・ᴛ ʜ ᴇ ᴇ ɴ ᴅ

MEREKA bilang, masa lalu adalah tempat untuk berkaca; refleksi dan introspeksi diri, demi mengenal juga membangun karakter yang lebih baik. Petik hikmah dari kejadian buruk yang menghantam hidupmu, ambil sisi positif, lalu buang semua kepahitan dan dendam yang menggumpal dalam hati. Itu adalah salah satu rahasia orang-orang bahagia, katanya. Itulah satu alasan mengapa banyak orang menyebut masa lalunya sebagai pelajaran berharga namun tidak larut di dalamnya.

Areum diam-diam tersenyum sinis. Bahagia, ya. Gadis itu sendiri sudah tak lagi memiliki pandangan jernih akan definisi bahagia sesungguhnya. Apa itu kebahagiaan? Selalu tertawa dan pandai membuat lelucon dari tiap bahan omongan di tengah jam-jam makan siang? Dapat menghamburkan uang dengan barang-barang mahal? Atau, membicarakan seluruh kekurangan diri seperti lelucon di depan banyak orang?

Sebenarnya, apa yang membuat manusia begitu percaya diri akan memperoleh kebahagiaan sejati?

Namun seluruh pertanyaan itu terus tertumpuk dalam benak―perlahan menumpuk, menyatu, dan bergabung menjadi gunungan masalah dengan puncak tiada tanding. Waktu-waktu inilah yang sukses membuat gadis itu percaya bahwa 90% kehidupan diisi oleh teori belaka. Areum sendiri sudah muak dengan semua kalimat manis manusia. Baginya, hitam tetap hitam. Luka tetaplah luka dan masa lalu yang pahit akan terus menghantuinya sampai tua.

Namun Areum tak pernah sadar, bahwa lambat laun pun ia harus menghadapi semua kepahitannya sendiri.

Persis dengan apa yang terjadi saat ini.

"Apa kedatanganku spesial, huh? Kau tampak sangat terkejut, Sayang."

Areum bukan hanya terkejut. Ia terguncang―tubuhnya gemetar dan jemarinya saling bertaut erat di depan tubuh. Irisnya menilik baik-baik sosok di hadapannya sekarang: wajah itu, surai itu, seringai itu. Semua mendadak kembali membawa bayangan memori buruk yang berhari-hari selalu muncul dalam mimpi buruknya.

Apa yang Chwe Hansol inginkan dalam hidupnya?

"Oh, lihatlah sekarang. Kemana perginya gadis sok tahu yang dulu dengan tak tahu diri berani mengancam 'Preman Sekolah'?" Hansol tertawa tipis. Pemuda itu memasukkan kedua telapak tangan dalam saku jaket, melepas paksa masker hitam yang sedari tadi membungkus nyaris setengah bagian wajahnya.

"Astaga, lihatlah dirimu sekarang." Hansol tertawa setengah mencemooh. Dalam balutan langit malam yang gelap, penerangan remang-remang di sudut jalan, Hansol tanpa ragu melangkah lebih dekat pada lawan bicara, seketika sukses mengirim sensasi ngeri merayapi tubuh si gadis kala ia berkata, "Kau terlihat lemah, kecil, dan tak berdaya. Andai dulu pun kau seperti ini, Areum." Ia menjeda, sejenak membelai surai lawan bicara walau si pemilik menolak. "Mungkin aku tak perlu repot-repot menggunakan kekerasan padamu sekarang."

Ada sesuatu dalam tatapan mata Hansol yang membuat Areum bergidik. Sejujurnya, seluruh bagian wajah pemuda itu berhasil mengirim kembali seluruh sensasi ngeri pada tubuh. Memori buruk itu, rasa mual, jijik―semua bercampur dan mengaduk lambungnya rata.

Sial, tenggorokannya seketika tersendat.

"Jang-jangan mendekat. Kuperingatkan kau―kuperingatkan kau, Chwe Hansol!"

"Oh oh oh, ada yang takut, rupanya." Hansol tertawa, tak tampak bersalah dan malah menikmati rasa takut si gadis. Namun tak sampai dua detik sebelum senyumnya luruh sempurna, berganti pada tatapan keji kala pemuda itu mencengkram pergelangan tangan Areum dan berkata, "Kuakui, kau memang pintar―sangat pintar―berpura-pura, Areum."

Areum menggeleng, dalam hitungan detik kedua matanya dipenuhi air mata. Kedua lututnya lemas dipenuhi ketakutan, tenggorokannya terasa panas. Seharusnya hari ini ia membolos dari kerja paruh waktu. Seharusnya ia menelepon pemilik toko dan meminta ijin alih-alih mengambil shift malam, mungkin sekarang ia tak akan terjebak pada ujung gang sempit gelap bersama salah seorang pemuda yang nyaris memperkosanya dulu.

Kini menyesal pun sudah tak berarti lagi.

"Mi-minggir, Chwe Hansol." Areum berdeham, berusaha untuk mengembalikan suaranya kala melanjutkan, "Akーaku tak akan diam saja sekarang. Aku bisaー"

"Bisa apa? Berteriak meminta tolong, huh? Atau ... melaporkan kejadian ini ke situs internet?"

Ekspresi Areum kosong seketika. Hansol berdecak, meludah sinis. "Kau benar-benar tak tahu diri. Jalang tak tahu diri! Kau kira aku tak tahu bahwa semua gosip di internet itu adalah ulahmu?!"

"Ti-tidak!" Air mata mulai bercucuran deras di wajah. Areum bahkan harus menguatkan diri berkali-kali hanya untuk mengangkat suara, "Tidak, aku tidak pernah menulis itu. Pe-percayalah, aku tidak pernah menulisー"

"Dan kau pikir aku percaya?"

Hansol mendorong kasar tubuh Areum hingga punggung si gadis menabrak tembok paling ujung. Tak peduli bagaimana gadis di hadapannya menangis, mengerang, bahkan meringkuk dengan tubuh gemetar, Hansol bahkan tak berhenti berjongkok, menggenggam kasar dagu si gadis dan tertawa sinting. "Kau cantik, Areum. Cantik sekali. Sayangnya, terlalu banyak mau. Kecantikanmu kini malah tampak memuakkan. Sial, kenapa kau tidak diam saja di tempatmu hah?! Kenapa kau harus mencari masalah denganku, HAH?!"

Tangan Areum mengepal.

Hansol kembali mengedarkan tatapan lapar pada tubuh lawan bicara. "Padahal malam itu di pulau Jeju, aku benar-benar akan menunjukkan sesuatu yang indah padamu." Ia mendekatkan wajahnya lagi. "Kau tahu, kalau dipikir-pikir, kau masih bisa menebus kesalahanmu sekarang bilaー"

BUGH

Areum tak tahu apa yang merasuki otaknya saat itu; keberanian apa yang datang tiba-tiba dan membuat si gadis begitu menggebu mengepal tangan dan melempar tinjunya tepat mengenai batang hidung Hansol. Pemuda itu mengerang kesakitan, genggamannya refleks terlepas dan Areum memanfaatkan waktu itu untuk melarikan diri.

Tidak semudah itu, rupanya. Hansol lebih cepat dari yang Areum perkirakan. Pemuda itu merutuk keras, sempat kewalahan mengejar si gadis namun deteik dimana genggamannya sempat mengenai tali tas Areum, Hansol langsung menarik kasar benda itu, membuat Areum tersandung dan jatuh di atas aspal.

"Jalang sialan!" Hansol menjeda, mengatur napasnya yang pendek. "Kau tak tahu betapa tak bersyukurnya kau mendapat kesempatan dariku? Atau kau lebih suka cara kekerasan, begitu?" Tangan Hansol terangkat di udara, irisnya berkilat marah. Detik itu, seluruh pukulan mungkin akan mendarat menyedihkan pada tubuh si gadis kalau saja seseorang tak menghalangi.

Kim Mingyu.

Areum terhenyak.

Sedang apa ia di sini?

Rahang Mingyu mengeras. "Lepaskan dia."

Hansol tertawa. "Oh, ini kekasih barumu, huh? Pahlawan kesiangan ini tak pernah menyerah, rupanya." Ia mendecih. "Pergilah, Kim Mingyu. Aku bisa membuatmu kesakitan danー"

"Kau harusnya tahu diri, Hansol," Mingyu menyela. "Setelah percobaan pelecehan seksual yang kau lakukan, kau tidak juga merasa bersalah?"

"Untuk apa aku merasa bersalah, Sialan?! Gadis kurang ajar ini datang padaku terlebih dulu."

Mingyu mendengkus. "Aku tidak tahu mengapa banyak orang bisa mengagumi keparat sepertimu."

Hansol menampar Mingyu.

Mingyu berdiri setelah ditampar. Sudut bibirnya berdasarh. Areum hanya dapat mematung di tempat. Namun saat itu, Mingyu tertawa. Hansol berkata marah, "Apa yang lucu, Sialan?! Mau kubunuh kau?!"

Namun, Mingyu merogoh sesuatu dari sakunya.

Sebuah ponsel.

Ia mengetikkan sesuatu di sana, kemudian terdengar seluruh konversasi malam tadi. Hansol menatap horror, seketika pikirannya berubah kosong.

Mingyu tersenyum penuh kemenangan. "Menyerahlah, Hansol. Hidupmu sudah berakhir sekarang." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top