・ᴄ ᴏ ᴜ ʀ ᴛ
SAAT Areum berkata ia akan menjadi saksi atas semuanya, Kim Mingyu tak pernah berpikir semua akan terjadi secepat ini. Sangat-sangat cepat.
Semalam mereka masih mengobrol layaknya tak akan terjadi apapun. Semenjak kejadian mengerikan di malam hari dengan Chwe Hansol, Areum sudah tak lagi mengisolasi diri di sekolah. Gadis itu, secara mengejutkan, mulai aktif mengikuti berbagai macam kegiatan di luar jadwal pelajaran resmi. Areum mendatanginya di kelas tepat setelah jam morning self-study selesai, Areum pula yang menawarkan diri menjadi sukarelawan untuk membantu persiapan tampil tim drama saat festival musim panas kelak. Lalu setelah semua selesai, setelah mereka akhirnya mendapat waktu lenggang untuk duduk di atap sekolah dan menikmati es krim bersama, Mingyu merasa kehangatan, ketenangan, dan kebahagiaan bercampur aduk menghinggapi hatinya.
Sekarang pemuda itu baru sadar, betapa tidak normalnya sikap Areum kemarin.
Seharusnya Mingyu menyadarinya lebih awal, seharusnya Mingyu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang terjadi?" alih-alih diam dan tersenyum sendiri layaknya orang kasmaran.
Seharusnya kemarin ia masih dapat menghentikan niat Han Areum.
Sebab kini, semua yang terjadi di sekolah adalah kekacauan.
"Jadi, tidak ada satu pun dari kalian yang bersedia membawa orang tua ke sekolah." Tuan Kim berkata. Nadanya setenang telaga, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Mingyu mendadak menciut takut. Seketika seluruh nyali menguap. Tidak pernah dalam dua tahun terakhir pemuda itu melihat kepala sekolah turun tangan mengurus permasalahan siswa. Biasanya hanya Tuan Han sebagai guru konseling, atau paling parah, Tuan Li―pria Jepang-Korea yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah.
Namun, kepala sekolah?
Diam-diam ia menelan saliva, tidak dapat menahan diri melirik pada Areum yang duduk di pojok ruangan. Berbeda dengan seluruh 'tersangka' dan 'saksi' yang duduk di barisan depan auditorium, Areum yang menjabat sebagai korban dan pelapot diberi hak spesial untuk duduk di kursi paling belakang. Ekspresinya tenang, tatapan matanya sedalam jelaga, sementara surainya yang biasa tergerai kini diikat satu ke belakang. Dari jarak sejauh ini, Mingyu tidak bisa membaca ekspresi wajah si gadis: apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya, apa yang direncanakannya. Semua bagai tanda tanya yang kian lama kian tertumpuk.
Kian lama, kian membuat frustrasi.
Mingyu menggigit bibir, merasa dadanya tertekan tiap pemuda itu mencoba menarik napas. Sedetik kemudian, pintu auditorium terbuka. Seungcheol dan Seokmin melangkah masuk, sempat membungkuk pada Tuan Kim sebelum mengambil tempat duduk di bangku tengah sebagai saksi. Sekilas, Mingyu sempat bertukar pandang dengan Seokmin. Pemuda itu memberinya senyuman kecil, senyum yang diam-diam berkata, 'Tenang saja. Semua akan baik-baik saja.'
Ah. Itu mendadak mengingatkannya pada konversasi semalam saat makan malam barbeque. Awalnya acara itu diprakarsai oleh Wonwoo, sebagai salah satu perayaan kenaikan kelas. Namun di tengah-tengah itu, Jihoon sempat berkata, "Kau harus bersiap-siap, Ming. Suatu saat, kebenaran pasti akan terbognkar."
Mungkin, inilah saatnya.
Mungkin, itu pula yang Areum pikirkan.
Tuan Kim menarik napas, mengembuskannya panjang-panjang hingga mengisi seluruh ruangan. Ia membaca selembar kertas di genggaman, sebelum berkata, "Ada banyak hal janggal soal kasus Mingyu di Pulau Jeju. Tetapi alih-alih berkata kebenaran, Mingyu memilih untuk bungkam." Ia menjeda, kini irisnya beralih pada Mingyu yang tetduduk kaku di kursi bagian kiri. "Itulah mengapa kau hadir di sini sekarang. Bukan sebagai pelaku, tetapi sebagai korban dan saksi. Tidak boleh ada kebohongan lagi, Nak. Kau dengar itu?"
Mingyu menelan saliva, pada akhirnya hanya dapat membalas kalimat itu dengan anggukan.
Tidak boleh ada kebohongan, batinnya, meyakinkan diri sendiri. Inilah saatnya bagi kebenaran untuk terungkap.
"Lee Chan bersaksi bahwa malam itu, Mingyu dipukuli oleh Jisoo, Minghao, dan Chan. Semua dilakukan atas perintah Hansol dengan imbalan uang sekaligus barang-barang mewah. Apa ada yang ingin kau tambahkan, Nak?"
Lee Chan menggeleng kecil. Kepalanya berbalut perban dan ia masih menggunakan semacam tongkat sebagai alat bantu jalan. Penampilan pemuda itu sendiri adalah kekacauan: banyak luka memar dan perban, wajah tertutup masker, topi baseball, dan hoodie kebesaran. Seolah malu menunjukkan diri, seolah terlalu malu atas perbuatannya tempo hari.
Jujur saja, Mingyu sedikit merasa tidak enak hati dengan pemuda itu. Ia adalah penari yang hebat. Pasti berat untuk menghadapi musim panas tahun ini di kursi penonton alih-alih panggung.
"Lalu tak lama dari kejadian di Pulau Jeju, ada banyak rumor buruk mengenai Chwe Hansol, Xu Minghao, dan Hong Jisoo beredar di sosial media." Tuan Kim menarik napas dalam-dalam, kini beralih pada Seokmin dan Seungcheol yang duduk berdampingan. "Itu ulah kalian, benar?"
"Benar," cicit Seunghceol, mengangguk mantab. "Tapi ini ideku. Jadi kalau ada yang patut dihukum, maka itu adalah―"
"Tidak ada yang bisa menjadi sok pahlawan di sini, Seungcheol," tandas Tuan Kim tegas. Pria itu sedikit menaikkan nada bicaranya saat melanjutkan, "Ada sebab, ada akibat. Ada asap pasti ada api. Ada perbuatan, ada pula konsekuensi. Setiap orang yang berada di ruangan ini bertanggung jawab untuk tindakannya pribadi."
Pria itu beralih menghadap deretan bangku sebelah kanan, ekspresinya melunak saat menatap Jun. Kalau Chan duduk di bangku kiri dekat dengan Mingyu, maka Jun duduk di bangku bagian kanan―benar-benar berbalik seratus delapan puluh derajat dari bangku mantan sahabatnya.
Itu sedikit menyedihkan, kau tahu? Dua orang yang dulu dekat, mengaku sebagai sahabat yang saling mendukung dan mendorong satu sama lain, kini hanya duduk berjauhan layaknya orang asing.
Dari sorot mata Tuan Kim, Mingyu tahu ada banyak hal yang ingin gurunya itu katakan. Mungkin diam-diam pria itu sendiri juga iba pada Wen Junhui―layaknya seisi sekolah. Siswa berprestasi yang dikenal kalem, pujaan para gadis sekaligus favorit para guru ternyata telah menipu semua orang. Jun pula yang menghantam Chan hingga sahabatnya harus dirawat di rumah sakit (beruntung Chan tidak berniat untuk menyelesaikan kasus itu lewat jalur hukum).
Namun alih-alih demikian, Mingyu malah membulatkan mata terkejut kala apa yang keluar dari mulut Tuan Kim selanjutnya ialah tiga kata sederhana, "Kau baik-baik saja?"
Jun tidak membalas. Tatapannya jatuh hampa pada jemari yang saling terkait di atas paha.
Tuan Kim mendesah, sama sekali tidak tampak tersinggung atau murka. Kali ini, ia tak lagi membuat postur tubuh mengintimidasi seperti yang ia lakukan saat berbicara dengan Mingyu atau Seungcheol. Dari tatapannya tak ada sedikitpun penghakiman, bahkan nada bicaranya kemudian tidak mengandung sedikitpun hinaan saat melanjutkan, "Aku berharap kau belajar dari kesalahanmu selama ini."
Jun mendecih, tertawa sinis.
"Kau tahu Jun, dalam hidup mustahil ada yang namanya kesempurnaan. Seringkali manusia berjalan dan jatuh dalam satu atau dua lubang. Namun itulah bagian paling indah. Ketika manusia jatuh dan mereka belajar, kemudian mereka mencari cara agar tidak terjebak di lubang yang sama. Waktu dan proses setiap orang berbeda-beda. Aku tidak di sini untuk mempercepat atau memperlambat prosesmu. Aku percaya, kau sendiri masih punya nurani untuk berkata jujur."
Mingyu menelan saliva. Konversasi itu, nada lembut itu, suara serak khas pria paruh baya itu―semua seketika mampu membawa memori lama tentang rumah: tentang ayahnya. Ia ingat kala dulu sang ayah mengadilinya sebab mencuri buah kesemek dari rumah sebelah.
Tidak heran mengapa Tuan Kim ialah kepala sekolah favorit. Bukan hanya perawakannya yang tampak tegas dan berwibawa, tetapi kepalanya pun penuh dengan kebajikan. Sekolah memang sedikit kacau sejak beberapa guru secara diam-diam menerima 'suap' dari orang tua putra mahkota. Tetapi kini, Tuan Kim seolah menunjukkan bahwa ia sendiri yang akan memberantas semua hama dalam sekolah ini.
"Kalau kau siap, datang ke ruanganku untuk menceritakan semuanya. Sendiri. Tanpa kompeni."
Pemuda itu masih duduk kaku, matanya menatap ke depan tanpa tanpa emosi. Ada lingkaran hitam di sana, kerutan lelah, garis-garis keputusasaan. Irisnya berkaca-kaca, saat itulah tanpa suara Lee Chan menepuk pundaknya. Memberi sebuah dukungan, memberi sebuah kehangatan. Wen Junhui luluh lantak.
Tuan Kim kemudian segera membalikkan kertas, berbalik sepenuhnya dari Jun. Kali ini, ia berbalik pada bagian seberang ruangan: pada sebuah bangku tempat para putra mahkota duduk. Berbeda dengan guru-guru lain yang sudah gugup dan takut dengan tatapan Chwe Hansol, Tuan Kim malah tampak tenang―inilah mengapa Mingyu menaruh rasa kagum pada guru itu. Ia tidak peduli bila jabatannya menjadi taruhan, ia hanya ingin mengulik kebenaran.
"Aku tidak bisa membantu kalian kalau kalian tidak jujur pada diri sendiri." Tuan Kim mengecek sesuatu pada kertasnya lagi, kini menatap Minghao kala berkata, "Kau diisukan membawa minuman keras ke sekolah. Aku sudah mengecek semua kebenarannya, dan memang ditemukan beberapa botol bir kaca di atap sekolah."
Minghao mendengkus, dari kejauhan Mingyu dapat melihat pemuda itu memutar bola mata tak acuh.
Tuan Kim beralih pada Jisoo. "Aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu dengan kekasihmu―antau mantan kekasih. Tetapi kalau kau sudah mulai melakukan hal-hal di luar norma, kau berurusan denganku, Nak."
Jisoo hanya bungkam. Sama seperti Jun, tatapan pemuda itu pun tampak hampa.
Terakhir, pada Chwe Hansol, Tuan Han tidak mengatakan apapun. Hanya menatapnya lama, hingga yang ditatap berdecak risi. Saat itulah, Tuan Kim mulai berkata, "Kau tak malu?"
Tidak ada balasan.
"Setelah apa yang kau lakukan sejak dulu dengan gelar model dan idola banyak gadis. Bagaimana bila penggemarmu tahu kelakuanmu seperti ini?"
"Apa kau sedang mengancamku sekarang?" Hansol mendengkus sinis. "Aku tahu kau menjabat sebagai kepala sekolah karena kinerja dan prestasi sialan itu. Tapi kau lihat sekarang? Semua hancur berantakan."
"Pertama-tama, Hansol biar kutegaskan di sini. Kau memiliki banyak uang dan pengikut tetapi tidak dengan tata krama," balas Tuan Kim, melipat tangan di depan dada. "Kedua, jabatan bukanlah tujuan akhirku, Nak. Tetapi mendidikmu dan siswa-siswa di sini ialah tanggung jawabku. Jadi dibanding mengritik lebih banyak tentang hidupku, ada baiknya kau mengambil waktu untuk introspeksi tentang kelakuanmu satu semester ini."
Hansol bungkam, kehabisan kata.
"Aku akan mendiskusikan hukuman untuk kalian semua dengan guru-guru dan kepala sekolah," lanjut Tuan Kim, bergantian menatap Hansol, Minghao, dan Jisoo secara bergantian. "Dan aku harap, hukuman ini dapat mendidik kalian." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top