・ᴄ ʀ ᴀ ᴄ ᴋ ᴇ ᴅ ғ ʀ ɪ ᴇ ɴ ᴅ s ʜ ɪ ᴘ
"JANGAN belok kiri! Musuhnya bersembunyi di belakang pohon! Belok kanan, kanan. KANAN, KWON SOONYOUNG! KAU BISA BEDAKAN KIRI ATAU KANAN, TIDAK?!"
Jeon Wonwoo bergidik, melirik ke arah ruang tamu dan berusaha melampiaskan rasa jengkel dengan meremas-remas lap meja. Untuk ukuran orang sakit, Kim Mingyu itu jelas lebih berisik dari seorang bocah, lebih berenergi dibanding pemuda sehat, bahkan dapat berteriak dengan lantang kendati bibirnya lebam. Dan untuk standar seorang tamu, Kwon Soonyoung itu benar-benar melamapui batas.
Dasar, pemuda-pemuda tak tahu diri!
Nyaris dua jam sejak kedatangan Soonyoung, nyaris dua jam pula ia dan Mingyu menghabiskan waktu dengan berteriak menatap layar televisi seraya memencet-mencet stik PS di ruang tamu. Bermula dari rengekan singkat dan wajah memelas pemuda itu kala berkata, "Kumohon, Wonwoo. Hanya satu jam, oke? Satu jam sajaaa .... Kau tidak kasihan padaku? Aku akan mati kebosanan kalau hanya berbaring. Sekali ini saja, ya?"
Sebetulnya Wonwoo juga tak rela kalau harus meminjamkan PS kesayangannya pada orang asing. PS tersebut merupakan satu barang berharga yang ia beli dengan hasil tabungannya sendiri dua tahun lalu, dan dengan segenap hati pemuda itu berusaha untuk menjaga dan merawat benda kesayangannya agar tidak lecet. Namun sekarang, situasinya berbeda.
Wonwoo mendadak merasa seperti orang kikir egois apabila menolak permintaan Mingyu.
Dua jam berlalu, dan kini pemuda itu menyesal.
Seharusnya aku memang tidak mudah percaya begitu saja dengan seorang Kim Mingyu.
"Kau membiarkan mereka terus menyentuh benda kesayanganmu?"
Wonwoo menghela napas, mengalihkan pandang pada Jihoon sebelum kembali mengelap meja makan. "Lalu mau bagaimana?" sahutnya lelah. "Khusus hari ini sepertinya tidak apa-apa." Ia kemudian melangkah ke wastafel dapur, mengenakan sarung tangan karet dan mulai mencuci piring.
Ia tak sadar Jihoon mengikutinya sampai ke ambang pintu, berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada kala menyahut, "Ini janggal, bukan?"
Wonwoo menggosok spons pada piring. "Janggal apanya?"
"Kejadian malam itu. Pelaku pengeroyokan Mingyu." Terdengar helaan napas Jihoon. "Tepat setelah rumor beredar, Mingyu ditemukan di belakang vila dengan kondisi naas. Dan dengan pintarnya, Si Bodoh itu malah mengaku bahwa ia tidak ingat satupun detil sejak pergi ke bukit belakang vila. Kau pikir itu semua hanya kebetulan?"
Gerakan tangan Wonwoo terhenti. "Tidak."
"Rasanya aneh, bukan? Ada yang tidak beres. Ada yang pemuda itu sengaja tutup-tutupi berkaitan denganー"
"Kita tak punya bukti apa-apa, kau tahu itu."
Mata Jihoon menyipit, nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Lalu kau menyerah begitu saja?"
Wonwoo tak langsung membalas, sejenak berdiam diri sembari menatap hampa aliran air pada keran dapur. Pemuda itu mendesah, mendongak sejenak sebelum mematikan keran dan menghadap Jihoon. Samar-samar ia masih terdengar teriakan Mingyu dan Soonyoung yang kini tengah berebut keripik kentangーterdengar kasual dan sederhana seolah hari ini sama dengan hari-hari biasa. Seolah kecelakaan itu tak pernah terjadi, seolah hari ini adalah hari libur dimana Jihoon tak perlu membolos seperti sekarang
Dan untuk sekali Jeon Wonwoo berharap, hari ini memang sama dengan hari-hari biasa.
"Mingyu berkata ia tidak ingat. Tidak ada siswa yang melihat, bahkan penduduk sekitar pun menyangkal ada hal aneh terjadi saat tur studi malam itu."
"Dan kau hanya akan percaya?" Nada Jihoon meninggi. "Kau akan membiarkan kasus ini berakhir begitu saja?"
"Jihoon, kau tak mengerti." Wonwoo mendesah lelah. "Aku juga ingin untuk tahu kebenaran di balik kasus ini. Kau dengar sendiri aku melaporkan kasus web terang-terangan pada Tuan Kim, 'kan? Tetap tidak ada hasil. Kalau kita terus menuntut begini maka bisa-bisa ..." Ia menggantung kalimatnya, menarik napas dalam-dalam. "Maka bisa-bisa orang tua kita juga ikut dipanggil."
"Asal kebenarannya terungkap," tukas Jihoon, "bukankah selama ini, kau yang menggebu tentang kejanggalan? Tentang web? Tentang gosip Areum dan Mingyu yang bahkan belum jelas siapa penulisnya?"
"Itu adalah dua hal yang berbeda," Wonwoo menekankan, kali ini sudah menatap Jihoon dengan mata memelotot dan kening berkerut kesal. "Kau tahu, hal yang benar-benar janggal adalah ketika kau bolos sekolah tiba-tiba dan menanyakan perkara Mingyu."
Jihoon berkacak pinggang, menelan ludah sekaligus amarah yang ditahan-tahan. "Aku hanya ingin mencari kebenarannya," desis pemuda itu. "Hanya itu."
"Dan menyusahkan orangtua kita di kampung?" Jihoon tak lagi dapat membalas. Wonwoo mengangguk dan menganggapnya sebuah kemenangan. "Tidak, bukan?"
"Em ... Wonwoo?"
Kedua pemuda itu refleks menoleh, kedua irisnya melebar bersamaan saat melihat presensi Soonyoung dan Mingyu―keduanya berdiri tepat di ambang pintu dapur. Dari ekspresi ternganga Soonyoung dan keruran di wajah Mingyu, sudah jelas mereka telah mencuri dengar percakapan Wonwoo dan Jihoon.
Sejak kapan ...?
Wonwoo mengerjap, sejenak mengusap wajah gelisah sebelum memaksa diri untuk mengulas senyum. "Ah, Soonyoung. Maaf tak mendengarmu. Aku dan Jihoon sedang berdiskusi soal ... yah, kau tahu. Topik sensitif."
"Diskusi yang sangat keras," sindir Mingyu.
Soonyoung hanya tertawa garing, berusaha untuk mencairkan kecanggungan walau tampaknya tak berhasil. "Tidak apa-apa. Kalian teman serumah, dan teman serumah biasanya sering bertengkar. Sama sekali bukan hal aneh." Namun sadar ekspresi ketiga pemuda di dekatnya tidak menyambut lelucon itu dengan baik, Soonyoung lantas berkata, "Aku harus pergi. Aku berjanji untuk datang ke latihan tari pukul sebelas nanti. Terima kasih untuk makanan dan PS-nya, benar-benar waktu yang menyenangkan.
Wonwoo balas tersenyum kecil. "Semoga sukses dengan latihanmu."
Setelah Soonyoung pergi, suasana hening bercampur canggung kembali melingkup, memukul rata seluruh insan di dalam. Wonwoo kini berusaha menyibukkan diri dengan melipat baju hasil jemuran semalam, Mingyu masih duduk dengan televisi menyala―berpura-pura menontonnya padahal pikirannya sedang berada pada hal lain. Sementara Jihoon―pemuda itu masih duduk di ruang tamu, dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan masih mencari-cari alasan mengapa Mingyu tak kunjung mau mengungkapkan kebenarannya.
"Kau bodoh atau bagaimana, Jeon?"
Wonwoo mengernyit mendengar ucapan Jihoon. Namun ia melihat bagaimana Mingyu sudah beranjak ke kamarnya tanpa berkata apapun, Wonwoo hanya dapat menghela napas. "Sudahlah, Jihoon," katanya lelah, "kita sudah sepakat untuk tidak mengungkit masalah ini―setidaknya, sampai Mingyu sembuh. Titik."
"Tidak bisa dipercaya," desis Jihoon, masih enggan untuk melepas topik pembicaraan ini begitu saja. Ia tak tahu apa yang meninggalkan rasa kelat pada lidah; sikap Wonwoo yang terlalu pengecut atau Mingyu yang memang idiot setengah mati. Padahal ketidakadilan di sini tergambar sangat nyata. "Bagaimana kau bisa diam saja setelah teman kita difitnah?"
Lantas tanpa menunggu lama, tanpa dapat dicegah sekalipun, Jihoon tahu-tahu sudah masuk ke kamar Mingyu. Matanya menyipit, hatinya kian mendidih sekaligus sakit di saat bersamaan kala melihat sahabatnya kini malah berbaring di atas kasur. "Kau masih bisa tidur sekarang?" ucapnya, tak repot-repot menyembunyikan nada sarkasme kala melanjutkan, "Orangtuamu akan dipanggil atas dugaan putranya terlibat pemerkosaan gadis dan perkelahian. Dan sekarang kau masih bisa tidur pulas?"
"Lee Jihoon!"
Wonwoo sudah menyusul ke dalam, matanya membulat tak percaya kala mendengar ucapan Jihoon.
Namun yang disebut namanya sama sekali tak merespon. Mata Jihoon masih terpusat pada Mingyu. "Sampai kapan kau akan diam? Kau mungkin bisa membohongi isi sekolah, tapi kau tetap tak akan bisa membohongiku. Itu adalah tindakan paling bodoh yang kau lakukan, Mingyu."
Waktu seolah berhenti berdetak. Hening mengambil ahli. Mendadak udara dalam kamar terasa sesak, paru-parunya seolah ditekan kuat.
"Kau pikir aku mau, hah?" Mingyu menoleh pada Jihoon. Air mata terkumpul pada pelupuk mata pemuda itu. "Kau pikir aku mau disebut sebagai seorang pemerkosa walau aku sendiri tidak melakukan apa-apa?!"
"Kalau begitu, bela dirimu sendiri, Bodoh! Ceritakan sebenarnya pada Tuan Kim. Ceritakan apa yang terjad―"
"SUDAH KUBILANG, AKU TIDAK INGAT!"
Ruangan tersebut menjadi gerah dalam sekejap. Wonwoo mendesah, Jihoon hanya stagnan di tempat. Wajah Mingyu yang bengkak berderai air mata, namun kala pemuda itu mengusapnya keras satu kukunya tak sengaja menggores luka lebam di ujung mata. Ia menangis semakin keras. "Sialan! Bahkan menangis saja terasa puluhan kali lebih menyakitkan sekarang. Sialllll. Ini tidak adil. Ini benar-benar tidak adil!"
Jihoon mengepal tangan, menggertakkan gigi untuk menahan tangis. "Dasar bodoh," ucapnya, terlampau lirih.
"Mulut, Jihoon," tegur Wonwoo pelan, terlampau lelah untuk kembali beragumen. "Sudahlah, ini sudah selesai. Tidak ada yang benar dan salah di sini. Kalau Mingyu memang tak mau memberi tahu, maka kita tidak bisa memaksa. Sudah, cukup."
Jihoon memalingkan wajah, masih tetap tak puas. "Ini tidak masuk akal." Kemudian, sama seperti Lee Jihoon yang Wonwoo kenal, pemuda itu pergi begitu saja masuk ke kamarnya dengan gebrakan pintu pelan. Wonwoo hanya bisa menghela napas pelan. Pemuda itu mendongak untuk menahan air matanya jatuh, sebelum melirik Mingyu dan memberi tepukan kecil pada bahunya. Tepat saat langkahnya keluar kamar, ia melihat presensi seseorang.
Lee Seokmin berdiri mematung di depan pintu masuk.
Wonwoo hanya menghela napas dan menyapa ringan, "Kau sudah pulang," sebelum pemuda itu kembali ke dapur.
Namun Seokmin tidak bisa membalas sapaan itu dengan ceria seperti biasa. Sebab sepersekon setelahnya, ia melihat Mingyu keluar kamar. Keduanya saling menatap. Untuk sepersekon yang kelewat cepat, hati Seokmin seolah dihancurkan, diremas dan dilebur hingga leleh dan tak berbentuk.
Sebab tak lama setelahnya, Mingyu hanya kembali melangkah. Tanpa seulas senyum atau memberi sapaan. Hal lebih menyakitkan adalah suara nurani yang kemudian berputar dalam benaknya, Kau pantas menerima itu, Lee seokmin. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top