・ʜ ᴇ ʟ ʟ ᴏ, ᴍ ʏ ɢ ɪ ʀ ʟ
( H e l l o, m y g i r l )
°
•
°
•
°
TUR studi ke luar pulau adalah salah satu dari sekian banyak daftar kegiatan yang ingin ia lakukan semasa SMA.
Han Areum menatap buku hariannya miris. Bibirnya terkatup getir, giginya saling gemeretak menahan amarah, sementara gadis itu dapat merasa belaian angin samar-samar menyentuh wajah dari jendela yang terbuka.
Jangan mengeluh, jangan mengeluh.
Mengeluh tidak akan membantu siapapun, mengeluh hanya akan membuat suasana hati berantakan.
Areum lantas menutup buku hariannya dengan gerakan kasar, sempat menimbulkan bunyi 'bugh' pelan namun si gadis hanya mendengkus tak peduli. Tak lama ia beranjak dari posisi duduk, melipat meja kayu reotnya dan segera pergi keluar kamar. Tidak ada waktu untuk bersedih. Tidak ada waktu untuk terpaku menatap daftar 'aktivitas-yang-ingin-kucapai-selama-sma' dan menatap miris. Itu benar-benar tidak berguna.
Seharusnya sejak awal Areum sadar, tak ada banyak hal yang dapat ia lakukan tanpa dukungan finansial; tanpa uang.
Kini, gadis itu berjalan menuju dapur sehabis memastikan seluruh jemuran terangkat. Ia menyelipkan seragamnya di balik kasur lipatーteknik lama dari ibunya agar bajunya tidak terlihat kusut tanpa perlu disetrika. Jadi lebih menghemat biaya listrik. Jadi ia bisa menabung lebih banyak dan menjadi penyokong finansial keluarga. Itu salah satu cara membantu menekan pengeluaran rumah, kau tahu?
Areum menahan napas tanpa sadar. Tepat kala ia membuka kontainer di ujung dapur, ia tertawa nanar. Berasnya sisa sedikit.
Ah, itu jadi membawa kembali memori lama merebak dalam kepala. Seluruh kenangan mendadak terputar begitu saja, kembali memilin lambung dan menggiring lebih banyak luka memenuhi rongga hati.
Toh ini bukan kali pertama Areum membuka tempat beras dan harus melongos sebab isinya hanya tersisa sekepal tangan. Barangkali tidak akan cukup untuk mengisi perutnya dua hari kedepan, barangkali tak akan cukup untuk mengisi perut ayahnya yang terbaring di kasur rumah sakit, atau ibunya yang sejak pagi sudah pergi menjajakan jasa cuci.
Masa-masa sulit itu belum berlalu juga, rupanya.
Kendati dulu ayahnya sering sekali berkata, "Jangan biarkan keadaan ekonomi kita sekarang mendefinisikan siapa dirimu di masa depan kelak. Kau berhak bermimpi, Areum. Jauh setinggi langit, secantik kerlip bintang, bahkan seluas angkasa raya."
Areum ingat dirinya semasa kecil mengerjap penuh kekaguman. Benar, benar, untuk apa malu menjadi orang miskin? Ia masih punya rumah di pinggir kota, ia masih punya satu kasur empuk, beberapa potong gaun renda cantik pemberian bibi, juga beberapa porsi bibimbap yang lezat buatan ibu.
Akan tetapi, layaknya gulungan badai yang menghantam mimpi baik, seluruh angan dan harapan tersebut perlahan runtuh. Hancur. Remuk menjadi lembaran halus; berserak layaknya butiran debu. Beranjak dewasa, Areum sadar bahwa kasta sosial itu benar-benar nyata; bahwa uang, kekayaan, dan kehormatanーketiganya merupakan pilar dasar agar kau dapat dikenal.
Bahwa semua yang ayahnya katakan adalah kebohongan belaka.
Poin terakhir menyayat hatinya.
Gadis itu tertawa nanar. Namun atas segala usaha ayah untuk membuatnya bahagia, atas seluruh tetes keringat bahkan darah yang ayah korbankan untuk membuatnya sekolah, Han Areum tidak akanーdan barangkali tidak akan pernahーbisa menaruh rasa benci pada ayahnya. Sebab katakan, bagaimana kau membenci seseorang yang menghabiskan nyaris separuh waktu hidupnya untuk memperjuangkanmu?
Karena perjuangan mencari nafkah, kini ayahnya terbaring lemah di rumah sakit.
Semua itu hanya untuk Areum; untuk putri semata wayangnya.
Atas hal itulah, Areum menggeleng saat ibunya mendesaknya untuk mengikuti kegiatan tur studi. "Cari pengalaman sebanyak-banyaknya, Nak. Kau tahu kesempatan ini tidak akan terulang dua kali. Uang bisa dicari, tapi memori bersama teman-teman saat masa remaja belum tentu dapat kembali."
Tur studi ke Jeju bukanlah kegiatan gratis yang didanai sekolah. Harus ada sejumlah uang yang dibayar, dan Areum berpikir ada baiknya ia menekan pengeluaran untuk biaya rumah sakit ayah.
Benar. Untuk sekarang, tak ada hal lebih penting selain ayah. Ia bahkan rela menjual catatan pada Hansol, membiarkan pemuda itu memanggilnya kekasih, membawakan barang-barangnya di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumahnya sampai larut malam.
Tidak apa; semua ada imbalannya.
Intesitas kesadaran Areum kemudian menariknya kembali pada realita. Gadis itu menggeleng pelan, berusaha untuk menghapus ingatan-ingatan tersebut seraya membuka kulkas dan mengambil sekotak kimchi sisa dua hari lalu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, ia jelas tak ingin membuat Tuan Moon murka sebab terlambat shift pagi.
Namun kala Areum pergi ke luar rumah untuk membuang sekantong sampah, gadis itu mendadak dikejutkan oleh kedatangan sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah. Mengerutkan kening, sudah siap untuk melecutkan pembelaan kalau-kalau orang tersebut salah alamat, sepersekon kemudian Areum ternganga kala melihat sosok menyebalkan yang menjadi biang mimpi buruknya keluar.
Tersenyum penuh kemenangan. Sorot mata setajam candrasa, gadis itu tanpa sadar mengepal tangan kala mendengar pemuda di hadapannya berkata, "Ah, akhirnya aku menemukanmu, gadisku." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top