・ғ ɪ ɢ ʜ ᴛ ғ ᴏ ʀ ᴛ ʜ ᴇ ᴛ ʀ ᴜ ᴛ ʜ

"KEPARAT GILA SIALAN! Siapa yang berani-beraninya menyebarkan berita tolol semacam itu, hah?!!"

Memandang tabloid di depan wajah dengan tatapan horor, Minghao dapat merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Tenggorokannya tersekat. Lidahnya penuh rasa getir. Pemuda itu lantas mencengkram ujung meja, tertatih untuk meraih segelas air sebelum menenggaknya rakus. Rasa heran, mencekam, juga tak percaya―semua sukses bercampur dan mengaduk rata isi perut. Satu dengkusan keras, sebelum mulutnya berucap penuh sangkalan, "Tidak, tidak, ini tidak mungkin ...."

Hansol mencengkram ponsel dan merutuk keras-keras.

Sementara di sudut ruangan, Jisoo―yang sedari tadi bungkamーkini malah tertawa sumbang. "Benar-benar tidak masuk akal," desisnya. Pemuda itu menyugar surai frustrasi, beralih menatap Minghao dan berkata, "Kau tidak membayarnya lagi, huh? Dua orang payah itu ... teman Jihoon dan Seungkwan. Kenapa kau tidak membayar mereka saja untuk membuat berita klarifikasi?"

Seolah baru mendengar sebuah ide brilian, Hansol segera menoleh pada Minghao. "Jisoo benar!" Ia berdiri dengan tergesa, sempat melirik ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama 'Ayah' sebelum melemparnya asal ke atas sofa. "Berikan aku nomor Seungkwan. Aku tak peduli berapa banyak uang yang akan kukeluarkan, yang penting reputasiku kembali."

"Tidak semudah itu, Sialan," sahut Minghao, "kau pikir semua masalah akan selesai begitu saja? Ini sosial media, bukan web sekolah! Kau pikir satu klarifikasi dari Seungkwan bisa menyelesaikan semuanya?"

"Apa maksudnya itu?" Hansol menyipitkan mata. Kejadian satu detik selanjutnya lantas membuat Jisoo nyaris tersedak ludahnya sendiri. Tanpa aba-aba atau tanda apapun, Hansol lantas maju dan mencengkram kera baju Minghao dengan kasar. Tatapannya melayang murka, urat lehernya tampak jelas bahkan ketegangan dan ketakutan tergambar jelas lewat kedua irisnya. "Berita tentang kita sudah tersebar luas. Dan kau masih berkata bahwa ini tak mudah? Tidak ada yang mudah di sini, IDIOT!"

Minghao balas berteriak, "Kau lupa siapa yang mencetuskan ide bodoh itu?! Jangan seenaknya menyalahkanku kalau kita semua tahu bahwa kita bersalah!"

Hansol berdecih, mendorong Minghao seraya melepas cengkramannya. Ia menghela napas frustrasi, berulang kali merutuk di bawah lidah. Di atas meja ponselnya tak berhenti bergetar. Saat pemuda itu melirik sebentar, rutukannya terlepas dari mulut. "Bagus. Ayahku akan membunuhku sekarang."

"Kau harus mengangkatnya," kata Jisoo, mengerutkan kening tak setuju kala Hansol malah mematikan ponsel dan melemparnya di atas kasur. "Tuan Chwe bisa mencari dalang di balik ini. Kita bisa memberi mereka pelajaranー"

"Tidak perlu," tukas Hansol. Pemuda itu meraih jaket kulit dari gantungan, memasang masker hitam dan kacamata. "Aku sudah tahu siapa pelakunya."

Minghao menoleh. Bibirnya gemetar kala berkata, "Tidak ... apa mungkin Kim Mingyu yang melakukan semua ini?"

"Tidak mungkin," balas Jisoo, mencoba untuk berpikir rasional di tengah kalutnya pikiran. "Mingyu tidak pernah tahu kehidupan malam kita. Namun foto itu menyebarkan semuanya ... bahkan fakta bahwa Hansol sering bermain di klub malam. Bahwa Minghao memegang kendali penuh atas web sekolah. Juga kabar bahwa aku telah putus dengan Hyera."

"Apa mungkin ..." Minghao menggigit bibir sejenak. "Apa mungkin ini Yeo Hyera?"

Jisoo lantas bungkam, ekspresi wajahnya berubah dalam sepersekian sekon yang kelewat singkat. "Tidak mungkin," jawabnya dingin, "Hyera tidak mungkin melakukan itu."

Hansol berdecih. "Tidak. Bukan mereka." Jemarinya mengepal di samping tubuh. Matanya menatap nyalang pada ponsel yang terus berdering. "Aku tahu siapa pelaku sesungguhnya."

***

Choi Seungcheol tidak pernah menganggap dirinya pintar.

Well, itu bukan berarti ia tak pernah ingin dianggap pintar. Penilaian manusia itu cukup diperhitungkan, kau tahu? Walau hanya sekadar pujian atau ungkapan 'selamat'. Atau kalau sekarang, diawali basa-basi singkat seperti, 'Ah, Seungcheol. Aku iri padamu.'

Nyaris semua hal ia lakukan untuk membuat dirinya tampak mengagumkan. Inilah mengapa Seungcheol paling suka kisah drama yang mengisahkan seorang tukuh cupu yang kemudian menjadi hero dan dikagumi sekaligus disegani para musuh. Namun seiring bertambahnya usia dan semakin banyak pengalaman yang ia kecap dalam hidup, Seungcheol rasa, mendapat pengakuan orang nyatanya tidak sekeren itu.

Ada banyak contoh nyata, dimana Seungcheol menjadi saksi langsung atas keserakahan sekaligus rasa tak puas manusia.

Mengapa kita butuh pengakuan? Mengapa kita ingin sekali dipuji orang? Mengapa kita semua butuh itu kalau kita tahu nilai diri kita yang mahal?

Mengapa?

Seungcheol hanya percaya, tiap manusia dapat menjadi 'hero' dalam kisahnya masing-masingーwalau itu berarti, ia harus bekerja dalam diam.

"Kau yakin ini tidak akan menimbulkan masalah besar?"

Lamunanya buyar. Seungcheol menatap layar laptop di hadapannya, beralih pada Seokmin yang kini menelan ludah gelisah. "Kau sendiri yang berkata ingin balas dendam. Ini satu-satunya cara, Seokmin."

"Bukan balas dendam," desis Seokmin. Pemuda itu kemudian menunduk, menatap jemarinya yang saling terkait di atas paha. "Hanya mengungkap kebenaran."

"Dan bagaimana kau akan mengungkap kebenaran bila semua orang percaya dengan kebohongan?" Seungcheol mengangkat alis. Saat Seokmin hanya diam, pemuda itu mengangguk dan melanjutkan, "Satu-satunya cara untuk mengalahkan seseorang yang terkenal adalah menamparnya dengan media." Ia diam sejenak, menoleh ke sekeliling perpustakaan dan memastikan bahwa tidak ada siswa yang menguping sebelum mendekat pada lawan bicara dan berbisik, "Hansol bisa saja membungkam sekolah bila kau langsung melapor."

Kalimat terakhir sukses membuat Seokmin bergidik. Ia tidak mengenal Seungcheol dengan dekat sebelumnyaーselain dari fakta bahwa pemuda itu pernah menjadi salah satu 'tameng'-nya saat Wonwoo marah sebab masalah pancake beberapa bulan lalu. Seokmin juga tahu bahwa akhir-akhir ini Seungcheol sering bergaul dengan Jun dan Lee Chan.

Namun pertengkaran itu ...

Ah. Pemuda itu mengedip, tertampar oleh sebuah fakta yang langsung membuat ia lantas mengeraskan rahang. "Katakan, apa kau ingin melindungi mereka?"

Seungcheol mengernyit tak paham. "Melindungi mereka?" beonya, berusaha menjaga volume suaranya agar tetap terjaga. Perpustakaan telah menjadi 'markas' diskusi mereka dan ia tak mungkin akan mengacaukan seluruh rencananya hanya sebab kesalahan konyol.

Namun di sisi berbeda, Seokmin sudah memandang skeptis, tak peduli fakta bahwa mereka ada di perpustakaan sekarang. "Kau tidak ingin aku melapor pada guru supaya Jun dan Lee Chan aman dari hukuman, bukan?"

Seungcheol menatap terluka. "Selama ini kau pikir begitu?" Pemuda itu tersenyum kecut. "Kalau aku ingin benar-benar melindungi temanku, maka hari pertama saat aku tahu tahu mereka melakukan itu, aku akan langsung melaporkannya pada guru."

"Hah?" Seokmin mengernyit tak paham. "Itu akan membuat mereka masuk ruang detensiーkau tahu itu."

"Bila temanmu akan terjun ke jurang, apa kau akan membiarkannya? Bila aku tahu temanku akan menjadi monster, apa aku akan diam begitu saja?"

Kalimat Seungcheol bagai gong yang langsung terpukul dalam gendang telinga Seokmin. Pemuda itu terpaku, sejenak kehilangan kata-kata. Ia takt ahu Seungcheol bisa sedewasa ini. Memang, pemuda itu terkenal rendah hati, tak pernah meninggikan nada bicara atau menyalak pada orang lain. Namun ia juga bukan orang yang mencolok, bukan siswa baik yang terkenal layaknya Jisoo atau Wonwoo.

Namun menggali lebih dalam, Choi Seungcheol lebih dari pada itu.

Seokmin mendadak merasa miris pada diri sendiri, "Aku malu denganmu."

"Apa?"

Seokmin menundukkan kepala. Rasa gelisah itu kini kembali datang dan menghantui isi kepalanya lagi. Kekhawatiran yang sama yang dulu pernah bercokol dalam benak kini kembali mengganjal hatinya. "Aku tidak pantas disebut sebagai teman. Baik oleh Mingyu, baik oleh siapapun. Aku bahkan tak berbuat apa-apa saat Mingyu dikeroyok habis-habisan oleh Hansol dan teman-temannya."

Hening menyambut. Seungcheol hanya dapat menghela napas dan menguatkan lawan bicara dengan tepukan singkat di bahu. Barangkali, ini salah satu alasan mengapa ia memilih sudut perpustakaan menjadi markas rahasianya dengan Seokmin. Selain sebab lokasi ini strategis untuk mendapat koneksi internet, juga sebab keheningan cepat merasuk dan tidak aka nada siswa yang tahu.

Hanya untuk sekali ini, Seungcheol mendengar pujian yang begitu menyayat hatinya kala mendengar Seokmin kemudian berujar, "Aku ingin menjadi berani. Berani untuk berkata tidak, berani untuk memberontak pada sesuatu yang terlihat salah. Kau tahu, sepertimu."

Seungcheol hanya dapat tersenyum miris. Kalimat Lee Chan sempat terulas lagi dalam benaknya; "Fakta bahwa kau sekarang membuka suara soal 'perbuatan jahat' setelah dulu setuju bahkan ikut bergabung dengan kami hanya menunjukkan betapa fanatik dirimu."

Apa benar ia layak untuk mendapat pujian itu?

Sebab tentu Seungcheol masih ingat, bahwa kendati ia menjadi sok pahlawan dengan menyebarkan berita ketiga 'putra mahkota' di internet, ia masih tetap si pengecut yang sama, yang memilih untuk mengubur rahasia Jun rapat-rapat.

Demi satu hal; teman. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top