・ᴡ ᴇ ʟ ᴄ ᴏ ᴍ ᴇ , ᴊ ᴇ ᴊ ᴜ
°•°•°•°
✱
✳
✱
✳
( w e l c o m e , j e j u )
YOON Jeonghan yakin, sembilan jam perjalanan dari bus dan kapal feri tadi akan menjadi segelintir dari kepingan memori baik selama SMA yang akan disimpannya hingga tua kelak. Walau well, ia tidak melakukan banyak hal seru selama di busーtidak karaoke dadakan seperti Soonyoung atau membeli banyak camilan seperti Jisoo. Saat di kapal feri pun, pemuda itu memilih menghabiskan waktu dengan tidur alih-alih bermain sambung kata dengan teman sebilik.
Orang bilang, tur studi sekolah dapat menjadi momen-momen krusial bagi seluruh siswa SMA. Akan ada bunga cinta bermekaran, lingkaran pertemanan baru terbentuk, pula berbagai macam pengalaman mengasyikkan yang akan kau kenang sampai tua.
Tak dapat disangkal, masa SMA adalah masa paling indah.
Jeonghan tentu paham seluruh teori tersebut. Ia sering mendengar berbagai pengalaman unik orang semasa remaja, kisah romansa siswa SMA yang anehnya selalu berawal indah dan berakhir bahagia, juga beberapa cerita klasik mengenai persahabatanーsemua berawal dari sekolah. Awalnya pemuda itu merasa skeptis. Dari sekolah dasar hingga menginjak SMP, tak pernah ada satu peristiwa menarik yang ia alami.
Jadwalnya konstan, padat, dan persisten; sekolah, pulang, pergi kursus atau ke ruang belajar, membaca buku dan mengulang puluhan lembar latihan soal sampai malam.
Guru berkata bahwa nilai adalah poin utama. Orangtuanya tak jemu mengingatkan bahwa peringkat merupakan hal paling penting bagi siswa.
Tapi itu terasa salah. Semua kalimat tersebut kian lama kian membuatnya tersesat.
Sebab fakta lain yang tak dapat disangkal, Yoon Jeonghan merasa hampa. Tahun-tahun hidupnya ia habiskan hanya untuk menghafal dan menghafal, membaca dan membaca, ujian dan ujian. Hingga pada satu kesempatan tatkala peringkat diumumkan dan namanya menduduki posisi sepuluh besar bersama Jihoon, Jisoo, dan Junhui, pemuda itu malah menemukan diri berada di ambang keraguan, 'Apa ini yang benar-benar kuinginkan?'
Apa ini benar-benar tujuan utama sekolah?
Ternyata benar, terlalu lama hidup dalam kekang orang dewasa lambat laun membuatmu bertransformasi menjadi mayat hidup. Hampa. Datar. Buram. Tanpa tujuan. Tanpa kemauan.
Namun bak bubuk magis yang Tuhan tabur dalam hidupnya, Kwon Soonyoung tiba-tiba muncul di hadapannya, duduk di sampingnya, menjabat tangannya, bahkan berbagi rahasia dan cerita bersama. Jeonghan tak tahu apa harus menyebutnya anugerah atau malapetaka, keberuntungan atau malah kemalangan. Sebab kini, rahasianya terungkap.
Rahasia yang ia pendam sejak tahun pertama SMA, rahasia yang hanya berani ia tuang melalui lukisan tinta di atas selembar kertas.
Untuk gadis itu.
"Ingat rencana kita, 'kan?"
Keduanya tengah berjalan menyusuri jalan bertapak menuju vila seraya membawa koper kala Jeonghan tersentak. Seluruh lamunannya bubar. Ia menelan saliva, melirik Areum yang tengah berbincang dengan Wonwoo beberapa meter di depannya sebelum berpaling menatap Soonyoung. "Aku tidak yakin rencana kita akan berhasil." Pemuda itu tersenyum kecut. "Areum gadis yang baik. Ia pantas mendapat lelaki yang terbaik."
"Dan kau bukan 'lelaki itu'?"
Soonyoung lantas menjatuhkan seluruh barang bawaannya dengan keras, sempat menimbulkan bunyi 'bugh' pelan yang menyita atensi siswa namun pemuda itu tak peduli. Dengan kedua mata sipit yang dipaksa membelalak serta alis bertaut serius, Soonyoung mengeraskan rahang saat berkata, "Dengar aku Yoon Jeonghan, kau itu tampan, baik, pintar, dan menarik. Namun semua itu tidak akan berarti kalau kau tidak percaya diri. Memang apa gunanya menyukai seorang gadis tanpa keberanian untuk mengaku?"
Jeonghan bungkam. Tenggorokannya tercekat. Untuk apa? Memang untuk apa? Dulu, pemuda itu tak pernah menyangka perasaannya akan berkembang sekompleks ini. Bermula dari kagum, merambah menjadi suka dan tanpa sempat ia cegah, setetes rasa tersebut bertumbuh pesat dan bercabang kemana-mana. Jantungnya berdegup kencang kala melihat Seungji, bibirnya bergetar tanpa dapat dikendalikan, bahkan peluh mengalir deras pada tubuhnya tiap berada dekat gadis itu.
Ah, jadi itu yang dinamakan jatuh cinta.
Soonyoung berdecak tak habis pikir. "Kalau begini terus, kau hanya akan dijadikan lelucon anak-anak kelas. Tidak ingat bahwa puisimu tersebar?"
Jeonghan dapat merasa punggungnya basah oleh keringat. "Apa ... apa Seungji tahu?"
"Kau pikir aku bisa membaca pikiran gadis itu? Untungnya ia tidak ada di kelas saat Ki Tae membacakan puisimu di depan kelas," Soonyoung menyahut setengah sarkas, "baiklah kalau begitu. Sepertinya aku perlu bertindak sedikit keras."
Setelahnya tanpa aba-aba atau persiapan apapun, Soonyoung buru-buru meraih ganggang kopernya dan berjalan cepat menghampiri Wonwoo serta Seungji. Jeonghan membelalak. Bermodal kepanikan dan sisanya nekad, pemuda itu kemudian membenarkan posisi tas jinjingnya dan setengah berlari menyusul Soonyoung.
"Ah, Jeon Wonwoo! Astaga, rasanya sudah lama kita tidak mengobrol."
Raut wajah Wonwoo berubah bingung. Langkahnya otomatis terhenti, Seungji di sampingnya ikut mengernyit. Jeonghan sempat memperhatikan gerak-gerik Soonyoung dengan jemari bertaut gugup. Apa yang pemuda ini lakukan?
Namun di luar dugaan, Wonwoo malah mengulas senyum dan menepuk bahu Soonyoung ramah. "Tumben sekali kau mencariku dan bukan Mingyu."
Soonyoung terkekeh seraya mengusap tengkuk. "Tidak, aku berjalan dengan Jeonghan dan melihatmu dengan Seungji." Kemudian pemuda itu menoleh ke samping, tersenyum lebar saat melihat Jeonghan di sisinya. "Perkenalkan, Yoon Jeonghan, teman sekelasku."
Senyum, Jeonghan. Senyum, senyum. Ingatlah bahwa kau tampan dan menarik. Tidak usah malu. Ini mudah.
"Y-y-yoon Jeonghan. Sa-salam kenal."
"Ah, ya. Kau yang mendapat nilai sempurna pada ujian matematika kelas sepuluh." Wonwoo tersenyum menahan tawa. "Kau tahu, kau berhasil membuat Jihoon kebakaran jenggot sebab peringkatnya turun."
Soonyoung tertawa bersama Wonwoo. Jeonghan inginーingin sekaliーmengulas tawa, tapi bibirnya kaku luar biasa. Lidahnya kelu. Jemarinya bergetar gugup. Apalagi tatkala melirik Seungji, melihat bagaimana kedua sudut bibir gadis itu perlahan melengkung membentuk seulas senyum.
Tunggu.
Seungji tersenyum.
Gadis itu tersenyum.
Jeonghan dapat merasanya dadanya seolah dihujami pancuran bunga.
"Jangan begitu. Diam-diam begini Yoon Jeonghan pintar, lho!" sahut Seungji, menyenggol siku Wonwoo. "Katakan pada temanmu kita punya saingan baru."
Wonwoo lantas tergelak. "Jihoon pasti tidak suka kabar itu."
Kemudian, ketiganya larut dalam tawa. Jeonghan mengusap tengkuknya dan tersenyum kikuk. Ternyata Soonyoung benar. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Tiga hari kedepan akan menjadi awal dari hidup barunya sebagai lelaki percaya diri. Bukan lagi Si Kutu Buku, atau Si Pemuda Tanpa Nama, atau Si Cupu Menyendiri. Tidak, semua itu sudah berakhir.
Selamat datang, Jeju. Selamat datang diriku yang baru. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top