・ᴄɪɴᴅᴇʀᴇʟʟᴀ ғᴏᴜɴᴅ ʜᴇʀ ᴘʀɪɴᴄᴇ
"EIY, jangan mengada-ada, deh. Aku yakin Cinderella jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Sang Pangeran. Kau sudah menonton versi live action-nya? Ingat saat mereka bertemu di hutan? Saat Cinderella dan Pangeran mengobrol bersama dengan kedua pasang mata memancarkan cinta? Aku ragu kau telah menonton scene itu."
Wonwoo terkekeh, hidungnya berkerut lucu dan kedua matanya menyipit menghasilkan kerut-kerut tipis. Pemuda itu mengibas tangan di depan wajah, berusaha menyangkal lawan bicara kala menyahut, "Kau salah, Seung Ji. Lupa bahwa film klasik Disney adalah favoritku? The Nutcrackers, Alice in Wonderland, Lion King, Mulan, Beauty and The Beast, Cinderellaーsemua sudah kutonton setidaknya lima kali seumur hidup."
Seungji mengernyit skeptis. Menyuap sesendok es krim dalam mulut, gadis itu sempat menjeda beberapa detik sebelum kembali menyahut, "Lalu, kenapa kau pikir Cinderella tidak jatuh cinta pada tatapan pertama dengan pangeran?"
"Ingat saat Cinderella dan Pangeran bercakap-cakap? Saat pangeran memperkenalkan diri sebagai Mr. Kit? Saat keduanya mengobrol tentang pemburuan dan rusa?"
"Iya, lalu?"
Wonwoo mengedikkan bahu. "Aku rasa, saat itulah keduanya mulai jatuh cinta. Bukan dari pandangan pertama, melainkan obrolan pertama. Kecantikan, kebaikan hati, dan kecerdasan Cinderella terpancar dari caranya menatap, caranya berbicara, dan caranya memperkenalkan diri."
Seungji yang tadi sibuk menjilat es krim kini berhenti, menatap lawan bicara dengan kerutan tak mengerti. Kini keduanya sedang duduk di koridor lantai dua, bersandar pada pintu perpustakaan sembari makan dua es krim cup rasa stroberi yang dipesan dari ibu kantin. Hitung-hitung sebagai waktu rehat, setelah menghabiskan nyaris tujuh jam memperbaiki dekor dinding (termasuk puisi yang dibuat Jeonghan, kaligrafi hangeul dari beberapa siswa junior, plus tambahan banner permintaan maaf dari OSIS).
"Bukankah itu sama saja? Itu pertemuan mereka yang pertama, dan hari itu juga mereka jatuh cinta. Sama saja dengan jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Tidak, tidak. Jatuh cinta pada pandangan pertama dengan jatuh cinta saat pertemuan pertama sangat berbeda." Wonwoo menggeleng, tertawa kecil. Ia membahasi bibirnya sejenak, memastikan tidak ada sisa es krim yang tersisa sebelum kembali menjelaskan dengan sabar, "Kalau mereka jatuh cinta pada pandangan pertama, Pangeran hanya akan menyebut Cinderella sebagai 'pretty-girl'. Hanya itu; sekadar penampilan yang ia perhatikan. Namun ingat saat Pangeran menceritakan pada Sang Raja, bahwa Cinderella lebih dari sekadar 'pretty-girl'. Well, ia memang cantik. Sangat cantik dan memesona. Tetapi seperti yang kubilang tadi, isi otaknya, kebaikan hati dan kepintaran Cinderellaーitu yang memikat hati pangeran."
"Jadi menurutmu, jatuh cinta pada pandangan pertama adalah kebohongan?"
"Hmm ..." Wonwoo tidak langsung menjawab, menimbang-nimbang jawabannya seraya mengaduk-aduk es krimnya. "Kalau aku jawab iya, bagaimana?"
Seung Ji menaikkan kedua alis. "Alasannya?"
"Karena bagiku, cinta tidak sesederhana itu."
Seung Ji menahan senyum. Beberapa anak rambutnya yang tertiup angin sengaja ditepis di pinggir. "Kau mengatakannya seolah pernah merasakan cinta," oloknya.
Wonwoo terkekeh dan menimpali dengan gurauan, "Percayalah, Nona. Aku sudah menenggak asam dan garam kehidupan."
Keduanya kemudian larut dalam tawa. Menghabiskan lebih banyak waktu dengan Wonwoo membuatnya lebih dalam mengenal pemuda itu: tentang pikirannya yang setajam tatapannya, tentang kontras kepribadian pemuda itu yang mencintai buku klasik sekaligus film Disney, tentang bagaimana tebalnya saringan benak pemuda itu sebelum menenggak mentah-mentah fakta yang didengar.
"Kesimpulannya, kau tetap tidak percaya cinta pada pandangan pertama." Seungji mengangguk. "Well, aku kalah."
Wonwoo tersenyum, tangannya terulur membenahi anak rambut si gadis yang berantakan. "Aku tidak menyalahkan orang lain bila percaya akan hal ituーsetiap orang punya hak untuk percaya pada apa yang ia inginkan. Namun kalau kau bertanya pendapatku, maka jawabanku selalu sama: Tidak."
Sejenak Seungji tertegun. Sentuhan Wonwoo yang tiba-tiba bagai arus listrik yang menyengat kulitnya. Ia mengalihkan pandang, mengangguk kaku. "B-baiklah. Rasanya aku mulai paham sudut pandangmu."
Wonwoo sempat terkekeh geli melihat rona samar di pipi gadisnya. Benar, ia tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Sebab bagaimana bisa cinta terbentuk hanya berdasar penampilan? Bagaimana bisa rasa serumit itu tumbuh dari kekaguman semata? Pun hal serupa dirasakannya dengan Kim Seungji. Wonwoo akui, ia memang memiliki kenangan tak terduga dengan gadis bermata hitam satu ini. Bertemu di bilik toilet wanita, sama-sama penggemar buku Me Before You, kemudian mereka menjadi teman. Namun pemuda itu akui, ia tidak pernah jatuh cinta pada Seungji pada pandangan pertama.
Sebaliknya, rasa itu ada, tumbuh, dan mekar seiring berjalannya waktu.
"Kau sendiri bagaimana?" Wonwoo menoleh pada Seung Ji. "Apa kau percaya dengan teori 'cinta pada pandangan pertama'?"
"Dulu, iya. Tetapi setelah membaca banyak kisah romansaーterutama Me Before You karya Jojo Moyes, aku rasa kau benar. Tidak ada cinta yang tumbuh dalam sekejap."
"Tapi, dulu aku pun menganggap bahwa cinta itu sesederhana itu. Terlebih, saat melihat banyak film romansa yang sangat menekankan konsep cinta yang sederhana."
"Benar," balas Seung Ji, tertawa.
"Menurutku, tidak ada salahnya untuk percaya bahwa cinta itu sederhana."
Keduanya menoleh, terkejut mendapati sosok yang kini berdiri di ujung tangga.
Senyum Seung Ji terangkat. "Hei, Jeonghan," sapanya girang. "Kami sedang istirahat setelah meyelesaikan dekorasi lantai dua. Mau ikut mengobrol?"
Wonwoo ikut tersenyum. "Kau mau es krim?"
"Tidak, tidak perlu." Jeonghan menggaruk tengkuk. "Aku hanya ... ehm, menurutku, cinta itu sederhana."
Wonwoo mengernyit. Tatapannya menyipit, namun tidak terdengar mengintimidasi saat membalas, "Apa yang membuatmu berpikir demikian?"
"Karena aku ..." Jeonghan mengerjap, menunduk. "Aku pernah merasakannya," cicitnya.
"Woah, Jeonghan!" goda Wonwoo, menepuk bahu pemuda itu. "Katakan, siapa gadis berunung itu?"
"D-dia ... dia ... aku tidakーmaksudku ..."
"Ah, aku paham." Wonwoo mengangguk. "Tidak apa-apa untuk menyimpannya rahasia. Apapun definisi cinta untukmu, ingatlah bahwa yang penting ialah usaha. Tak perlu menyamakan definisi cinta dengan orang lain. Bertanggung jawab saj dengan perasaan kita masing-masing."
Jeonghan tersenyum. Sesekali ia melirik Seung Ji, dan gadis itu pun tersenyum ke arahnya.
"Ayo lanjutkan, dekornya."
"Ah, maaf. Aku harus pergi ke ruang guru," pamit Jeonghan. Ia kemudian pergi, namun di ujung koridor, masih menyempatkan diri untuk melirik interaksi Wonwoo dan Seung Ji. Bukannya ia takut untuk mengaku perasaannya pada Seung Ji tadiーingat rumor puisi yang tersebar itu? Jeonghan yakin Seungji pun tahu siapa 'gadis beruntung' yang dimaksud Wonwoo. Kalau tadi Jeonghan menyatakan perasaannya pada Seung Ji, ia takut semua hal ini tak akan sama.
Ia takut Wonwoo akan menatapnya aneh, ia pun akan takut Seung Ji akan menghindarinya.
Sebab dari sini, melihat kebersamaan gadis itu bersama Wonwoo, Jeonghan sadar bahwa kedua orang itu saling mencintai.
Dan walauーmungkinーperasaannya tak terbalas, sekarang, ia masih punya tahun depan untuk mengejar Seung Ji. Untuk berteman. Untuk menikmati masa SMA.
Jeonghan tersenyum. Dan ia sudah tak sabar untuk itu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top