・ғ ʟ ᴀ s ʜ ʙ ᴀ ᴄ ᴋ

( r e c a l l t h e m e m o r y )





❛ flashback ❜

"AKU menyukaimu."

Tepi atap sekolah. Malam yang sepi. Keheningan yang mencekik. Nyaris untuk beberapa alasan, Hyera ingat isi kepalanya seolah baru diletuskan mesiu mendadak kala kalimat tersebut bergaung keras dalam benak. Hanya dua kata; hanya dua sekon yang bergulir lambat. Gadis itu harap setelahnya ada buncahan tawaーia benar-benar berharap lawan bicaranya mengibas tangan dan berkata dengan nada bercanda, "Kau terkejut sekali. Jangan mudah percaya. Mana mungkin aku menyukai sahabatku sendiri?"

Namun berdiri di sana, menatap lurus iris gelap sang pemuda yang berkaca-kaca di bawah sinar rembulan, Hyera lantas sadar bahwa ini bukan candaan belaka.

Hong Jisoo tidak pernah seserius ini sebelumnya.

Hyera tertawa lirih, masih berusaha menentang fakta dengan berkata, "A-apa yang kau bicarakan? Gombalanmu tidak berpengaruh padaku, tahu!"

"Kau masih berpikir aku bercanda?"

Si gadis bungkam. Kalah telak. Ini sama sekali bukan pertanda baik. Ia mengenal Hong Jisoo lebih baik dari orang lainーlebih dalam dari sekadar image 'pemuda ramah, kaya, dan sangat tampan yang selalu menjadi idaman tiap gadis'. Hyera sudah cukup lama berada di sisi pemuda itu untuk mengungkap sisi berbeda dari yang dilihat orang; sisi lain menyakitkan yang barangkali kasat mata bagi orang banyak.

Namun jelas, perihal menyimpan rasa sama sekali bukan urusannya.

Hong Jisoo adalah sahabat yang baik. Cukup, tidak lebih.

Jadi di sana, masih berusaha mengendalikan diri, si gadis menahan napas, merasa paru-parunya seolah dihantam ribuan ton beban kala mendengar lawan bicaranya kembali berujarーkali ini dengan penuh ketegasan, "Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Aku memendam perasaan ini sejak lama, karena ..." Jisoo menjeda. "Karena aku tahu kau memilih Jihoon."

"Kau mabuk berat." Hyera lantas berdiri, menarik lengan Jisoo walau si pemuda menolak. "Ayo kita pulang."

Jisoo malah tertawa sinis. Mata sayunya menatap lawan bicara lurus-lurus. Tetap di sana ada luka, rapuh, dan setengah rasa putus asa kala menyahut, "Kau selalu menghindar."

Seharusnya Hyera tidak menuruti ajakan pemuda itu untuk minum di atap sekolah malam-malam.

"Kau hanya memikirkan dirimu sendiri!" Jisoo terkekeh, kali ini pemuda itu ikut berdiri walau tubuhnya goyah, nyaris tumbang kalau saja Hyera tidak meraih lengannya cepat. Namun masih di sela ketidaksadarannya, kalimat Jisoo tetap dapat menjadi sehunus belati kala berujar, "Kau egois. Kau dan Jihoon sangat egois! Tidak ada satupun dari kalian yang memikirkan perasaanku! Tidak ada!"

"Bicaramu mulai ngelantur. Lebih baik kita puー"

Peristiwa sepersekon kemudian bagai gemeretak bara api dalam bilik memori. Seharusnya ia memang tidak mengiyakan ajakan Jisoo ke atap. Seharusnya memang Yeo Hyera percaya dengan suara hatinya. Bahkan, bila ada yang patut disalahkan atas retaknya persahabatan ini, Hyera yakin ia adalah orang yang tepat.

Ia adalah awal kehancuran dirinya sendiri.

Dua tahun lalu. Di atap sekolah, pukul sebelas malam. Berbalut seragam lusuh SMP dan udara dingin malam. Hyera yakin ia tidak akan pernah bisa lupa bagaimana Hong Jisoo yang setengah mabuk akibat menenggak nyaris empat botol soju kemudian menarik tubuhnya erat, mendekap si gadis dalam dekapan sebelum menempelkan bibirnya pada bibir Hyera.

Ciuman pertama.

Ciuman pertamanya diambil oleh Hong Jisooーpemuda yang bahkan tidak pernah ia pikirkan sebelum lelapnya tiap malam.

Namun gadis itu tak dapat melakukan apapun. Tubuhnya membeku. Kakinya seolah digembok kuat-kuat. Bibirnya terkatup rapat. Aroma shampoo Jisoo bercampur alkohol menguar. Rasa pahit soju menguasai lidah, bercampur dengan setitik rasa manis dari cokelat lewat bibir Jisoo.

Gadis itu ingin sekali mengelak. Ia tahu dorongan hatinya memilih untuk menolak. Ini tidak benar. Ciuman itu harus dilandaskan cinta, ciuman harus dilakukan oleh sepasang orang yang saling suka. Namun belum sempat Hyera memberontak, sebuah suara debuman dari belakang lantas membuatnya tersentak. Ciuman terputus. Jisoo segera menarik tubuh. Hyera menoleh horror.

Dan dugaannya benar.

Beberapa meter tepat di belakangnya, Lee Jihoon berdiri di sana, menatap dengan sorot mata beku. Satu pak cemilan yang pemuda itu beli di supermarket tergeletak di atas lantai atap. Bahkan tanpa menunggu penjelasan si gadis atau sahabatnya yang lain, Jihoon kemudian memilih pergi.

Meninggalkan dua sahabatnya sendiri.

Masa-masa kelulusan yang buruk. Malam yang pahit. Kenangan yang penuh oleh getir.

Hingga hari berikutnya terlewat. Dan beredar kabar bahwa Jihoon telah meninggalkan Seoul. Tanpa pamit, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan.

Tepat dua tahun silam pada malam Natal yang beku. Salju menuruni kota Seoul dengan deras. Hari itu Hyera sadar, segala keping rasa dan kekecewaannya ikut bertabur bersama tetes salju di luar. "Kau lihat?" Suara serak Jisoo berputar dalam benak. "Jihoon tak lebih dari seorang pengkhianat. Ia bahkan pergi tanpa berpamitanーseolah kita tidak berarti. Seolah baginya, kita hanya segelintir orang asing. Lantas apa yang kau harapkan darinya?"

Apa yang ia harapkan?

Sampai dua tahun berlalu. Sampai ia memutuskan untuk mengubur kenangan pasal Jihoon rapat-rapat, sampai Hyera menginjak SMA dan mengubah dirinya seratus delapan puluh derajat.

Bahkan sampai kemarin, kala Jihoon mendadak menjadi hero kesiangan dan membelanya di kapal feriーdi depan JisooーHyera masih tetap tak mengerti apa yang dirinya harapkan dari seorang Lee Jihoon

Bukankah seluruh kenangan itu seharusnya mati dan terkubur rapat-rapat? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top