・ᴛ ʜ ᴇ ʜ ᴀ ʀ ᴅ ᴇ s ᴛ ᴘ ᴀ ʀ ᴛ ᴏ ғ ʟ ᴏ ᴠ ᴇ




❒❒❒❒❒❒❒❒❒❒❒❒❒❒
( t h e h a r d e s t p a r t
o f l o v e )

❑❑❑❑❑❑❑❑❑❑❑❑❑❑


TAHUN lalu pada bulan yang sama namun hari dan tanggal berbeda, Yoon Jeonghan ingat waktu itu Mingyu pernah membuat heboh nyaris satu sekolah dalam sebuah acara pentas seni, sebab namanya dipanggil tiga kali ke atas panggung untuk mendapat pernyataan cinta dari para gadis. Terutama, para senior. Itu gila―entah dalam artian positif atau justru sebaliknya. Untuk ukuran seorang junior, itu jelas hal tidak masuk akal yang diidam-idamkan oleh seluruh siswa SMA.

Sayang sekali, Kim Mingyu tidak langsung menerima seluruh pernyataan cinta tersebut mentah-mentah. Hal mengejutkan, namun berhasil meningkatkan popularitasnya dalam hitungan hari. Pemuda jakung yang tampah, ramah, dan murah senyum dari kelas junior. Tahun-tahun tersebut nama Kim Mingyu melejit. Kelasnya sering didatangi oleh para gadis, pula ia mendapat tawaran khusus langsung dari ketua tim sepak bola untuk bergabung dengan tim inti.

Saat itulah Jeonghan mulai berpikir, menjadi populer itu menyenangkan.

Namun untuk beberapa alasan, kini pemuda itu hendak menarik seluruh kalimatnya. Menjadi populer barangkali tidak semenyenangkan itu. Seperti apa yang dulu gurunya pernah katakan, "Saat sebuat berkat dilimpahkan, di situ pula datang tanggung jawab yang besar."

Dan Kim Mingyu gagal menjalani tanggung jawab itu.

"Gila, gila, gila! Tidak mungkin Mingyu melakukan ini. Tidak mungkin sahabatku melakukan hal tak senonoh dengan gadis yang disuk―"

"Sst, pelankan suaramu, Soonyoung!" hardik Seungji tajam, tak segan-segan melempar pelototan mautnya pada lawan bicara. Ia menghabiskan sodanya, meletakkan gelas plastik kosong itu pada meja kayu di depannya. "Kita masih tidak tahu kebenaran di balik kasus ini. Tidak semua berita dalam web sekolah itu benar."

"Y-ya, maaf. Aku hanya terkejut, sebab tidak mungkin Mingyu melakukan ini." Mulut Soonyoung bergerak-gerak gelisah. Ia menggaruk tengkuk canggung, berusaha mencari pembelaan kala menyikut lengan Jeonghan dan berkata, "Tapi rata-rata, berita web akurat. Saat dulu Areum dan Hansol berpacaran saja akhirnya terbukti. Benar, 'kan, Jeonghan?"

Bahu Jeonghan sedikit tersentak, masih tak siap dengan sentuhan Soonyoung yang terlalu mendadak. Namun perlahan mencuri waktu melirik Seungji, pemuda itu kemudian menelan ludah, memberanikan diri mencicit, "Tidak juga kok ..."

"Apa?" Mata Soonyoung membulat tak percaya. Di saat yang sama, pandangan Seungji jatuh pada wajah Jeonghan.

"S-Seungji ada benarnya." Berusaha menenangkan diri dan mengontrol rasa gugup, kali ini kalimat Jeonghan terdengar nyata dan lebih tegas kala menyambung, Tidak ada yang tahu kebenaran nyata dari kasus ini."

Soonyoung ternganga, melempar tatapan seperti, 'Hei-apa-apaan-seharusnya-kau-membelaku', tetapi Jeonghan memilih untuk pura-pura tak melihat dan malah melanjutkan, "Lagipula, sejauh yang kukenal, Mingyu itu pemuda yang baik. Kalaupun ia harus pergi keluar dengan Areum tengah malam, pasti ada hal penting yang mereka lakukan." Poin terakhir sempat membawa kembali memori beberapa hari terakhir. Ia sekelompok dengan Mingyu dalam tur studi kali ini, dan walau pemuda bermarga Kim itu tak begitu bisa diandalkan dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan akademis, Jeonghan ingat Mingyu adalah satu-satunya anggota kelompok yang mau mengobrol dengannya.

Bukan obrolan basa-basi, tapi obrolan layaknya teman dengan senyum dan tawa merekah.

Benar, Mingyu menganggapnya sebagai seorang teman. Ia bahkan sama sekali tak malu atau canggung untuk memarahi tingkah kikuk Jeonghan, membelikan pemuda itu es krim rasa mint, dan pada saat mereka berjalan menuju air terjun, Mingyu menepuk bahunya dengan santai dan berkata, "Kau ini diam sekali, ya. Cobalah lebih aktif sedikit. Tidak usah takut mengungkapkan pendapat atau pikiranmu. Kau tahu, gadis-gadis lebih menyukai lelaki yang tegas dan berwibawa."

Mungkin Mingyu benar. Mungkin selama ini, Jeonghan terlalu takut untuk mengutarakan pendapatnya pada orang lain.

Seungji tersenyum. "Jeonghan benar," ia menepuk pundak lelaki itu pelan, sebelum beralih pada Soonyoung dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. "Bukannya kau sahabat Mingyu? Kenapa berani berbicara kejam padanya begitu, sih?"

Diserang dua pendapat kontras dari dua orang berbeda lantas membuat Soonyoung bungkam, mendadak kehilangan argumen. Ia mengangguk lambat, kembali menggumamkan kata maaf walau lirih. Namun kalau dipikir lagi, Seungji dan Jeonghan ada benarnya. Bagaimana bisa ia mengatakan hal jahat begitu tentang sahabatnya, Mingyu? Walau bodoh dan menyebalkan, tapi Mingyu adalah satu dari sedikit orang yang memegang teguh janji persahabatan mereka.

Mingyu sering memberikannya sepotong ayam mentega, tak jarang pula memberinya berbagai macam makanan dan jajan yang didapatnya dari para gadis. Mingyu tak pernah menganggapnya hama, tak pernah pula merasa terganggu dengan berbagai ocehan aneh Soonyoung.

Dan berani-beraninya sekarang ia percaya berita murahan itu dibanding sahabatnya.

Kwon Soonyoung mendadak merasa malu pada diri sendiri.

"Kalian benar ..." pemuda itu berkata gamang, berdecak dan menarik rambut frustrasi. "Astaga, apa yang telah kulakukan."

Jeonghan menghampiri Soonyoung, melebarkan tangan untuk menepuk-nepuk punggung pemuda itu.

"Aku harus pergi," kata Soonyoung tiba-tiba, mengabaikan tiga tusuk sate yang belum tersentuh di piringnya. "Aku harus melihat Mingyu."

Bahkan tanpa menunggu jawaban Jeonghan dan Seungji, pemuda itu lantas meletakkan piring plastiknya di sembarang tempat dan pergi begitu saja.

"Soonyoung memang plin-plan," sungut Seungji, matanya masih tertuju pada punggung Soonyoung sebelum kemudian hilang ditelan tikungan.

Sadar betul bahwa kini ia hanya duduk berdua di bangku taman dengan Kim Seungji, Jeonghan diam-diam dapat merasa kegugupan merayapi tubuhnya cepat. Telapak tangannya kembali basah oleh keringat. Terus-terusan membatin untuk tidak mempermalukan diri sendiri, Jeonghan tertawa kikuk, berdeham sebentar sebelum membalas, "Tapi dia teman yang baik."

Seungji menoleh padanya. "Kau juga teman yang baik," katanya, tersenyum lebih lebar. "Terkadang kita memang harus diingatkan untuk tidak percaya begitu mudah dengan media. Aku penasaran siapa yang berani menuliskan itu di web."

"Pasti mereka yang punya kuasa," cicit Jeonghan tanpa sadar.

"Hm?"

Pemuda itu mengerjap. "Ah, t-ti-tidak." Jangan permalukan dirimu sendiri, Jeonghan. Jangan berbicara yang aneh-aneh, jangan membawa-bawa kebiasaan lamamu! batinnya berseru. Berusaha mengulas senyum walau kikuk, ia lantas melanjutkan, "S-sepertinya aku salah berbicara." Ia menunduk―setengah malu, setengah gelisah. "Maaf."

Jauh di luar dugaan, Seungji malah terbahak keras. "Kau lucu sekali. Aku bahkan belum bilang apa-apa, lho. Tapi kau sudah gugup begitu." Suaranya menggelitik telinga, sempat menghadirkan rasa hangat dalam dada. Jeonghan selalu suka itu. Semua tentang gadis itu; senyumnya, tawanya, suaranya.

"Itu bagus, kau tahu."

Jeonghan mengernyit. "Bagus?"

Seungji tidak semerta-merta menjawab, menggigit bibir seraya memasang tampang seolah ia sedang berpikir. "Menjadi lebih berani, menjadi dirimu sendiri dan mengutarakan pendapatmu tanpa pengaruh orang lain." Gadis itu mengendikkan bahu. "Aku tak pernah mendengarmu seyakin itu sebelumnya. Kau mengenal Mingyu dengan baik, kurasa."

Pujian tersebut seolah baru melemparkan serbuk-serbuk bunga dalam hatinya. Jeonghan mati-matian menahan lilitan gugup, jemarinya saling bertaut dan jantungnya semakin berdentum kencang. "A-aku tidak―uhm, maksudku, se-sepertinya tidak. Kami hanya ... um, teman satu kelompok."

Seungji mengangguk-angguk paham.

Jeonghan kembali mengalihkan pandang menatap bunga-bunga taman, masih menahan-nahan senyum dengan jemari saling bertaut. Ia benar-benar tak menyangka, pada malam terakhir di pulau Jeju, ia masih bisa diberi kesempatan untuk mengobrol dengan Seungji. Dari dulu, berbicara langsung dengan gadis itu hanya ada dalam angannya; hanya ada dalam puisi dan seluruh imajinya yang fana. Namun kali ini, di taman vila dalam acara malam barbeque, seluruh harap dan mimpinya menjadi nyata. Tanpa Soonyoung, tanpa siswa lain, dan tanpa Won―

"Jeon Wonwoo!" Seungji mendongak, irisnya melebar sempurna kala melihat Wonwoo di seberang taman. Tanpa menunggu lebih lama, si gadis segera berdiri, beranjak angkat kaki namun masih ingat untuk berpamitan pada teman sebangkunya sekarang. "Ah, ada hal yang harus kubicarakan pada Wonwoo. Kau tidak keberatan kalau aku pergi duluan, 'kan?"

Sangat keberatan.

"Ti-tidak. Silakan saja."

Seungji tersenyum. "Sampai jumpa!"

Jangan pergi.

Dan bahkan belum sempat Jeonghan mengucapkan selamat tinggal, Seungji sudah keburu melesat pergiーmenyusul pemuda itu.

Jeonghan nyaris tak percaya apa yang ia saksikan. Hatinya yang baru dibawa melambung ke awan-awan dalam sekejap kembali diterjunbebaskan ke atas tanah. Nafsu makannya hilang, kerongkongannya mendadak kering luar biasa.

Kenapa harus Wonwoo?

Dalam kamusnya, mencintai seseorang persis layaknya menggenggam setangkai bunga mawar. Kendati menemukan diri terluka dan berdarah oleh puluhan duri, setidaknya rasa sakit itu terbayar kala menyaksikan keindahan sekuntum bunga mawar merekah sempurna dalam genggamannya.

Percayalah, itu perasaan paling indah sekaligus menusuk sepanjang masa. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top