・ᴅ ʀ ᴇ ᴀ ᴍ & ᴅ ᴇ ᴛ ᴇ ʀ ᴍ ɪ ɴ ᴀ ᴛ ɪ ᴏ ɴ

↻↺
↱↰
↱↰
↱↰

⇣⇣⇣⇣⇣⇣

( d r e a m a n d d e t e r m i n a t i o n )

KALAU boleh menilai dari skala satu sampai sepuluh, Choi Seungcheol tanpa ragu akan langsung memberi nilai 8 untuk persahabatannya dengan Wen Junhui dan si dancer itu.

Well, memang tak dapat disebut sebagai persahabatan murni―pertemuan mereka saja didasari oleh sebuah aksi curang, ingat? Namun mengingat semua kenikmatan yang dilaluinya beberapa hari terakhir, Seungcheol seribu persen yakin ia tak akan menyesali pilihannya beberapa hari silam.

Kendati harus diakui, pertemanan ini jelas bersimpangan dari moto hidupnya untuk menjadi siswa baik selama SMA. Berlebihan, kau bilang? Tidak, ia rasa tidak. Seungcheol sudah menghabiskan bertahun-tahun liburan musim panasnya untuk menelaah film kartun dan serial remaja Netflix, membawanya pada sebuah kesimpulan lugas bahwa tokoh utama yang penurut, rajin, dan berprestasi akan selalu menjadi 'Sang Bintang' dalam film.

Dan Seungcheol ingin menjadi 'Sang Bintang' dimanapun ia berada.

Termasuk, di sekolah.

Namun beranjak dewasa, pemuda itu perlahan sadar bahwa hidup tidak sesederhana slogan yang ditempel di bamper mobil. Barangkali pula, masa SMA memang waktu untuk mencemplungkan diri dalam berbagai kegilaan mengasyikkan, untuk 'jatuh' dan mencoba banyak hiburan menyenangkan sebelum benar-benar memikirkan perkara serius tentang kehidupan.

Menikmati sedikit tidak apa-apa, bukan?

"Kau di sini rupanya. Pulang sekolah nanti, ikut pesta di rumah Jun, tidak?"

Lee Chan mendadak muncul di balik pintu atap. Seungcheol harus menyipitkan mata kala menoleh ke arah temannya, terhalang oleh pancaran sinar matahari yang menyengat.

"Tentu saja," ia menjawab antusias, lantas menegakkan tubuh dan menerima sekaleng soda pemberian sahabatnya. "Kau sendiri bagaimana?"

Lee Chan mengangguk singkat sebagai jawaban. Pemuda itu mendesah pelan setelah mengempaskan diri di atas bangku kayu, menatap sebentar panorama langit bercampur awan seputih kapas sebelum menenggak sekaleng sodanya dengan lahap.

"Astaga, tidak bisa minum lebih pelan, ya?" kata Seungcheol, bergidik geli. Kalau diperhatikan lebih jeli, wajah sahabatnya ini basah oleh keringat, surainya pun acak-acakan dan tampak berminyak. "Kau habis latihan lagi? Dengan tim Soonyoung?"

Lee Chan mengangguk kecil. "Festival sekolah tinggal beberapa minggu lagi, ingat?"

Seungcheol mengangkat satu alisnya tertarik. "Dan kau mengorbankan semua hal untuk penampilan di festival? Termasuk pelajaran?"

Lee Chan balas menatap Seungcheol tak terima. "Apa maksudnya itu?"

"Well, kau selalu bolos jam self study dan pergi ke ruang tari." Seungcheol mengendikkan bahu. "Memang tidak takut gagal dalam ujian?"

Tak diduga-duga, sepersekon kemudian Lee Chan malah tergelak puas. Suara tawanya yang renyah beradu dengan desau angin, sekejap sukses membuat alis Seungcheol tertekuk heran. Apa ada yang lucu dari pertanyaanya tadi?

"Kau lupa kita punya Jun? Hei, mendapat nilai bagus tidak sesusah itu."

"Kau tidak takut ketahuan?"

"Apa?"

Seungcheol berdeham, menggaruk tengkuk ketika tatapan menusuk Lee Chan mendadak membangkitkan kegugupan dalam dirinya. "Ia menyembunyikan itu di toilet, dan aku yang―em, tidak pintar, tidak keren, dan tidak pernah punya latar belakang detektif―dapat memergokinya dengan mudah. Lantas bagaimana bila suatu hari ada guru atau siswa lain yang menangkapnya?"

Seungcheol sudah menggigit bawah dengan jantung berdegup kencang, siap menerima amukan atau sindiran kalau-kalau Lee Chan tak terima sahabatnya dihina di belakang punggung begini. Namun jauh di luar dugaan, tiga detik selanjutnya bahunya ditepuk keras sementara lawan bicaranya terbahak puas. "Kau ini bodoh atau terlalu polos, sih? Dengar, kesalahan kemarin itu adalah kesalahan terceroboh dan terbodoh seorang Wen Junhui―well, ia gugup setengah mati bila menyangkut mata pelajaran matematika. Tapi tenang saja, sehari-hari ia tidak menyembunyikan contekan di toilet atau ruangan sekolah."

Kini, giliran Seungcheol yang menatap penuh tanya. "Maksudnya?"

"Berbeda dengan kita, Wen Junhui itu punya hak spesial."

"Hak spesial?"

Lee Chan berdecak pelan. "Bagaimana menerangkannya, ya ... sedikit rumit. Tapi kau pasti paham bahwa beberapa orang di dunia memang terlahir dengan beberapa kelebihan; tampang, harta, dan kekuasaan. Sederhananya, Wen Junhui lahir dengan semua item itu."

"Semua?"

Senyum Lee Chan terangkat lebar-lebar. "Semua. Hanya sebagai siswa, semua bisa menjadi tak berarti tanpa kepintaran; tanpa nilai dan peringkat tinggi. Namun tidak semua dari kita diberi kapasitas otak yang sama, bukan?"

Benar.

"Jadi, Jun memutuskan untuk berbuat―erm, curang―tapi aku menganggapnya inovatif. Sekolah itu menyesakkan, menuntut tiap siswa untuk menyerap semua mata pelajaran. Padahal bila sudah besar, aku ingin menjadi koreografer di studio tari mahal." Pemuda itu mendengkus tak habis pikir. "Masa tetap dipaksa menghafal rumus?"

"Kenapa tidak pergi ke sekolah seni saja dan malah mengambil IPA?"

Untuk pertanyaan tersebut, Lee Chan tersenyum tipis. "Orangtuaku ingin aku menjadi dokter. Mereka tidak mau membiayai pendidikanku kalau tidak sesuai keinginannya. Astaga, bukankah itu aturan kolot?"

Seungcheol mendadak bungkam seribu bahasa.

"Tapi tenang saja." Lee Chan mengibas tangan santai, kembali mengacak surai dan menengadah ke langit. "Setelah lulus SMA, aku akan mencari pekerjaan, mengumpulkan uang untuk bisa pergi dari rumah dan bergabung dalam khursus tari."

Bahkan dari tempatnya duduk, Seungcheol dapat melihat sesuatu berpendar dalam netra sahabatnya; suatu keberanian, tekad, dan rasa kehendak mutlak yang berakar kuat. Rahangnya bahkan mengeras tatkala berkata, "Ini sudah menjadi mimpiku selama bertahun-tahun."

Ah, mimpi, ya ...

"Dan tidak ada satupun orang yang dapat mengatur itu. Benar, bukan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top