・ᴛ ʜ ᴇ ʀ ᴇ ᴀ ʟ ɢ ᴇ ɴ ᴛ ʟ ᴇ ᴍ ᴀ ɴ

◀▲▼▶




( t h e r e a l g e n t l e m a n )

"KAU pasti bercanda. Kim Mingyu, dengarkan aku baik-baik. Kau tahu rumor ini sudah menyebar! Seluruh siswa―bahkan mungkin guru juga―akan tahu bahwa kau mengajak Areum keluar tengah malam saat tur sekolah. Saat tur sekolah! Kau kira kau akan lepas dari hukuman? Lebih parah, bagaimana kau akan menghadapi gunjingan orang?"

Jeon Wonwoo berhenti sejenak, berdiri was-was di dekat pintu kamar―sesekali mengintip kerumunan para siswa di taman. Dadanya bergemuruh tak karuan, pelipisnya berkedut. Antara tegang, kesal, atau bahkan tak percaya dengan apa yang terjadi―ia rasa seluruh perasaan itu bercampur rata dalam hatinya. Menghela napas frustrasi, kembali menatap sang lawan bicara seraya berkacak pinggang, Wonwoo dapat merasa tenggorokannya kering kala berkata, "Lebih baik jangan keluar kamar dulu beberapa menit. Para siswa sedang gencar membicarakan kalian, tunggu sampai guru BK datang dan―"

"Kau percaya pada berita murahan itu?"

Wonwoo mengerjap. "Apa kau bilang?"

Barangkali Kim Mingyu sudah terlampau lelah. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya terasa bagai dihujani ribuan ton batu hanya dalam beberapa detik. Ia tidak pernah menduga hal ini akan terjadi―saat itu tengah malam, seluruh siswa telah terlelap, mereka pun masuk ke vila lewat belakang taman (tempat yang lebih sepi dan biasanya tidak diawasi para guru). Areum tidak akan memberi tahu siapa-siapa, Mingyu pun sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menceritakan pada siapapun atau―

Tunggu dulu.

Mingyu dapat merasa tenggorokannya tercekat.

Apa mungkin Si Berengsek itu?

Lantas tanpa berpikir dua kali, Mingyu segera berdiri dan menyentuh ganggang pintu―sudah siap untuk memutar kenop kalau saja Wonwoo tidak mencekal pergelangan tangannya tiba-tiba. Pemuda itu menatap Mingyu dengan pelototan tak percaya. "Kau mau kemana di saat seperti ini, hah? Kau bahkan belum menjelaskan apa-apa padaku."

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan."

"Mingyu, dengar. Aku―"

Mingyu menepis tangan Wonwoo kasar. "Aku tahu siapa pelakunya!"

Mata Wonwoo membulat.

"Penyebar berita itu," Mingyu menekankan. Kemudian, ekspresinya melunak. Seluruh rasa lelah, kemarahan, dan segaris keputusasaan tergambar jelas dalam irisnya. "Kumohon, untuk saat ini jangan ikut campur masalahku. Ada banyak hal yang kau tak tahu, Wonwoo―termasuk kejadian malam itu."

Wonwoo mematung.

Dan tanpa menunggu lama, Mingyu langsung bergegas keluar kamar. Meninggalkan Wonwoo tercengang dalam lamunannya.

Malam itu ... Wonwoo menelan saliva resah. Mingyu tidak berbuat kurang ajar, 'kan?

***

Tiap kejadian adalah pengalaman berharga yang akan kau kenang sampai tua. Mingyu ingat, pernyataan tersebut merupakan segelintir nasihat lawas sang ibu beberapa tahun silam. Persis di pinggiran sawah, tengah menikmati santapan kimchi dan sejumput nasi, ia ingat dirinya yang masih bocah menatap lurus-lurus mata sang ibu.

Senyum yang mengembang, semilir angin membelai kulit, saat itulah ibunya melanjutkan, "Karena itu, saat kau tumbuh besar dan merantau ke kota, jangan mudah menyerah bila ada kesulitan datang. Sebab itu adalah proses untuk membuatmu menjadi lebih kuat."

Memori tersebut kini terngiang dalam kepala, melantun dalam telinganya dan bergema dalam relung kepala. Barangkali, ini adalah satu perwujudan nyata dari 'proses' yang dimaksud. Perbuatan baik itu mahal, kau tahu? Selalu ada harga yang harus dibayar ketika kau ingin membantu orang. Selalu ada pengorbanan yang ditempuh dengan luka dan air mata saat kau mencintai orang lain. Sebab itulah makna cinta sebenarnya.

Lagipun, Mingyu yakin Chwe Hansol adalah dalang di balik semua ini. Setelah semalam dimaki, diludahi, dan dipukul oleh Mingyu, ia yakin kini pemuda itu hendak balas dendam.

Mingyu tersenyum miris, mengepal tangan dalam kantung hoodie.

Memang ia akan menyerah oleh berita murahan semacam itu?

Nyaris mendekati tujuan akhir, tiap langkahnya malah semakin tegas. Mingyu mengepal tangan, mengatupkan kedua rahang kuat-kuat. Peduli setan dengan hukuman Tuan Kim saat tahu ia tak mengikuti acara barbeque bersama, atau pandangan aneh serta cekikikan yang dilempar siswa kala melihatnya. Ia bahkan sempat menangkap bisikan tersebut begitu jelas dalam telinga, "Pemuda itu terkenal player. Astaga, aku kasihan pada Han Areum.", atau di sisi lain, "Hati-hati, Mingyu itu pemuda mesum."

Namun Mingyu tak peduli. Telinganya kebal oleh gosip siswa. Ia mempercepat langkah menuju belakang vila, dengan modal senter ponsel pemuda itu berlari kecil menuju padang rumput.

"Hei, Chwe Hansol!"

Sesuai dugaan, Hansol menunggunya di padang rumput kemarin, tepat di tempat yang sama dimana ia mengajak Areum semalam.

Hansol mematikan rokoknya, berbalik menatap Mingyu dengan seringai tipis. "Wah, aku tak menyangka pemuda bodoh sepertimu bisa menghafal rute sejauh itu dari vila."

Mingyu dapat merasakan kedua rahangnya mengeras. Pelipis mulai mengucur dari keningnya. "Tidak usah basa-basi, sialan. Katakan, kau yang menyebarkan berita itu, bukan?"

Hansol tertawa. Ia membuang sebotol soju di atas tanah begitu saja dan maju beberapa langkah―tepat di hadapan Mingyu. "Kalau iya memang kenapa?"

"Sialan." Gigi Mingyu gemeretak. "Kau pecundang bejat sialan, kau tahu itu?"

Senyum Hansol luruh. Sorot matanya menggelap, seluruh tawa dan ekspresi jenaka berubah serratus delapan puluh derajat. "Tidak ada yang boleh memanggilku pecundang dengan mulut kotornya." Selanjutnya secepat kilat, Hansol lantas melempar tinjunya tepat ke tengah perut Mingyu. Awalnya Mingyu sempat melawan. Pemuda itu mengangkat tinju tepat mengenai mata kiri Hansol, membuat si lawan mundur terhuyung ke belakang sambal memegangi matanya.

"Kau akan menyesali ini, Hansol," kata Mingyu setengah terengah, "kau akan membayar atas seluruh perbuatan kotormu pada Areum."

Namun Hansol hanya menyeringai lebar. "Kau salah, Mingyu. Kau yang akan menyesal sebab berani merebut apa yang kupunya."

Selanjutnya tanpa diduga, dari sisi belakang Mingyu dapat merasakan tendangan keras mengenai punggungnya. Tubuhnya terjerembap menyentuh tanah, Mingyu nyaris terperangah. Serangan itu tak berhenti sampai di sana, rupanya. Belum sempat ia berdiri, seseorang melempar tinju tepat mengenai hidungnya. Detik selanjutnya pukulan tersebut menghantam semakin keras, mendarat bertubi-tubi pada seluruh bagian tubuhnya―di kakinya, tangannya, kepalanya.

Mingyu terkapar di atas padang rumput. Tiap inci tubuhnya dirayapi perih. Wajahnya lebam, sudut bibirnya berdarah, namun ia dapat melihat wajah-wajah orang di hadapannya; orang-orang yang dengan wajah murka memukulinya sampai puas. Ada Minghao, Jisoo, Lee Chan, bahkan Wen Junhui. Terakhir, ia melihat ada sebuah kilat cahaya menyinari wajahnya.

Ia nyaris tak memercayai penglihatannya sendiri kala melihat di sisi berlawanan, Seokmin dengan wajah lugu, setengah merasa bersalah, dan sisanya penuh paksaan, tengah memotret wajahnya.

Hansol tertawa puas. "Selamat, Kim Mingyu," ejeknya, meludah di depan wajah Mingyu, "sebentar lagi kau akan menjadi siswa terpopuler di sekolah. Bukankah itu yang kau inginkan selama ini?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top