・ᴄ ʜ ᴀ ɴ ᴄ ᴇ
"BOLOS sekolah, check. Diberi surat panggilan, check. Babak belur, check. Kalau saja ada kompetisi 'remaja paling mengenaskan setelah tur sekolah', aku rasa aku bisa meraih juara pertama. Tidakkah begitu, Won—AH, ADUH DUH! HATI-HATI, DONG! PERIH TAHUUU."
Wonwoo menggerung gemas, meremas-remas handuk basah dan hampir tergoda untuk melemparkan kain itu tepat di wajah lawan bicara sekarang. Lumayan, untuk melampiaskan kejengkelannya sekarang. "Mangkanya kalau kubilang diam, ya diam. Jangan bergerak-gerak seperti cacing kepanasan begitu! Sudah tahu sakit, masih saja banyak tingkah. Dasar, bocah!"
Sejenak, Mingyu terdiam, kembali meringsut di balik selimut dengan bibir mengerucut. Di sebelahnya Wonwoo kembali mencelupkan kain dalam baskom air es, masih saja menggumamkan satu dua kalimat yang kalau tak salah dengar begini isinya, "Memang kau ini apa? Lelaki jadi-jadian? Masa perih begini saja tidak tahan.", tetapi setelahnya pun, jemari pemuda itu tetap mengompres luka dan memar di wajahnya dengan penuh hati-hati.
"Kau ini ibu-ibu atau apa sih? Serius, omelanmu persis dengan ahjuma-ahjuma kompleks yang suka menggosip," balas Mingyu tak mau kalah.
Wonwoo hanya mendesis, berulang kali membatin untuk sabar. Tahan, tahan. Jangan sampai kelepasan melempar kain pada pemuda malang yang baru dipukuli habis-habisan. Namun serius, dari malam setelah acara barbeque berakhir, Wonwoo sudah dihantui oleh sekelebat prasangka buruk. Ada yang mengganjal di hati setelah melihat Mingyu emosi setelah tahu gosip yang beredar, seolah memang merelakan kepergian sahabatnya dalam keadaan emosi sendirian bukanlah pilihan baik. Dan seluruh dugaan tersebut terbukti benar kala Mingyu dilaporkan seorang siswa terkapar babak belur—tepat di belakang villa.
Tak ada CCTV, tak ada segelintir bukti atau saksi.
Seolah memang, tak ada hal yang terjadi.
"Kau masih mau menutup mulut, huh?" Wonwoo menghela napas, memeras kain kompresannya di atas baskom. Kembali melirik wajah lawan bicara, pemuda itu menyambung, "Kau tahu, orangtuamu bisa dipanggil kalau ini kasus serius."
Mingyu mengerjap, memilih untuk menyalakan ponsel sebagai distraksi. Ia tahu Wonwoo tidak akan pernah diam saja. Bahkan kenyataannya, pemuda itu tak pernah diam sejak tur studi selesai. Ia yang menyarankan Tuan Kim untuk mencari saksi, ia pula yang menggebu-gebu meminta penyelidikan atas kasus pengeroyokan Kim Mingyu, dan lagi-lagi, Wonwoo adalah satu-satunya siswa yang dengan berani menyerukan kebenaran di balik web gosip sekolah, kala siswa lain memilih untuk menutup mata.
Benar-benar gila.
Mingyu sendiri tak mengerti mengapa Wonwoo benar-benar nekad menerobos alur dan menjadi satu-satunya siswa yang ingin menggali kebenaran di balik kasus. Siswa lainnya hanya merasa penasaran, beberapa siswa lain bahkan memilih untuk percaya dengan apa yang ia baca di media sosial.
Dan ah, jangan lupakan betapa kuat dan berpengaruhnya kekuatan media. Dalam dua hari singkat, Mingyu menemukan followers seluruh akunnya menurun drastis.
"Memang aku harus bilang apa?" pemuda itu menyahut tak acuh, menggerakkan jempol di atas layar. Banyak pesan klise dari para junior, beberapa hujatan dari akun anonim, dan satu-dua promosi dari akun jualan abal-abal.
Namun sampai jempolnya pun menggeser hingga pesan terbawah, tak ada satupun pesan dari Areum.
"Jadi orang tampan memang merepotkan. Bagaimana aku akan membalas ratusan pesan dengan dua jempol ..." gumam si pemuda, menyeringai miris pada diri sendiri. Mingyu mematikan ponselnya dan meletakkan benda pipih itu dengan asal di atas meja, berniat untuk membaringkan tubuh di atas sofa kala ekor matanya melihat Wonwoo membawa sebuah baki berisi dua gelas susu coklat, plus beberapa bungkus keripik kentang. Ada yang rasa madu, ada yang rasa rumput laut dan barbeque. Pemuda itu langsung berdiri antusias. "Nah, ini namanya teman yang baik! Tahu saja aku sedang lapar, hehe."
Wonwoo mendecakkan lidah. "Memang dasar tikus tiang, baru bersemangat kalau diberi makanan."
"Tikus tiang?" Mingyu menatap sok terluka, memegangi dadanya sebelum berkata dramatis, "Tega sekali kau. Lupa ya kalau dulu aku yang mengajarimu cara memasak janchi guksu, Tuan Jeon terhormat?"
Jujur saja, tingkatan lelucon Mingyu itu sangat dangkal, sudah menyentuh rawa-rawa. Namun entah sebab ekspresi bodohnya atau nada suaranya yang persis layaknya rengekan bocah, ia jadi tak bisa menahan senyumnya untuk tidak terulas lebar. Apalagi saat memandangi Mingyu langsung menyerbu keripik kentang rasa madu. Itu kesukaannya, Wonwoo tahu. Itu sebenarnya jatah snack Jihoon—milik Mingyu sudah habis di awal bulan, jauh sebelum keberangkatan ke Jeju—namun Wonwoo ingat semalam saat ia membuka celengan babinya hendak membeli beberapa stok jajan untuk Mingyu, Jihoon tiba-tiba masuk ke kamarnya dan berkata, "Tidak usah beli yang baru. Kasih saja milikku pada Mingyu."
Well, itu mengejutkan, sebenarnya—mengingat sejak awal kepulangan mereka dari Jeju, Jihoon adalah satu-satunya orang di rumah ini yang terus menutup mulut tanpa menunjukkan simpatik apapun. Bahkan malam saat Wonwoo berseru panik, berkali-kali menelepon orangtuanya termasuk orangtua Mingyu, menyampaikan kabar bahwa mereka telah pulang dengan selamat ke Seoul—sebab tentu saja, Mingyu memohon-mohon untuk tidak menyinggung sedikitpun kejadian ini pada orangtuanya.
Kemudian, Seokmin yang malah bertingkah aneh.
Ah, entahlah. Walau berasal dari kampung halaman yang sama, Wonwoo rasa ia belum mengenal ketiga pemuda itu sebaik yang selama ini ia kira.
"Kau bolos sekolah hari ini, huh?" Mingyu bertanya di sela-sela kunyahannya. "Seharusnya kau biarkan saja aku sendirian di rumah. Aku ini pria dewasa yang mandiri tahu, bukan anak kecil yang—"
"Pria dewasa, katanya. Tapi mengompres memar sendiri saja tidak becus," sindir Wonwoo. "Hati-hati nanti seluruh penggemarmu ilfeel saat melihatmu bonyok begitu."
Mingyu mengerucutkan bibir, setengah mencebik. "Diam, deh! Orang tampan mau bagaimanapun akan tetap tampan. Tidak usah sirik."
Wonwoo berdecak, memutar bola mata. Sedetik kemudian ia berjalan melewati kamar Seokmin, sedikit terkejut melihat pintu kamar itu terbuka dan menampilkan tumpukan baju di atas kasur, dan satu koper yang terbuka lebar-lebar di tengah ruangan, sementara isinya tercerai berat memenuhi seisi ruangan. "Seokmin tidak di rumah?"
Mingyu mengendik tak acuh, mengalihkan pandang saat Wonwoo melemparkan tatapan tanya kepadanya.
Hal kedua yang membuat Jeon Wonwoo uring-uringan; dua sahabatnya ini mendadak bersikap aneh sejak pulang dari trip sekolah. Mereka tak lagi bertegur sapa, tak mau ditinggal di rumah hanya berdua, pula saling mengalah saat giliran mandi dan makan malam—sesuatu yang sangat tidak biasa bagi Lee Seokmin dan Kim Mingyu.
Baiklah, ini bukan kali pertama kedua pemuda itu bertengkar. Malah dari keempatnya, hanya Mingyu dan Seokmin yang paling tidak bisa mencocokkan pendapat dan masing-masing mau menang sendiri. Biasanya mereka akan saling tuduh, saling melempar bantal, bahkan masih berani saling melempar rutukan.
Namun hari ini--tepat setelah kepulangan dari Jeju, keduanya serentak saling membungkam mulut, memilih untuk menutup rapat-rapat tentang kejadian aneh selama tur studi.
Dan itu membuat Wonwoo semakin curiga.
Pemuda itu mendengkus samar, menyugar surai asal. Saat ia hendak pergi ke belakang untuk menjemur pakaian, matanya tiba-tiba membelalak melihat pintu apartemen terbuka, Jihoon--masih dengan setelah seragam sekolah yang rapi--tiba-tiba pulang dan membawa seseorang.
Kwon Soonyoung.
"Sekolah pulang lebih cepat, huh?" tanya Wonwoo heran. Ia melirik ke arah jam. Masih pukul 11 pagi, dirinya membatin, mustahil sekolah bubar jam segini.
Namun Jihoon hanya menggeleng samar, langsung masuk ke kamar dan menyahut asal, "Ada hal yang harus kukerjakan."
Wonwoo mengernyit. Ia ingin langsung menyusul Jihoon ke kamarnya dan menanyakan beberapa hal—yang pemuda itu khawatirkan, ada kejadian tidak mengenakkan di sekolah. Tidak mungkin seorang Lee Jihoon akan bolos tanpa alasan begini. Namun sadar bahwa ada Soonyoung, pemuda itu mengurungkan niat dan melempar senyum pada tamunya. "Sudah lama kau tidak kemari."
Soonyoung membungkuk, tersenyum miris. "Aku ingin menjenguk Mingyu."
"Astaga, tidak usah formal-formal." Lagi-lagi, tingkah satu temannya ini yang membuat Wonwoo geleng-geleng kepala. Serius, apa yang terjadi selama jam-jam sekolah tadi, sih? Kenapa semua mendadak berubah aneh begini? "Ia sedang bersantai di sofa, kau bisa menjengukny—"
"KIM MINGYUUU ..."
Mingyu menoleh, mendapati Kwon Soonyoung sudah berlari ke arahnya dengan dua tangan terbuka lebar. "Heh, heh, heh! Apa ini?! Jangan peluk-peluk! Astagaaaaa, kerasukan ruh apa kau, hah? Kubilang, jangan peluk-peluk!"
Soonyoung memberenggut, tapi mengambil posisi duduk tepat di dekat Mingyu. "Sakit sekali, ya?"
"Tidak, tuh," Mingyu menyahut asal, "Rasanya manissss sekali."
"Kau ini memang tak berubah!" Soonyoung tertawa, menepuk-nepuk punggung Mingyu walau leluconnya payah. "Tapi serius, kau tidak ingat siapa yang mengeroyokmu? Siswa kita atau justru perampok di sana?"
"Tidak ingat," tukas Mingyu cepat.
Soonyoung menghela napas tak puas. Keningnya kembali mengernyit tampak seolah berpikir. Ia bahkan hendak melontar pertanyaan, kalau saja Mingyu tidak menyela, "Hei, kau menjenguk sahabat yang sakit tanpa oleh-oleh? Tega sekali."
Soonyoung menyengir, menggaruk tengkuk setengah merasa bersalah. "Tadinya aku mau membelikan kue kesukaanmu di café ujung jalan. Tapi tidak jadi. Karena di sana aku melihat pemandangan aneh."
Kening Mingyu berkerut samar. Pemuda itu kemudian bangkit dari posisi tidurnya, menyenderkan punggung pada senderan sofa yang empuk kala bertanya, "Pemandangan aneh?"
"Aku melihat Seokmin duduk bersama dengan Seungkwan." Soonyoung menggaruk tengkuk. "Mereka bolos sekolah dan bertemu di cafe. Kira-kira, ada apa, ya?"
Ah, begitu rupanya. Mingyu hanya bungkam, memilih untuk tidak menjawab.
Bahkan saat ia berusaha untuk memberi kesempatan, satu temannya itu tetap memilih untuk tidak berubah. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top