa detik, terlalu terkejut dengan reaksi Isabella yang justru melemparkan pertanyaan lain untuk Zach. Ia pun mengedikkan kedua bahunya dan berusaha bersikap normal. "Paman Ben bilang tidak ada yang berani menempati kamar Alisa sejak dia meninggal."

Garis-garis wajah Isabella tampak mengendur, terlihat lega. Ia lantas ikut mengangkat kedua bahu dan meletakkan novel yang berada di tangan kanannya ke dalam laci nakas dengan santai. "Kurasa tidak ada. Selain bantal, guling dan seprai yang kau gunakan sekarang," terang Isabella sekenanya. Ia bahkan tak peduli dengan ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh Zach karena gadis itu bersikap tak sopan padanya. "Omong-omong, kenapa kau peduli?"

Wajah Zach berubah cerah. Ia akhirnya menemukan celah untuk membuka obrolan panjang dengan Isabella, plus, satu orang lagi yang mungkin mengetahui tentang rahasia di balik kematian gadis bernama Alisa itu. Zach pun tak melewatkan kesempatan ini dan berinisiatif memancing Isabella. "Kudengar ponsel Alisa hilang sampai sekarang."

"Sungguh?" Tidak terdengar kaget, Isabella justru bersikap santai dan kembali duduk di tepi ranjangnya, balas menatap Zach dengan raut tanpa ekspresi seperti biasa. "Mungkinkah ponsel Alisa sudah diambil oleh tim penyelidik?"

"Sepertinya tidak. Ponsel Alisa hilang dan mungkin saja itu adalah satu-satunya benda peninggalan Alisa yang dapat membuktikan semuanya." Isabella mengalihkan wajahnya ke kanan, membiarkan Zach menyaksikan betapa sempurnanya lekuk leher gadis itu sekarang. Membuat jantung Zach berdebar tak karuan secara tiba-tiba, meloloskan perasaan aneh yang menggelitik perut Zach sampai suara pria itu justru terdengar seperti cicitan sekarang. "Apa--apa kau tahu sesuatu?"

Ketika Isabella menoleh, saat itulah Zach tersadar dari fantasi liarnya. Gadis itu menatapnya lurus-lurus sembari berkata, "Aku tidak tahu. Tapi, aku akan mencari tahu nanti."

"Kau akan mencari tahu? Bagaimana caranya?"

"Entahlah." Isabella menyeringai tipis sebelum akhirnya berbaring dan membelakangi Zach, lalu menutup sebagian tubuhnya dengan selimut. "Tapi Alisa selalu meninggalkan jejak untukku. Mungkin aku akan menemukan jejak itu suatu hari nanti."

Kalimat yang terlontar dari mulut gadis itu, justru membuat Zach bertanya-tanya sekarang, mungkinkah Isabella mengetahui sesuatu dari kematian Alisa? Haruskah Zach mendekatinya agar Isabella menceritakan semuanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top