・ᴀ ʜ ᴀ ᴘ ᴘ ʏ ᴇ ɴ ᴅ ɪ ɴ ɢ
"YO, yo Mingyu, Kim Mingyu! Namamu Mingyu, orang-orang memanggilmu Yeong-eung*! Yo, kau memang keren, my best friend! Kau memang pintar, seorang gentleman! Tidak ada yang bisa mengalahkan pesona Kim Mingyu! Yo, yo!"
Mingyu berdecak risi. "Berisik," desisnya geram, tergoda untuk membungkam mulut Soonyoung dengan tangannya sendiri. Namun saat ingat bahwa kawannya itu baru saja makan ayam mentega dan sisa-sisa minyak masih menempel di mulutnya, Mingyu hanya dapat bergidik geli. Ugh, seharusnya tadi ia memberi jatah makanannya pada kucing saja kalau tahu Soonyoung akan seberisik ini. "Kalau kau terus menyanyikan lagu konyol itu, akan kudesak Kim Wang Soo dari kelas satu untuk menggantikanmu sebagai lead dancer! Kau mau?!"
Ancaman Mingyu, meski terdengar absurd, sukses membuat Soonyoung mengerucutkan bibir. "Ini rap, bukan lagu konyol," cibirnya, yang hanya dibalas Mingyu dengan memutar bola mata.
Kalau ada gerai lelang teman dekat sekolagnya, barangkali Mingyu menimbang-nimbang akan menyerahkan Kwon Soonyoung dengan harga tinggi. Hah, membayangkan hal ini saja mampu membuat sudut bibir pemuda itu terangkat lebar. Soonyoung itu salah satu pemuda terabstrak yang pernah ia kenal. Bayangkan, sejak tadi bertemu di gerbang sekolah, Mingyu harus menahan rahangnya untuk tidak ternganga sampai jatuh ke bawah saat melihat Soonyoung datang dengan aksesoris berlebihan: kacamata hitam, rantai emas berukuran besar melingkari leher, juga topi merah norak bertuliskan, 'The Best Rapper in The World'.
Dan jangan lupakan sapaan Soonyoung yang seketika sukses menarik atensi seluruh siswa di gerbang sekolah, "Yo, my best friend, Kim Mingyu! Best yeong-eung! Yo, I adore you!"
Percayalah, saat itu Mingyu menahan diri untuk tidak langsung menonjok Soonyoung di depan wajah. Berani-beraninya ia mempermalukanku di depan banyak orang begini.
Berjam-jam telah berlalu sejak peristiwa memalukan itu, Kini tengah hari, keduanya melangkah beriringan menuju lapangan indoor untuk mengambil beberapa perlengkapan olahraga yang kelak dibutuhkan dalam pertunjukkan drama. Selama berjam-jam itu, Mingyu pun sudah mulai terbiasa dengan pembawaan juga pikiran random sahabatnya ini. Toh kalau mulutnya berbusa atau dia lelah, dia pasti akan berhenti dengan sendirinya―seperti saat jam makan siang tadi.
"Itu ungkapan pengagumanku, tahu!" gerutu Soonyoung, menenggak sodanya dengan desahan puas. "Sebagai seorang sahabat, aku benar-benar lega masalahmu dengan orang-orang berengsek itu sudah tuntas!"
Mingyu mengernyit tersinggung. "Orang-orang berengsek maksudmu?"
"Ya siswa berengsek di sekolah ini," balas Soonyoung sembari mengendikkan bahu, terdengar tak acuh saat melanjutkan, "Hansol, Minghao, Jisoo, lalu orang-orang yang pernah memukulimu di Jeju dulu. Aku tak percaya Hansol melakukan hal se-mengerikan itu pada Areum. Pantas saja kau murka."
Mingyu menghela napas. "Sudahlah, tidak usah dibahas."
Soonyoung tentu tidak pernah diam. Ia membuka mulut, hendak kembali membahas kalau saja pandangannya tak teralihkan oleh seorang siswi yang sedang membereskan perlengkapan olahraga di tengah lapangan. Ia lantas menghentikan langkah, menyipitkan mata. "Hei, bukankah itu Areum?"
Mingyu pun sama terkejutnya. Niat tadi hendak pergi ke aula teater lantai dua mendadak buyar, langkahnya terhenti di pinggir lapangan dengan mulut ternganga. Han Areum yang terlibat dalam kegiatan sekolah sama sekali tidak tampak seperti seorang Areum. Memang Mingyu akui, sikap Areum akhir-akhir ini sedikit aneh. Mau membantu klub teater, mendaftar sebagai sukarelawan panitia acara musim panas, bahkan tidak sungkan untuk mengobrol dengan anak-anak kelas lain.
Oh, ayolah! Ini Han Areum yang mereka bicarakan, siswa berprestasi yang dulu sempat merebut hati Mingyu oleh kegigihan sekaligus sikap garangnya. Namun, kini ...?
Melihat sahabatnya yang terpana sampai tidak bergerak itu, senyum Soonyoung mengembang sempurna. Ia menyenggol bahu Mingyu keras, membuat sang pemilik tersentak sampai nyaris jatuh. "Aku melihat bunga-bunga cinta bermekaran di sana," katanya menggoda. "Pergilah, bung. Kejar gadismu. Kau tidak tega melihatnya mengangkat barang sendirian?"
"Tidak, untuk apa aku kesana?" sahut Mingyu, menjaga nada suaranya agar tetap datar walau dalam hati pemuda itu pun sama risaunya. Sama penasarannya. Namun, apa yang akan terjadi apa bila ia datang dan mengobrol bersama Areum di sana? Suasana sekolah sedang panas-panasnya oleh pengumuman tentang pengeluaran beberapa siswa karena skandal―salah satunya pengeroyokan dan pemerkosaan di kota Jeju. Bahkan, desas-desus mengenai siapa pelapornya sudah tersebar. Beberapa siswa yang menyalahkan Han Areum dan mengata-ngatainya sebagai perempuan licik, penggoda, atau berbagai kata kasar lain―walau tak sedikit pula yang mendukung serta menjadi teman gadis itu.
Lantas, bagaimana bila mereka melihat Mingyu berduaan dengan Areum di lapangan olahraga? Alih-alih menyelesaikan masalah, itu akan menambah gosip baru, kemudian skandal baru, lalu lagi-lagi, kecanggungan yang baru.
Dan, tidak. Mingyu tak ingin pertemanannya dengan Areum menjadi canggung seperti dulu.
"Memang apa yang kau risaukan? Gosip siswa? Omongan para junior sialan itu?" Seolah dapat membaca pemikiran sahabatnya, Soonyoung berdecak, menggeleng tak habis pikir. Meletakkan tangan pada bahu Mingyu―masih dengan ekspresi sok bijak, Soonyoung berkata, "Tidak ada yang mudah memang berurusan dengan cinta. Kau harus berjuang dan berkorban."
"Aku tidak bisa lagi memikirkan cinta setelah semua yang terjadi sekarang."
"Well, kalau begitu lakukanlah sebagai teman."
Mingyu menoleh, mengernyit. "Maksudmu?"
Soonyoung mengendikkan bahu santai. "Kau pergi ke sana, datangi dia, tanya kabarnya, ajak dia mengobrol bersama tapi bukan untuk pendekatan. Hanya sebagai teman—hanya sebab kau peduli sebagai teman. Kau paham maksudku sekarang?"
"Memang apa bedanya?" tanya Mingyu, sedikit menantang. "Darimana kau bisa melihat apa ia peduli padamu sebab menyukaimu sebagai pria atau teman?"
"Sederhana saja," sahut Soonyoung. Kali ini ia kembali memakai kacamata dan membenarkan letak topinya. Dengan bergaya sok keren, ia melanjutkan, "Teman berarti melakukan sesuatu dengan tulus. Kau mendekatinya sebab peduli, bukan sebab berharap ia akan menerima perasaanmu. Lain halnya dengan penggemarmu dulu. Ingat bagaimana mereka memberimu makanan mahal, croissant dari Paris, dorayaki dari Jepang, bahkan sampai ada yang menawari untuk mengerjakan pekerjaan rumahmu? Semua itu dilakukan demi mencuri hatimu. Apa itu bisa dibilang kebaikan tulus?"
Benar juga.
Mingyu sejenak terpaku, memikirkan ucapan Soonyoung. "Jadi kalau aku ke sana, menanyakan kabarnya dengan tulus tanpa berharap ia akan melihatku sebagai pria, maka itu adalah sebuah ketulusan seorang teman. Tetapi, bila aku ke sana, menanyakan kabarnya dan berharap ia akan menjadi kekasihku kelak, maka itu adalah pendekatan, begitu?"
Soonyoung menjetikkan jari di atas udara. "Tepat sekali, Bung!" Dengan senyum yang masih melingkari wajah, pemuda itu kemudian melanjutkan sok tahu, "Menurut web yang pernah kubaca, seluruh hubungan dimulai dengan pertemanan yang sehat. Lagipula, untuk apa menggaet cinta sekarang? Banyak cinta banyak drama, man! Banyak drama berarti banyak konflik. Kalau saranku, ya, lebih baik kau mencari lebih banyak teman, menggaet lebih banyak sahabat. Masa muda sekarang lebih enak dibuat seru-seruan dibanding kencan, bro!"
"Kau benar, sih. Tapi―"
"Sudahlah!" Soonyoung berdecak gemas. "Untuk apa ragu lagi? Sana pergi, sana!"
Belum sempat Mingyu menyelesaikan kalimatnya, Soonyoung tiba-tiba sudah mendorong pemuda itu ke tengah-tengah lapangan. Pada detik yang sama, Areum membalikkan badan.
Keduanya mengerjap. Kecanggungan lantas menghadang.
"H-halo," sapa Mingyu kelewat kikuk. Sejenak menelan saliva sembari memikirkan topik pembicaraan, pemuda itu malah berkata asal, "Aku tidak kemari untuk menemuimu, sungguh! Tadi aku ke sini bersama Soonyoung, kau lihat―" Pemuda itu menunjuk ke belakang, tapi tak ditemukan siapapun di sana. Mingyu menggeram dalam hati. Dasar Soonyoung sialan!
"―mungkin dia sudah pergi sekarang. Tapi aku ke sini untuk mengambil perlengkapan drama, bukan untukmu! Sungguh!"
Satu detik, dua detik, tawa Areum kemudian pecah. "Sejujurnya Kim Mingyu, aku juga tidak peduli apa alasanmu kemari. Untukku atau untuk klub drama―sama sekali bukan urusanku."
Mingyu ikut tersenyum, mendadak merasa lega mendengar balasan sinis itu. Hanya Areum yang bisa membuatnya merasakan demikian. Mingyu kemudian mengambil ahli kardus berisi perlengkapan olah raga dari tangan si gadis. "Jadi, kau juga menjadi asisten klub drama, huh?"
Areum mengendikkan bahu. "Aku tidak bisa mundur dari kewajibanku begitu saja."
Keduanya kemudian melangkah beriringan menuju aula ruang drama. Di sana, banyak tatapan siswa mengarah pada mereka. Jadi Mingyu berbisik, "Kau tidak apa-apa dengan gosip itu? Kalau kau mau, aku bisa mundur lima meter seperti dulu."
Areum menahan senyum geli, namun kemudian ia mengangkat dagu percaya diri. "Tidak, tidak perlu. Aku berjalan di sini toh bukan untuk mereka."
Mingyu mengerjap, tidak membalas. Setelah keduanya melewati tikungan koridor―tepat di dekat gudang yang sepi, Mingyu tiba-tiba meletakkan kardusnya di atas lantai begitu saja. Dengan cepat dan tanpa aba-aba, ia kemudian menarik tangan Areum―sekejap sempat membuat gadis itu memekik dalam diam―dan Mingyu mengajaknya masuk ke dalam gudang.
Areum belum sempat utuk melayangkan protesnya sebab Mingyu tiba-tiba bersuara, "Kau baik-baik saja?"
Areum mengerjap.
"Ah, maaf membuatmu terkejut. Aku tidak bermaksud―kau tahu, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya―"
Kalimat Mingyu terhenti saat Areum tiba-tiba menyela, "Kalau kau bersikap begitu, aku akan berpikir bahwa kau pergi ke lapangan tadi sebab benar-benar karenaku."
Mingyu menyunggingkan senyum miring, menantang, "Kau bilang itu bukan urusanmu."
Areum tertawa. "Baiklah, baiklah. Kau menang."
Tatapan Mingyu kemudian melekat pada gadis itu. "Terima kasih," katanya, "terima kasih karena telah berani menyatakan kebenarannya."
"Kau tidak perlu berkata begitu."
"Tapi mereka membicarakanmu."
"Aku sudah tak peduli," kata Areum, tersenyum tipis. "Aku sudah tidak ingin menciptakan kesan kuat, teguh, tegas pada orang lain. terserah mereka mau berpikir apa, aku akan tetap menjadi diriku sendiri."
Mingyu tersenyum. "Dulu aku selalu menggantungkan penilaianku lewat media sosial. Jumlah likes yang kudapat, komentar-komentar manis, berbagai DM yang kudapat, kekaguman orang. Aku membentuk jati diriku sesuai yang mereka minta."
Areum tak langsung membalas, sejenak menarik napas dalam-dalam. "Kau tahu, aku juga selalu menjadi sepertimu, Kim. Aku selalu ingin menjadi orang yang kuat. Aku tidak ingin orang lain memandangku sebelah mata hanya karena aku ..." ia menjeda. "kau tahu, miskin. Tidak seperti anak-anak lain."
Mingyu mendengar seksama.
"Terima kasih juga Kim Mingyu," kata Areum. "Semua ini tidak akan terjadi tanpamu."
Keduanya tersenyum. Baik Areum dan Mingyu menemukan hal yang baru―sebuah hal yang lebih berharga dari sekadar cinta; bahwa keduanya menemukan jati diri mereka, terlepas dari ucapan orang.
Dan sungguh demi apapun, itulah akhir bahagia sebenarnya. []
*Yeong eung: 'Pahlawan' dalam bahasa Korea.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top