・ᴅ ᴏ ɪ ᴅ ᴇ s ᴇ ʀ ᴠ ᴇ ɪ ᴛ

JUN tak ingat kapan terakhir kali jantungnya bergemuruh dahsyat seperti sekarang. Ia dikenal sebagai pemuda yang tenang dalam kelasーia membangun gambar dirinya sebagai siswa sabar dan pendiam. Tak peduli seberapa kalut pikirannya, seberapa panik dan berantakan suasana hatinya, seberapa besar rasa gusar yang menggerogoti otak, tiap orang di luar sana tak akan repot-repot bertanya kenapa tapi menuntutmu untuk tetap waras.

Bertahun-tahun menyimpan amarah untuk diri sendiri itu bukan perkara mudah. Menahan rasa panik dan takut tiap musim ujian melanda jelas bukan hal menyenangkan. Rasanya seolah tengah menjejeli mulut sendiri dengan gumpalan sampah, tulang belulang dan duri tajamーkemudian memaksa untuk menelan semua itu dalam sekali tenggak. Tanpa berteriak, tanpa mengeluh, tanpa menjerit lelah. Biarlah semua menjadi rahasia yang dibekap rapat dalam diri.

Toh ingin membangun reputasi berarti juga berani mengambil risiko. Lagipula selama tak ada yang melihat, Jun baik-baik saja. Atau setidaknya, ia selalu berpikir bahwa dirinya baik-baik saja.

Semua teriakan dan amarah ketika gagal meraih peringkat hanya dilampiaskan pada Lee Chan. Biasanya mereka akan pergi ke klub, membayar lebih pada pelayan agar diijinkan masuk dengan tanda pengenal palsu, kemudian keduanya akan menghisap vape atau menenggak soju sampai puas. Sampai kepalanya pening dan tubuhnya terasa ringan, sampai ia bisa merutuk dengan bebas tanpa memikirkan apapun.

Andai semua masih sama sekarang.

Kini seluruh memori tersebut terputar kabur dalam benaknya, kian lama kian mengirim rasa panas dalam dada. Kepalanya berkedut hebat, kedua tangannya mengepal erat di samping tubuh. Tiap inci dirinya terasa kacau sekarang: pikirannya, perasaannya, hatinya. Semalam ia bahkan tak dapat tidur nyenyak dengan kalimat Jisoo terngiang dalam otak, bersama suara hati yang kian lama kian terdengar keras: Pengkhianat keparat, sahabat tak setia, si bodoh yang hanya menjadi lintah. 

Lee Chan telah mengkhianatimu, Jun.

Buku jarinya memutih, kukunya tertancap sempurna dalam kulit. Persis ketika langkahnya menapaki ujung koridor tepat dekat gudang sekolah, Jun mendapati sosok pemuda yang menjadi sumber mimpi buruknya semalam.

Detik itu pula amarahnya meledak.

"Hei, kudengar kau mencarー"

BUGH

Bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Lee Chan langsung jatuh mengenai tumpukan kardusーtepat kala satu tinju Jun mendadak menghantam rahangnya dengan keras.

"Apa-apaan, Keparat!" Pemuda itu mencoba untuk bangkit, meludah dan dapat mengecap cairan kental serta bau besi berkarat merasuki lidah. Ia menatap Jun sengit, ada luka samar serta ketidakpercayaan tergores dalam pelupuk mata. Senyum yang tadi terukir di wajah luruh sempurna, semua harap yang tadi dibangun tinggi-tinggi kita runtuh, hancur, tumbang tanpa sisa. "Kau gila atau bagaimana, hah?!"

Kali kedua, Jun kembali melayangkan tinjunya pada pipi Lee Chan. Terdengar suara gemeretak pelan dari rahang lawan bicara namun itu tak meredakan amarahnya sedikitpun. Jun menggenggam kera seragam Lee Chan kasar, memaksa pemuda itu untuk berdiri dengan wajah bengkak dan penuh darah. "Tutup mulutmu, dasar pengkhianat. Katakan, siapa yang membayarmu untuk melakukan ini?"

Lee Chan tersengal. Wajahnya lebam, hidung dan bibirnya mengucurkan darah. Rasa sakit yang luar biasa masih membakar kulitnya pada beberapa titik, dengan cepat merambat pada seluruh area wajah dan mengirim sensasi panas yang luar biasa. Pemuda itu masih bangkit dengan susah payah, memandang lawan bicara dan berkata, "Aku tidak tahu apa yang kau katakan. Apa yang sebenarnya terjaー"

Tidak, itu bukan jawaban yang Jun inginkan.

Tanpa menunggu lebih lama, bahkan tanpa mencoba berpikir rasional, Jun kembali melayangkan serangan bertubi-tubi pada tubuh lawannya. Wajahnya beringas, tatapannya menggelap. Semua terjadi begitu cepat, terlalu cepat hingga Lee Chan tak dapat mengelak. Kini buku-buku jemari Jun bahkan mengenai nyaris seluruh bagian tubuhnya: dagunya, lambungnya, dadanya, bahkan sikutan kasar di area punggung. Aroma darah menguar sempurna. Lee Chan jatuh terkapar, setengah terbatuk dan memegangi perut tak berdaya. Sensasi mual, panas, bengkak dan pedih teraduk rata di sanaーsukses memberi rasa ngilu menguasai tubuh. 

Di hadapannya Jun berteriak frustrasi. Gejolak amarah dan ketidakadilan itu masih bercokol sempurna dalam dada, sengatan kekecewaan masih mengungkung batinnya dengan hebat.

Namun beberapa detik pula setelah semua kekacauan, Jun mengerjap. Kesadaran kembali menghantam. Ia melihat  kondisi Lee Chanーbagaimana kondisi mantan sahabatnya bisa tergeletak dengan terbatuk lemas di atas lantai koridor.

Pemuda itu menatap penuh terror.

Apa yang telah kulakukan?

Lee Chan terbatuk-batuk, wajahnya babak belur, penuh dengan lebam dan darah. Namun di sela-sela itu, menatap lawan bicara dengan sayu, ia membuka mulut lirih, "Kau benar-benar berpikir aku yang melakukan itu?"

Jun tidak membalas. Tak mampu, terlalu takut. Berbagai hal berkecamuk dalam kepalanya sekarang: tentang dirinya, tentang reputasinya, tentang apa yang akan terjadi dengan dirinya dan Lee Chan. Sebab kini, emosi mengubahnya menjadi monster bengis. 

Sekarang, apa bedanya ia dengan Chwe Hansol Berengsek yang memukuli Mingyu malam itu?

Tidak, tidak.

Lee Chan tertawa sinis. "Kau keterlaluan, Jun." Pemuda itu tertatih, menahan seluruh gelegak pilu pada seluruh bagian tubuhnya. "Aku memang marah padamu. Tapi asal kau tahu, aku tidak akan pernah semudah itu menyebarkan berita tentang sahabatku."

"Tidak mungkin," Jun mendesis. Persetan dengan sahabat, persetan dengan semuanya. Ia kacau balau, pikirannya semerawut, perasaannya apa lagi. Mendecih sejenak, sekali lagi memandang ragu lawan bicaranya yang terkapar lemah, Jun lantas tersadar bahwa sampai detik ini pun, perasaannya tak kunjung lega. Semua masih berdengung seolah ribuan lebah kini mendiami kepalanya sekarang.

"Tidak mungkin." Perlahan kedua sudut bibirnya mengukir senyum lebar-lebar. "Tidak mungkin!" Tawa memantul dari tiap sudut dinding, Jun bahkan tidak lagi berkata apapun sebelum akhirnya berbalik dan menarik langkah pergi.

Lee Chan terhenyak di tempat. Sejak awal rumor beredar, ia tak henti memikirkan siapa dalang di baliknya. Apa Seungcheol? Apa pemuda selugu dan senaif itu berani melawan seorang Wen Junhui? Tidak mungkin.

Tetapi di samping mereka berdua, tak ada siswa lain yang mengetahui perbuatan hina Jun.

Atau barangkali, sebaliknya.

Barangkali, seseorang sudah mencium rahasia busuk sahabatnya.

Saat itulah, di ujung loteng tak jauh dari tempatnya sekarang, Lee Chan menangkap lirikan Jisoo padanya, tersenyum dengan tatapan penuh makna. Detik itu, memori samar yang tak pernah Lee Chan sadari ada dalam benaknya mulai terputar layaknya kepingan kaset lama.

Pula pada detik yang sama ia sadar, ia mungkin pantas menerima penderitaan ini. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top