・ғʀɪᴇɴᴅs ᴡɪʟʟ ᴀʟᴡᴀʏs ʀᴇᴍᴀɪɴ
PERNYATAAN pihak sekolah telah dirilis secara resmi.
Pengumuman diedarkan, surat dikirim secara diam-diam oleh para wali kelas―nyaris meninggalkan kesan bahwa mereka ialah sekelompok tahanan alih-alih siswa, dan berbagai berita dipublikasikan dimana-mana. Ada banyak bisikan, makian, celaan yang juga disebarkan secara luas. Semua ada dimana-mana: ditulis pada secarik kertas catatan yang ditempel pada loker, ditulis dengan tinta permanen di atas bangkunya―bangku yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, bahkan diucapkan secara terang-terangan oleh para siswa.
Semua tak jauh-jauh tentang dirinya: tentang pemuda berperawakan atletis yang tak lebih dari sekadar penyiksa gadis, tentang salah satu anggota 'Putra Mahkota' yang dihormati sebagai prince charming tapi kelakuannya sebusuk bangkai tikus di jalan.
Tentang dirinya, yang merupakan sebuah kegagalan.
Oh, percayalah, Hong Jisoo sudah kelewat hafal atas setiap makian yang dilayangkan orang. Menyakiti hati? Sedikit. Menyakiti ego? Banyak, luar biasa menyakitkan, malah. Pemuda itu sering tertawa sarkas saat melihat tim basket yang dulu dibantunya kini malah memalingkan muka, berpura-pura tak saling mengenal sebab takut ikut dimusuhi satu sekolah kalau berteman dengan pecundang sepertinya. Banyak ancaman yang dikirimkan dengan nomor tak dikenal lewat ponsel, yang langsung Jisoo blokir tanpa dibaca.
Menyikapi masalah ini, ayahnya pun hanya bungkam. Tidak marah, tidak menangis, tidak murka atau berteriak padanya seperti yang Tuan Chwe lakukan pada Hansol. Namun entah harus merutuk atau bersyukur, Jisoo malah menemukan diri semakin gelisah oleh respon ayahnya yang tidak biasa. Pria itu malah berkata, "Kalau memang kau harus keluar, maka keluarlah sebagai seorang pria. Tetap hadiri kelas sampai hari terakhirmu benar-benar tiba. Jangan seperti dua temanmu yang pengecut itu." Jeda beberapa detik, Tuan Hong kembali menyesap rokoknya santai sebelum melanjutkan, "jangan khawatir tentang masa depan. Aku akan mengirimmu ke Singapura, kau tetap akan diterima di sana."
Jisoo hanya dapat tersenyum masam, kembali memandangi meja kayunya yang kini diukir oleh berbagai macam rutukan. Iblis, lalu di sudut lain berbunyi, Dasar pria berengsek!. Ia harus menahan ini selama tujuh hari ke depan.
Ah, tujuh hari penuh siksaan layaknya neraka.
Tujuh hari harus menahan lirikan siswa, makian mereka, bahkan ludah yang dilemparkan terang-terangan.
Sekolah sudah memberika keputusan―lagi-lagi, entah harus disyukuri atau dirutuki. Ia dikeluarkan. Ia bersama dengan sahabat-sahabatnya, Minghao dan Hansol, atas berbagai macam sikap merugikan sekolah. Membawa minuman keras, melakukan penyiksaan dan perundungan terhadap banyak siswa, membolos banyak kelas dan tidak ikut pelajaran.
Jisoo tertawa pahit. Kerongkongannya kering. Poin terakhir memang tidak ditujukan untuknya―ia masih ingat seluruh nilai akhir rapotnya mendapatkan nilai A. Namun, sebuah penilaian tetap ialah penilaian. Sekali melakukan kesalahan, penghakiman tersebut akan terus ditempel pada keningmu tak peduli kebenarannya.
Ia toh salah satu anggota dari putra mahkota.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya?"
Suara Minghao menyalak dari seberang telepon, seketika berhasil merebut kembali atensi serta menghapus jauh-jauh lamunannya. Jisoo berdeham, entah mengapa suaranya masih terdengar serak kala berkata, "Begitulah. Keluar dari sekolah, keluar dari Seoul, keluar dari Korea." Ia tertawa pahit. "Aku juga tak punya banyak pilihan."
"Kau masih beruntung punya ayah dermawan begitu. Papaku pelit setengah mati, tiap hari malah meneriakiku sebagai pembuat onar. Sialan, padahal aku melihat dia banyak membuang uang untuk si jalang itu."
Jisoo tak menyahut, memilih untuk bungkam dibanding harus mencampuri urusan internal keluarga Minghao. Telah menjadi rahasia umum bahwa ayah Minghao hobi berselingkuh, memiliki satu (atau mungkin lebih) perempuan simpanan yang tinggal di kota berbeda. Ibu Minghao tak pernah ambil pusing soal ini―walau Minghao sendiri yakin bahwa ibunya tidak sebodoh itu untuk mengendus jejak perselingkuhan sang suami. Hanya sedari awal, keduanya tak saling mencintai. Ibu Minghao menikahi pria itu hanya demi harta, ayah Minghao menikahi istrinya dulu demi nafsu semata―yang perlahan termakan waktu dan pudar.
Jisoo bersumpah, kalau ia berada di posisi Tuan Xu dan berkesempatan untuk meminang Hyeera sebagai sang istri, ia tak bakal mencari perempuan lain lagi.
Ah, Hyera. Itu jadi mengingatkannya akan konversasi mereka yang terakhir. Putus. Ia sudah pergi, kau tak perlu berharap lagi.
"Ayahku menyuruh untuk tinggal bersama keluarga di Ansan. Tapi kau tahu sendiri pamanku galak bukan main. Hansol juga sialan, masa-masa begini malah menghilang begitu saja. Mungkin dia sibuk membuat konferensi pers apalah itu untuk menyelamatkan kariernya." Minghao mendengkus, dari kejauhan Jisoo dapat membayangkan ekspresi lawan bicaranya: memberengut dan mencibir. "Ngomong-ngomong, kau sudah menemui gadis itu?"
Jisoo merasa tenggorokannya tersekat. "Belum," sahutnya, datar. "Lagipula, apa yang mau dibicarakan? Aku yakin kita sudah selesai."
"Entahlah, mungkin kalimat perpisahan?"
"Dia tidak akan mau mendengar."
Terdengar dengkusan di seberang telepon. "Setidaknya kau telah mencoba. Dengar, ya. Aku sudah berteman denganmu belasan tahun, Idiot. Dan baru kali ini kau benar-benar terikat pada seorang wanita. Well, tapi harus diakui cara pacaranmu dulu tidak benar, Bro. Terlalu posesif, terlalu banyak kekerasan. Tapi, setidaknya kau telah mengakui kesalahanmu. Lalu, bagaimana? Apa kau akan menyerah sekarang?"
Jisoo hanya tertawa pahit. Cengkraman pada ponselnya menguat, ia kembali menyesap kopi untuk menenangkan diri, tapi jantungnya malah semakin berdebar. Ngilu, pilu, nyeri. Semua teraduk menjadi satu. "Tidak, aku tidak akan pernah menyerah."
"Bagus," sahut Minghao. "Kalau begitu, ucapkan perpisahan padanya. Aku juga rindu pada Hyera, ia salah satu teman perempuan terbaik yang pernah kupunya."
Panggilan berakhir. Jisoo hanya dapat menghela napas, melirik jam tangannya. Pukul setengah dua siang. Ini adalah hari terakhirnya sekolah. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh harinya dengan pelajaran, ia akan berkeliling ke tempat-tempat memorinya di sini, mengenang seluruh kenangannya bersama sahabat, teman, dan gadis itu, sebelum benar-benar pergi. Sebelum membuka lembaran baru di negeri yang baru.
Ia berdiri, namun terkejut ketika seseorang menghalangi langkahnya tiba-tiba. Seorang gadis dengan iris gelap, surai hitam yang membelai leher, dan seulas senyum kecil yang tampak ragu namun tulus.
"Keberatan untuk jalan-jalan, Hong Jisoo?"
***
Dulu sekali, taman sekolah merupakan tempat favoritnya kedua setelah atap. Di sini sepi. Semilir angin bertiup sepoi-sepoi, perlahan menerbangkan anak surai dan menyentuh kulit. Dulu sekali pula, Jisoo sering diam-diam memotret Hyera di taman. Lalu gadis itu akan memberengut, memaksa foto itu agar cepat dihapus, tapi Jisoo hanya semakin menggodanya.
Dulu, ketika semuanya masih baik-baik saja.
Kini pemuda itu hanya termenung menatap aspal yang mengering. Bunga-bunga di dalam pot sekolah layu, barangkali petugas piket mengabaikan kewajibannya untuk menyiram. Padahal program OSIS untuk menjaga lingkungan sedang digencarkan hebat-hebat. Biarlah, toh tahun depan, itu bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.
Tahun depan toh ia tidak akan menginjakkan kaki di sini.
"Kau sering mengajakku kemari," Hyera tiba-tiba mengangkat suara―lantas membuyarkan lamunan sang pemuda. "Dulu saat SMP sepulang sekolah. Aku malas pulang ke rumah dan kau akan mengajakku ke café. Tapi sebab letaknya yang terlalu jauh, kau memilih untuk memesan makanan secara online dan kita akan makan di sini. Kau ingat?"
Jisoo tersenyum getir. "Tentu saja," sahutnya serak―bagaimana aku bisa lupa?
Hyera tersenyum, sejenak sukses membuat Jisoo terpana. Pemuda itu menyadari, ada banyak perubahan pada mantan gadisnya itu. Surai yang dulu bewarna-warni kini dicat hitam sepenuhnya, wajah yang dulu penuh oleh taburan riasan kini tidak diapa-apakan, menampilkan sisi polos dan naturalnya sebagai seorang siswa. Juga, pakaian. Seragam yang dulu sering dikecilkan, rok yang dulu sengaja dipendekkan dan diketatkan, kini terpasang pas di tubuh. Sempurna.
Entah mengapa, Yeo Hyera yang sekarang jauh tampak elegan dibanding yang dulu. Seolah-olah, kini ia menunjukkan sisinya yang sebenarnya.
"Tumben sekali kau membolos siang-siang begini."
Jisoo mendongak, mempertemukan irisnya dengan iris lawan bicara. "Siapa yang mau hari terakhirnya di sekolah diisi oleh pembelajaran?" Ia mengendikkan bahu. "Membolos atau tidak, toh nanti aku akan tetap dikeluarkan."
Sejenak hening menyapu. Hyera tidak berkata apapun. Kepalanya penuh oleh banyak perkiraan dan dugaan, banyak kata-kata dan nasihat. Namun, apa semua itu akan berguna? Apa semua itu akan mendorong Jisoo untuk keluar dari masa kelamnya?
"Kau tahu, Jisoo, aku tidak―"
"Kau tidak bermaksud untuk mengeluarkanku, aku tahu."
Hyera mengerjap.
Jisoo melanjutkan, "Aku pun tahu sumber informan Seungcheol dan Seokmin adalah kau. Aku juga tahu kau sedang dekat dengan Jihoon akhir-akhir ini." Ia menatap mata lawan bicara. "Aku sudah tahu semuanya."
"Jisoo, dengarー"
"Tapi, kau tahu bagian menariknya, Hyera?" Jisoo tertawa pahit, mengamati reruntuhan daun yang terbawa angin. "Anehnya aku tidak merasa sedih saat tahu akan dikeluarkan. Anehnya, aku juga tidak merasa malu dicela dan dicap sebagai pria tak berperikemanusiaan. Mungkin, mungkin saja kalau aku tahu bahwa aku dulu menyakitimu ... tapi aku terlalu egois."
Hyera bungkam, seketika kehilangan kata-kata.
"Aku hanya takut, terlalu takut, kalau seseorang akan mengambilmu. Kalau kau akan jatuh pada orang lain. Kalau aku tidak menunjukkan cinta yang besar padamu, kau tidak akan menurut padaku."
Hyera menyahut pelan, "Kau tahu itu bukan cinta."
Jisoo tersenyum, mendadak bertanya-tanya memang kalau ia tahu sekarang, ap aitu akan mengubah semuanya? Persahabatan mereka telah kandas oleh keegoisannya sendiri. Kemudian, hubungannya dengan gadis yang ia cintai "Tidak, yang kutahu cinta sesempit itu."
"Tidak, kau tahu cinta tidak sesempit itu."
Keduanya kemudian dikejutkan oleh suara tersebut. Kala menoleh, Jisoo dapat melihat Jihoon melangkah ke arahnya, berdiri di samping Hyera dengan mata sipit menatap nyalang seperti yang pemuda itu sering lakukan. "Sejauh yang kukenal, Jisoo pintar tidak akan sebodoh itu mendefinsikan arti cinta."
Jisoo tertawa sinis. "Kau puas sebab pemuda yang terkenal pintar itu kini harus didepak sekolah?"
Jihoon memasukkan kedua telapak tangan dalam saku celana. "Aku tidak akan pernah puas, sebab orang itu selalu berada di peringkat pertama. Aku tidak pernah bisa mengalahkannya."
"Oh, ayolah." Jisoo memutar bola mata. "Kau pikir ini lucu?"
Jihoon tidak tertawa.
Namun Jisoo, suaranya mengandung getir saat melanjutkan, "Kau punya segalanya sekarang. Peringkat, reputasi, teman, juga Hyera."
Hyera memperingati, "Perhatikan kata-katamu, Jisoo!"
"Kenapa? Apa aku salah?" Jisoo membalas sinis. "Atau kalian memang sengaja mendatangiku untuk menertawaiku bersama? Bahwa seorang teman kalian telah gagal?" Ia menjeda, tertawa sarkas. "Oh, salah. Mantan teman, maaf."
Jihoon tetap tidak mengatakan apapun. Hyera hanya menatapnya sendu.
Saat itu air mata Jisoo tumpah. Ia merasa payah; benar-benar payah. Sejak SMP, bertahun-tahun, pemuda itu mencari cara agar lebih unggul dari Jihoon. Kenapa Jihoon lebih bahagia? Kenapa Jihoon lebih dekat dengan Hyera? Kenapa Jihoon, yang datang dari desa dan miskin itu, memiliki lebih banyak teman?
Hidup memang tidak adil.
Namun di tengah itu, Jihoon malah memeluknya. Mengabaikan semua perkataan Jisoo, ia hanya berucap singkat, "Semoga kau lebih bahagia di sana."
Jisoo terenyuh. Ia ingin melawan, ingin meninju Jihoon sebab menghinanya, tetapi seluruh kata-kata tak bisa keluar. Tubuhnya terasa kaku luar biasa. Malahan, pemuda itu hanyut, meleleh dalam pelukan Jihoon.
Di belakang mereka, Hyera ikut tersenyum. Hatinya pun ikut mencelus.
Di bawah angin musim panas dan terik surya, kalimat Jihoon menjadi penutup yang manis dalam kisah persahabatan mereka, "Belajarlah dari kesalahanmu. Temukan kebahagiaanmu, carilah teman dan sahabatmu sendiriーyang dapat memperlakukanmu dengan baik, dan perlakukanlah mereka dengan baik pula." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top