・ʟ ᴇ ᴛ ' s ᴅ ᴏ ᴛ ʜ ɪ s
✢✩✢✩✢
◤◥
◣◢
( l e t ' s d o t h i s )
"KAU bilang, ada tempat indah yang ingin kau tunjukkan." Areum menoleh sekeliling, mengeratkan jaket sementara sang lawan bicara yang berdiri beberapa meter di hadapannya menoleh sekilas. "Apa kita masih jauh dari destinasi itu?"
Hansol menyugar surai, langkahnya refleks terhenti mendengar suara Areum. Barangkali melihat gadisnnya berjalan tak tentu arah kembali membakar semangat sang pemuda, apalagi kala melihat betapa gelap cakrawala yang memeluk, tiupan angin yang samar-samar menyentuh kulit, serta suara merdu si jangkrik. Selama nyaris dua puluh menit terakhir, keduanya berjalan melewati padang rumput luas yang jauh dari vila. Semakin dalam, semakin jauh dari pandangan.
Bukankah ini sempurna?
Hnasol menyeringai diam-diam. Ia harus menraktir Hong Jisoo yang telah merekomendasikan tempat ini padanya, juga pada sekolah yang kemudian menyamarkannya sebagai 'tur studi'. Trip sekolah memang hal paling konyol sedunia. Memang siapa yang mendanai seratus siswa pergi ke luar pulau dan menginap tiga hari dua malam? Memang siapa yang menyewakan vila berfasilitas dengan harga yang relatif murah?
Sekolah jelas tak dapat mengusahakan itu tanpa bantuan seorang penguasa. Barangkali ia harus berterima kasih langsung pada Tuan Hongーpria itu tidak pernah tanggung-tanggung dalam mengabulkan permintaan putra tunggalnya.
Hong Jisoo seharusnya bersyukur memiliki ayah semurah hati itu.
"Kau tidak mengajakku ke hutan, 'kan?"
Suara Areum kembali menampar kesadarannya. Kali ini Hansol bernar-benar berbalik, menatap lurus-lurus netra kelabu yang kini mulai menyipit skeptis. "Kau pikir aku mau menyusahkan diri sendiri dan mengajakmu pergi ke hutan tengah malam?"
Sesaat, Areum tidak menyahut. Tidak pula berhenti menatap lawan bicara. Gadis itu berhenti melangkah, kembali menoleh dan sadar bahwa ia berada di tengah padang belantara. Tidak ada lagi bangunan atau rumah, tidak ada lagi taman bunga atau pilar kayu. Hanya tersisa rumput, ilalang, suara serangga.
Mereka benar-benar telah jauh dari vila.
"Kita harus kembali."
Hansol menaikkan alis. "Kalau kau kembali sekarang, Tuan Kim akan tahu kau menyelinap dari kamar tengah malam. Dan kau akan dihukum berat. Atau barangkali, menjadi bahan bualan siswa lain." Pemuda itu tersenyum miring. Memasukkan dua telapak tangan dalam saku celana sebelum kembali menyahut percaya diri, "Lagipula Han Areum, apa kau yakin kau bisa kembali ke vila setelah kita melewati jalan berliku tadi?"
Skakmat. Kalah telak. Areum mengerjap, mulai menelan saliva resah. Tidak, bukan perkara hukuman dari Tuan Kim yang ia takutkan, atau ledakan gosip para siswa saat melihatnya pulang tengah malamーpersetan, ia tidak peduli hal-hal kecil semacam itu. Namun poin terakhir Hansol mampu membuat hatinya mencelus. Benar. Selama nyaris tiga puluh menit, Hansol membawanya berjalan menyusuri jalan tikus, melewati beberapa belokan dan jembatan kayu kecil sebelum sampai ke padang rumput luas.
Bahkan saat menoleh ke belakang, Areum tak lagi dapat mengingat jalur mana yang Hansol ambil sebelum sampai ke sini.
Sudah sejauh apa mereka?
Gadis itu menghela napas, mengusap wajah setengah gusar. Masih berusaha untuk meredam kepala agar tak berpikir macam-macam, tanpa menunggu lama ia menyahut, "Lantas untuk apa kau mengajakku kemari? Malam-malam di padang rumput yang sepi?"
Hansol menyeringai. Ia tak langsung menjawab, kian lama kian berjalan mendekat ke arah lawan bicara. "Menurutmu tempat ini sepi, huh?"
Areum mundur selangkah. Gadis itu mengalihkan pandang, mengepal tangan dan berkata dengan penuh penekanan, "Aku ingin kembali. Sekarang."
Han Areum dapat merasakan sensasi ngeri merayapi tiap inci kulit. Kendati ia masih dapat berdiri tegak, namun diam-diam jemarinya bergetar.
Malam-malam di padang rumput yang sepi. Berdua dengan lelaki. Jauh dari villa.
Tidak, tidak. Hansol tidak akan mungkin melakukan itu.
Benar, 'kan ...?
"Kau memikirkan hal yang kupikirkan, Areum." Hansol tertawa.
"Dengar, Chwe Hansol. Aku ingin pulang. Sekarang. Atauー"
"Atau kau akan teriak? Atau melawanku?" Hansol terbahak keras. Seolah perkataan Areum barusan merupakan lelucon konyol sepanjang masa. "Kau tahu, Minghao pernah mengatakan bahwa gadis yang dikenal pintar di kelas rawan untuk bertindak bodoh bila berhadapan dengan pria. Agaknya kau juga mengalami hal serupa." Selanjutnya, bagai ditelan mimpi buruk, Areum dapat merasa tanpa aba-aba atau peringatan sedikitpun Hansol lantas menarik tangannya cepat, dalam sepersekon lantas merubuhkan tubuh sang perempuan dan menindihnya di atas rerumputan.
Areum memekik. Tubuhnya rubuh, kedua pahanya diduduki sang pemuda. "Sial! Ja-jangan macam-macam! Jangan macam-macam. Kau tidak tahu aku bisaー"
"Bisa apa, hm?" Hansol terkekeh girang, tampak puas dapat menaklukan perempuan sok satu ini. Kedua tangannya terlebih dulu menahan lengan Areum, menguncinya tepat di samping tubuh dan membuat mangsanya mati kutu. "Kau yakin kau bisa melawan kekuatankuーkekuatan seorang pria? Lagipula Sayang, tidak ada yang dapat mendengarmu di sini. Seharusnya kau tidak menerima ajakan pemuda asing untuk keluar malam-malam. Siap untuk hal terindah yang akan kutunjukkan, Princess?"
Areum menggigit lidah, menahan tangis. Ia ingin melawan, ia sungguh ingin melawan. Namun hal terburuk detik itu adalah kenyataan menyakitkan bahwa ucapan Hansol benar. Berkali-kali Areum mencoba menggeliat dan melepaskan diri, tapi dengan kedua tangan dicekal dan tubuh ditindih, ia jelas tidak bisa melakukan apa-apa.
"Tolong ... jangan lakukan." Matanya dirayapi perih. "Akan kulakukan apapunーapapun untukmu tapi jangan ini."
Hansol meludah, jelas tidak repot-repot menganggap serius permohonan tersebut. Matanya menatap tiap inci tubuh sang gadis lapar. Rasasanya benda di bawah sana sudah menegang dan sang pemuda siap untuk menyantap makan malamnya. Melihat Areumーgadis soko tau yang berani mengancamnya duluーberbaring lemah di hadapannya, memohon, merengek, bahkan merintih tepat di depannya semakin membangkitkan nafsu pemuda itu. Hansol paling senang melihat para gadis tunduk untuknya.
Hanya untuknya, bukan pemuda lain.
Tanpa pikir panjang, Hansol lantas mengecup bibir sang gadis, sementara satu tangannya menelusup di balik hoodie Areum. Si gadis terus menggeliat, berusaha bergerak sekuat tenaga tak peduli walau Hansol merutuk. Namun gerakan tersebut hanya memperparah amarah sang pemuda. Ia bahkan tak segan-segan menduduki perut Areum hingga gadis itu tak dapat bergerak.
Detik-detik selanjutnya bagai neraka. Seolah seseorang baru saja melempar lelehan lilin pada tubuh telanjangnya. Areum barangkali tidak akan pernah lupa kejadian itu; bagaimana jemari Hansol menari-nari di atas kulitnya, bagaimana bibir pemuda itu mengecup nyaris seluruh permukaan lehernya. Seharusnya ia bangga, bukan? Banyak gadis di luar sana berjuang menarik atensi Hansol, banyak siswi di kelasnya yang bahkan rela mengeluarkan uang dan tenaga agar namanya diingat oleh seorang Chwe Hansol.
Tapi, tidak.
Ini terasa tak benar.
"Kau berengsek, Hansol." Setetes air mata jatuh. "Kau tahu, kau adalah pemuda paling berengsek yang pernah kutemui."
Gerakannya terhenti. Hansol mengernyit tak senang, menatap kedua iris Areum dengan alis terangkat. "Aku rasa kau tidak kapok bermain-main dengan pemuda berengsek sepertiku, Areum."
Air mata mengalir lebih deras. Mulutnya kaku, bibirnya bergetar. Untuk sekali dalam hidup, Areum benar-benar berharap ini hanya segelintir mimpi buruk dan esok ia akan bangun dengan kesadaran baru. Namun saat awan kelabu, langit semakin menggelap dan ia mendengar suara Hansol mendesis di bawah telinganya, "Biar kutunjukkan padamu, seperti apa lelaki berengsek itu."
Pemuda itu bergerak semakin liar, tangannya dengan kasar menurunkan joger Areum. Namun bagai kilat petir yang menyambar mendadak, dari arah tak terduga seseorang menendang Hansol begtiu saja. Areum terengah, segera berdiri walau kedua matanya yang sembab masih mengerjap. Terkejut, takut, terlampau bingung. "SIALAN! JAUHKAN TANGAN KOTORMU DARINYA!"
Dan pemuda itu datang.
Pemuda bodoh yang Areum tak pernah pikirkan eksistensinya.
Kim Mingyu.
Mingyu menghajar Hansol mati-matian, melempar berbagai macam tinju dan membuat pemuda itu terkapar di atas rumput dengan wajah lebam dan bibir berdarah. Irisnya berkilat marah. Wajahnya dipenuhi peluh dan kerutan murka. Dan untuk terakhir kali sebelum Kim Mingyu menarik lengannya pergi, Areum nyaris tak memercayai telinga sendiri kala mendengar pemuda itu mendesis, "Rumor memang tidak pernah salah, Hansol. Kau bukan apa-apa selain pemuda berengsek sialan." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top