・ᴘ ᴏ ᴇ ᴛ ʀ ʏ

Aku pernah berandai-andai

Bagaimana jadinya bila purnama hidup tanpa bintang

Akankah ia menjadi kesepian?

Bagaimana jadinya bila alam tak mempertemukan kita

Akankah aku akan termenung dimakan kesendirian?


"OI, Yoon Jeonghan! Tidak dengar ketua kelas bilang apa? Kita disuruh membersihkan kelas sebelum jam self study berakhir, bukan malah berdiam diri dan melamun layaknya orang dungu begitu!"

Sahutan tersebut membubarkan lamunannya, sukses mengirim seluruh rangkaian kata yang tadinya sudah tersusun rapi dalam kepala mendadak bubar tak karuan. Jeonghan tersentak, setengah tergagap memasukkan kertas dan penanya di dalam laci, kemudian memaksa bibir untuk melukiskan senyum pada siswa di hadapannya. Ia berdiri, menggumamkan kata 'maaf' sambil berbungkuk sebelum meraih kemoceng di dalam laci meja.

"Atau kau sedang menulis surat cinta?" Salah satu temannya mendengkus setengah tertawa, tak repot-repot menyembunyikan nada olok dalam kalimatnya kala menyambung, "Untuk gadis yang kau suka itu ya―ah, siapa namanya? Kim Seungji? Astaga, sadar diri sedikit dong."

Siswa itu terkekeh-kekeh pelan sambil menarik langkah, sesekali masih melempar tatapan merendahkan dari depan kelas. Jeonghan hanya menghela napas, mencoba untuk mengabaikan hinaan itu dan mulai menyapu debu di atas lemari kelas dengan kemocengnya. Namun usaha tersebut tak bertahan lama. Sepersekian sekon kemudian kalimat tadi kembali terngiang dalam kepalanya, menghasilkan benih pikiran baru dengan seulas pertanyaan: Memang salah ya menyukai orang lain?

Tidak, tak ada yang salah dengan cinta kalau kau adalah seorang pria tampan dengan popularitas melejit dan dompet tebal. Betul, 'kan? Jeonghan melirik siswa berabut jiprak tadi yang kini sudah beralih menggoda salah satu temannya yang ketahuan pacarana di pojok kelas alih-alih ikut membersihkan meja―sama sekali tidak menampilkan kesan kesal atau marah-marah seperti yang tadi halnya ia lakukan pada Jeonghan.

Seolah memang, hanya Yoon Jeonghan satu-satunya siswa yang tak perhatian dengan tugas kelas di sini.

Seolah diam dan menulis puisi merupakan dosa yang lebih besar dibanding mengabaikan tugas piket dengan pacarana di pojok kelas.

Benar-benar tidak adil.

Diam-diam Jeonghan tersenyum miris. Ia kira, selepas study tour ia akan pulang menjadi pribadi baru: Yoon Jeonghan baru yang berani dan memiliki teman. Tidak, pemuda itu tak pernah berharap muluk untuk mengalahkan reputasi Jisoo atau siapapun yang sekarang populer. Ia hanya ingin dilihat, dipandang, dan dihargai sebagai seorang teman.

Alih-alih demikian, Kwon Soonyoung bahkan sudah jarang berbicara dengannya sekarang.

Untuk mengurus kasus Mingyu, mungkin? Well, Jeonghan juga tidak bisa menyalahkan pemuda itu, sih. Tak ada yang salah dengan mengekspresikan kepedulian pada seorang teman yang baru ditimpa musibah. Sekolah juga sedang gencar-gencarnya membahas spekulasi berkaitan dengan pelaku pengeroyokan itu―yang kini dikaitkan dengan rumor buruk Hansol, Minghao, serta Jisoo dalam media sosial.

Entah bagaimana kelanjutannya sekarang.

"Hei, boleh kupinjam kemocengnya?"

Jeonghan refleks menoleh, sesaat pupil matanya membesar dengan keterkejutan kala melihat siapa yang berdiri di sampingnya sekarang. Nyaris membutuhkan tiga detik untuk mendorong keberanian dalam isi perut sebelum pemuda itu membuka suara, "Ah, t-tentu. Tentu saja."

Kwon Soonyoung bukan tipe siswa yang tenang dan berwibawa, cenderung tipe anak bertampang berandal yang hobinya merecoki banyak orang―barangkali ini alasan mengapa pemuda itu jago sekali dalam menciptakan gerakan tari bahkan yang kocak sekalipun. Jadi seharusnya, tak ada lagi yang perlu Jeonghan pertanyakan kala ia mulai menyerahkan kemoceng pada lawan bicara, dan alih-alih menerimanya, Soonyoung malah menyambut Jeonghan dalam dekapan erat dan tawa. "Apa begitu caramu menyambut teman lama, eh? Astaga, rasanya sudah lama aku tak melihatmu padahal kita sekelas."

Jeonghan bergeming kikuk. Ia mengerjap ragu, ingin membalas tapi enggan, ingin pula tersenyum namun sudut bibirnya kaku. Jadi hanya seulas kalimat yang keluar dari mulutnya, "Aku tidak kemana-mana, kok. Mungkin kau saja yang terlalu sibuk."

Senyum Soonyoung memudar, terganti ekspresi masam dengan dua bibir mengerucut. "Yah, kau benar."

Perlahan ia melepaskan pelukan, memilin ujung lap yang digenggam dengan gerakan gugup. "Maaf, aku terlalu sibuk dengan―well, kau tahu. Mingyu dan masalah klub tari. Sebentar lagi festival musim panas akan dimulai. Intesitas latihan jadi ditingkatkan dua kali lipat." Ia termenung sebentar, melirik lawan bicara dengan surai jambul berwarna hijau mint menutupi mata. Gurat rasa bersalah masih belum hilang dari kedua matanya. "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini kita makan siang bersama? Atau, menonton film horror yang baru rilis? Kutraktir, deh! Atau apapun yang kau mau, ayo kita habiskan waktu bersama hari ini."

Mendengar itu Jeonghan tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Ia yang tadinya merapikan bangku lantas berhenti, menggeleng dan menyahut, "Tidak usah. Aku juga harus datang ke tempat khursus."

Soonyoung mengerucutkan bibir. Pemuda itu kemudian diam sebentar, tampak sedang berpikir sebelum tiba-tiba menyelutuk semangat, "Oh, oh!!! Aku tahu!"

Jeonghan mengernyit.

Namun Soonyoung tidak berkata padanya, ia malah malah berlari ke depan kelas dan mendatangi seseorang. Seorang gadis bersurai hitam legam yang―

Oh, tidak.

Jeonghan merasa perutnya seolah diremas-remas.

Kala itu, tepat beberapa meter di depan tempatnya berdiri, ia melihat Soonyoung―dengan senyum bangga―kini melangkah bersama Seungji menuju ke arahnya; berhenti tepat di hadapannya.

Detik itu tak ada waktu untuk mengatur napas atau menunggu detak jantung yang berdentum gila-gilaan untuk mereda kala tiba-tiba suara manis Seungji terdengar di telinganya, "Kudengar dari Soonyoung kau suka menulis. Ah maaf kalau tiba-tiba, tapi sekolah memang sedang butuh kontribusi karya tulis untuk festival musim panas kelak. Apa kau bersedia mengontribusikan beberapa puisimu untuk dipajang di papan mading sekolah?"

Jeonghan mengerjap, bingung.

Soonyoung menimpali, "Seungji kebagian tugas mengurusi dekor interior untuk festival musim panas―termasuk memamerkan karya siswa. Ayolah, Jeonghan. Ini kesempatan bagus untuk ..." ia menjeda, mendekat pada Jeonghan dan memastikan suaranya tidak terdengar kala berbisik, "pendekatan."

Wajah Jeonghan merah padam.

Seungji, di hadapannya, mengukir senyum tulus. "Soonyoung benar. Aku akan membantumu secara langsung dalam proses penggarapan sampai penempelan karya." Gadis itu menatap Jeonghan―dua bola mata gelap di sana berpendar begitu lucu, mengirim sensasi gelitik pada perut sang pemuda kala Seungji bertanya, "Jadi, bagaimana? Kau setuju?"

Gelegak semangat mengetuk-ngetuk dada. Detak jantungnya menanjak. Puisi-puisi itu berguna, puisi-puisi itu bukan sampah. Seluruh rasa kesal akibat hinaan tadi mendadak hilang, kini terganti dengan perasaan antusias, gairah baru, tujuan baru.

Dan keberanian baru kala menjawab, "Ya. Ya, aku setuju." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top