・ʜ ᴀ ʀ s ʜ ʙ ᴜ ᴛ ᴛ ʀ ᴜ ᴇ




( h a r s h b u t t r u e )

SEBUAH kebenaran pahit―yang selalu berusaha disangkal setengah mati namun tetap juga terjadi―adalah fakta bahwa tur studi sekolah selalu berujung pada kegagalan.

Well, tidak semua sekolah, tentunya. Entahlah. Atau memang, hanya sekolahnya yang payah. Jun mendengkus sinis. Memang sekolah macam apa yang mengadakan tur studi kalau mereka saja masih bergantung pada ekonomi keluarga Chwe? Gosip terbaru dari Lee Chan, sekolah mengandalkan uang Tuan Hongーayah Jisooーuntuk tur studi. Peduli setan, Jun terlampau muak. Kalau saja ia bisa melakukan hal yang sama layaknya tiga putra mahkota itu, mungkin sekarang ia pun tak perlu berpura-pura baik pada pecundang seperti Seungcheol. Ia tidak perlu berteman dengan si aneh itu hanya sebab takut rahasianya terbongkar.

Oh, tidak. Jangan salah sangka dulu. Bukannya keluarga Wen tak punya uang untuk menyuap sekolah demi peringkat putra sulungnya. Namun di balik itu, Jun tahu pasti bahwa perusahaan ayahnya masih sepenuhnya bergantung pada kompeni Tuan Chwe.

Dan akan menjadi sebuah 'bunuh diri' apabila dalam keadaan ini Jun berani menyuap sekolah. Hansol akan tahu. Jisoo yang pintar itu pun akan tahu. Dan terlebih Minghao yang dekat dengan Si Ember Seungkwan juga akan tahu.

Itulah kebodohan sesungguhnya.

Jun melepas earphone-nya kasar, menyugar surai dengan dengkusan lelah. Kini tepat dua puluh empat jam semenjak sampainya mereka ke Seoul. Tur studi ke Jeju berakhir payah. Perjalanan dilingkup hening, antusiasme seluruh siswa menguap habis sampai ke akar-akarnya. Tak ada gelak tawa, tak ada pula senandung riang atau bertukar cerita seru di bus.

Bahkan sebelum meninggalkan Jeju, Tuan Kim sempat memarahi satu angkatan atas 'kecelakaan' yang terjadi pada Mingyu. Pemuda itu ditemukan babak belur di belakang bangunan vila laki-laki tepat setelah malam barbeque.

Biang keroknya tak pasti dan tak lain hanya satu: Chwe Hansol.

Namun tak ada yang mengaku. Lebih tepaynya, tak ada yang berani mengaku. Seperti yang Jun telah duga, Kim Mingyu pun memilih untuk tutup mulut rapat-rapat.

Satu angkatan pulang dalam perasaan campur aduk. Jeju barangkali bukan tempat untuk mengukir kenangan indah. Jeju barangkali hanya akan menjadi satu tempat penuh getir yang terus menghantui memori para siswa.

Tidak selamanya tur studi menyenangkan.

Jun berhenti melangkah tepat kala merasakan getaran ponsel dalam saku seragamnya. Pemuda itu sempat melirik sekilas nama yang tertera, sebelum menggeser jempol di atas layar dan mendengkus malas. "Ada apa?"

Mendengar penjelasan orang di sebrang telepon, keningnya berkerut perlahan.

"Apa maksudnya ini?" Si pemuda tampak tak terima.

Dan belum habis satu menit, tak repot-repot mendengar penjelasan orang di seberang telepon, Jun sudah keburu menyahut tak suka, "Jadi ayah bilang, aku harus sering-sering menjilat Si Berengsek Hansol, begitu?!" Nadanya meninggi. Matanya refleks mendelik, walau tahu ia tak bisa menatap lawan bicara secara langsung sekarang. "Ayah rela aku menjadi budak orang lain hanya demi perusahaan ayah sendiri?!"

Ia merutuk keras-keras, hatinya sudah terlampau panas. Bahkan belum sempat ayahnya menjawab, Jun langsung mematikan ponsel secara sepihak. Sial, sial sekali. Hidup memang tidak adil. Seolah usahanya menjadi antek Hansol saat malam terakhir di Jeju−menuang soju, menyelipkan rokok dalam vila, bahkan ikut serta dalam pengeroyokan Mingyu―pagi ini ayahnya malah menelepon dengan nada menyedihkan dan memohon-mohon agar Jun terus bersikap baik pada Si Berengsek itu.

Memangnya ia apa? Antek murahan? Budak Hansol? Lelaki tanpa harga diri yang mau menjilat orang lain?

Bukan salahnya kalau perusahaan sang ayah nyaris bangkrut di tangan Tuan Chwe.

Jun menghela napas. Padahal jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi kepalanya sudah berkedut tak karuan, kedua tangannya mengepal dan jantungnya berdentum tak karuan. Sekolah akan mulai dalam lima belas menit lagi, ia jelas tak mau menodai predikat 'siswa teladan' hanya sebab perkara sepele ini.

"Wen Junhui!"

Ia spontan menoleh, mendapati Lee Chan dengan balutan sweater hitam modif berbalut celana bomber hitam tengah berlari ke arahnya. Alih-alih membawa tas, tangannya malah menggenggam sekaleng soda. Pemuda itu langsung mengacak rambut Jun ketika bertemu, namun temannya langsung menepis tak suka.

"Oh ayolah, Junie kesayanganku! Kau masih ke sekolah setelah trip sialan itu?"

Jun berdecak sinis, kembali membenarkan posisi ranselnya sebelum kembali melangkah. "Kau masih mabuk atau bagaimana? Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama menjijikkan itu!"

"Hei, itu nama yang bagus kau tahu?" kekeh Lee Chan, berlari kecil untuk menyeimbangi langkah Jun. "Ngomong-ngomong serius, kau tetap ke sekolah hari ini? Dengar-dengar, banyak yang tidak masuk sekolah. Mingyu, Wonwoo, bahkan mungkin Si Piranha Imut dari kelasmu. Gadis-gadis juga memilih membolos. Ayolah, tidak bisa sehari saja kau tidak pikirkan soal nilai dan rapot?"

"Tidak bisa," sergah Jun tajam. "Aku punya reputasi untuk dipertaruhkan. Bukan saatnya bermain-main sekarang."

Lee Chan mendengkus sinis. "Reputasi, katanya. Tapi berani menyelendupkan rokok dan miras dalam acara sekolah."

Langkah Jun refleks terhenti. "Apa kau bilang?"

"W-wo, santai saja, Bung!" Lee Chan mengangkat alis waspada, sedikit terkejut dengan respon Jun yang berlebihan. Ia kira 'pesta' malam itu benar-benar mengasyikkan. Jun pun tampak senang. Terlebih, mereka bisa bekerja sama dengan geng 'Putra Mahkota'. "Lagipula, kau juga menikmatinya, bukan? Chwe Hansol benar-benar baik telah mengajak kita hari itu."

Baik, katanya.

Baik.

Jun jadi ingin tertawa kencang-kencang. "Sudahlah," katanya, tak mau lagi terpancing emosi saat hendak masuk kelas begini. "Pergi saja kalau kau mau mencari gara-gara, aku sudah terlalu lelah untuk bertengkar."

Sejenak memandangi sahabatnya yang terus berjalan menjauh, Lee Chan nyaris melupakan sebuah fakta bahwa Jun adalah salah satu dari jajaran siswa kaya manja yang segala keinginannya harus terpenuhi. Tidak suka menjadi nomor dua, tidak suka menjadi yang terbelakang. Harga dirinya sedalam lautan, dan rasa egonya sekental kotoran hewan.

Dan fakta bahwa Wen Junhui Jun tidak peduli pada apapun atau siapapun bahkan sahabatnya sendiri saat sedang dilanda kesal membuat Lee Chan muak.

"Kau kenapa, sih?"

Jun berdecak, tidak repot-repot untuk melirik lawan bicara saat menyahut ketus, "Kenapa apanya?"

Lee Chan mempercepat langkah. "Kenapa kau sulit sekali untuk merendahkan egomu? Dengar, berteman dengan Hansol tidak begitu buruk. Kemarin dia juga berjanji akan membelikanku rokok elektrik kalau aku membantu mengeroyok Mingyu."

"Dan kau percaya padanya?"

Lee Chan mengernyit kesal. "Kau tahu sendiri aku selalu ingin mencoba rokok elektrik!"

Jun menghela napas. Peningnya serasa mau pecah, jantungnya berdentum-dentum murka. Ia lantas berhenti, berbalik menatap Lee Chan lekat. "Kalau harga dirimu semurah rokok, maka silakan pergi dan berteman dengan mereka." Ia menjeda sejenak, melirik jijik temannya dari atas sampai bawah, "Kau tahu, aku sama sekali tidak butuh teman yang mudah digoda hanya dengan sebuah barang."

Lee Chan mematung, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hatinya runtuh. Harga dirinya dicabik-cabik. Rasanya seolah seseorang baru saja melemparkan segenggam sampah tepat di depan wajah. Selama ini ia sudah membantu dan mengorbankan apapun―apapun―untuk seorang sahabat di hadapannya ini. Menyelipkan contekan, melanggar peraturan, bahkan diam-diam menyelinap ke ruang BK hanya untuk dapat mengintip nilai. Semua demi Jun; semua dilakukan sebab persahabatannya dengan Wen Junhui.

Mungkin saat ini, tidak lagi.

Mungkin Jun benar, harga dirinya terlalu rendah. Ia terlalu mudah bersikap ramah dengan orang.

Lee Chan stagnan di tempat. Tubuhnya menegang. Bibirnya yang gemetar melukiskan senyum pahit, kerongkongannya tercekat. Pemuda itu mengangguk lambat, menatap lamat-lamat punggung Jun yang kian lama kian menjauh. Bahkan, ia nyaris tak memercayai suaranya sendiri kala berkata, "Kau akan menyesal sebab mengatakan itu padaku, Jun. Kau akan menyesal sebab mencampakkan sahabatmu ke rawa-rawa." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top