・ʙ ʙ ϙ ɴ ɪ ɢ ʜ ᴛ : s ᴇ ᴄ ʀ ᴇ ᴛ ʀ ᴇ ᴠ ᴇ ᴀ ʟ ᴇ ᴅ
↗↘↗↘↗↘
①
②
③
④
(b b q n i g h t :
s e c r e t r e v e a l e d)
MALAM terakhir di Jeju rasanya bagai terperangkap dalam suatu ruangan putih pengap sendirian. Agak-agaknya, seluruh aktivitas yang berlalu bagai uap yang mengepul di udara kemudian sirna. Singkat. Cepat. Padat. Sesak.
Seungcheol masih ingat hari pertama ia datang ke Jeju bagai seorang bocah lugu dengan dua bola mata mengerjap penasaran dan hati meloncat gembira. Ia masih dapat mengulas sukacita dan rasa terpukau pada hari pertama; sekamar dengan Lee Chan, pembagian kelompok saat menjelajah arena sawah dan peternakan, kemudian diskusi di malam hari serta beberapa presentasi. Lalu berlanjut ke hari kedua, Jun meminjaminya sweater mahal dengan tulisan merek di tengah-tengah, kemudian mereka pergi ke beberapa tempat ikonik lain di pulau Jeju. Salah satunya, air terjun Cheonjiyeon.
Semua bergulir baik-baik saja, sampai kejadian semalam.
Tepat pada malam kedua di pulau Jeju, Choi Seungcheol menjadi saksi mata langsung atas kasus menjijikkan yang terjadi di antara dua teman sekelasnya; di antara Hansol dan Areum.
Kalau mengingat malam itu, Seungcheol rasanya ingin mengubur diri dalam-dalam. Kenapa harus dia? Kenapa di antara puluhan siswa angkatan kelas 11, mengapa harus Seungcheol yang menjadi saksi perbuatan bejat seorang Chwe Hansol? Jauh dalam hati, Seungcheol ingin memutar waktu menjadi semalam. Kronologinya tidak serumit itu, sebenarnya.
Seungcheol yang biasanya mudah terlelap mendadak bangun tengah malam. Perutnya melilit. Lambungnya seolah diremas kuat-kuat. Pemuda itu bergelung di atas ranjang untuk beberapa menit, merintih kesakitan sebelum memutuskan untuk bangun dan langsung berlari keluar kamar menuju toilet pria. Barangkali ini efek sebab melahap tiga porsi kimchi bertabur bubuk cabe. Namun dalam perjalanan menuju toilet, Seungcheol malah menemukan pemandangan langka di tengah taman.
Kim Mingyu, pemuda yang sedari pagi hiperaktif, malam itu tengah bertelungkup di balik semak-semak. Tampak seolah tengah mengamati sesuatu.
Atau barangkali, seseorang.
"Hei, kau mau satai udang lagi?"
Tepukan di pundak lantas membuyarkan pikirannya, menarik kembali seluruh kesadarannya ke realita. Sedikit tersentak, mengerjap gagap pada lawan bicara, Seungcheol nyaris kehilangan kalimat kala tiba-tiba Lee Chan berkata, "Kau kenapa, sih?" Pemuda itu mengambil posisi duduk tepat di sampingnya, menatap lurus-lurus Seungcheol. "Dari tadi, Jun mencarimu. Kau tidak hadir dalam acara 'minum' dalam vila."
Mata Seungcheol membulat. "Minum?"
"Sst! Jangan keras-keras!" hardik Lee Chan tiba-tiba.
Sementara pemuda itu menoleh untuk memastikan tidak ada yang mencuri dengar konversasi mereka, Seungcheol kembali bertanya, "Memang tidak takut ketahuan?"
"Ada Jisoo dan Minghao di sana."
Apa?
Malam ketiga sekaligus malam terakhir di Pulau Jeju, satu-satunya acara yang tersisa di jadwal sebelum tidur adalah makan malam bersama.
Mereka menyebutnya, 'Malam Barbeque'. Satu angkatan berkumpul di taman tengah vila, sambil menikmati berbagai jajanan panggang yang telah disiapkan oleh guru-guru. Namun minum alkohol jelas tidak tertera dalam daftar acara.
"Kau tenang saja." Lee Chan mengibas tangan, kembali menggigit satainya dan dengan santai melanjutkan, "selama ada dua putra mahkota, kita tidak akan terkena masalah hanya sebab membawa beberapa gelas soju dalam kamar."
Tidak, ini tidak benar. Semerta-merta Seungcheol dapat merasa sensasi panas membakar hatinya. Seolah seseorang baru memantik api dan melemparkannya langsung di depan wajah. Panas, gerah, sesak. Kejadian semalam masih membuatnya uring-uringan setengah mati, dan kini alih-alih membuat suasana hatinya lebih baik, Lee Chan dan Junーkedua sahabatnyaーmalah melanggar peraturan dan menganggapnya sebagai lelucon.
Ini jelas melewati batas.
"Bagaimana? Kau ikut tidak?"
Seungcheol menghela napas. "Kau pikir itu benar?"
Kening Lee Chan berkerut. "Apa?"
"Minum diam-diam saat tur studi sekolah. Kau kira itu benar?"
"Kecilkan suaramu, Sialan!"
Seungcheol ternganga tak percaya. Lee Chan menyebutnya 'sialan'? Pemuda itu bahkan masih setengah terkejut kala lawan bicara mengusap wajah kasar, berdecak dan mengumpat di balik dengkusan keras. "Kau barusan memanggilku apa?"
Lee Chan bersedekap, menatap lawan bicaranya dengan dengkusan keras. Kalau diperhatikan lebih dekat, sahabatnya satu ini tampak kacau; raut wajahnya kusut, surainya setengah berminyak, sementara ia tak henti memijat pelipis kala berseteru dengan Seungcheol.
Entahlah.
Tapi ini bukan seperti Lee Chan yang ia kenal.
"Dengar, aku minta maaf soal rutukan itu. Tapi kau juga harus mengerti keadaan kita. Kau tidak―"
"Tidak." Seungcheol menyela, lantas berdiri dari tempat duduknya seraya menyambar jaket di atas sampiran kursi. "Bukan karena aku diam, kau bisa menyeretku ke sembarang arus. Yang namanya menyelipkan minuman keras dalam trip sekolah adalah tindakan salah. Keliru. Menentang aturan. Dan sekarang, kau meminta aku memaklumi bahkan bergabung bersama kelompok Jun?" Ia menjeda, menghela napas kecewa. "Aku tidak percaya kalian melakukan itu."
Seungcheol baru hendak beranjak meninggalkan Lee Chan sendiri di bangku kayu taman, kala tiba-tiba pemuda itu berseru, "Kenapa kau jadi sok suci sekarang?"
Langkah Seungcheol terhenti.
Di belakangnya, Lee Chan tertawa sinis. "Memang kau kira, merahasiakan perbuatan curang di sekolah dan bergabung sebagai teman kami adalah hal benar?"
Tangan Seungcheol terkepal. "Itu karena aku tidak punya pilihan lain."
"Pilihan, kau bilang?" Lee Chan kembali tergelak. Kali ini lebih keras, sempat mengundang lirikan dari beberapa gadis yang lewat. Pemuda itu melambai sebentar, menunggu para gadis lewat sebelum berdiri dan melangkah ke dekat Seungcheol. "Manusia selalu hidup oleh pilihan, Seungcheol. Fakta bahwa kau sekarang membuka suara soal 'perbuatan jahat' setelah dulu setuju bahkan ikut bergabung dengan kami hanya menunjukkan betapa fanatik dirimu."
Lee Chan mendengkus, menepuk punggung lawan bicara. "Seharusnya kau malu dengan dirimu sendiri."
Cukup. Lee Chan benar-benar keterlaluan. Seungcheol mengepal tangan. Dalam kepalanya berkelebat seluruh masalah yang ada; perbuatan mesum Hansol, perdebatan Mingyu dan Areum semalam, kini dua sahabat yang ia kira suportif malah mengajaknya untuk ikut dalam kegiatan ilegal di tur sekolah. Apa ini yang disebut sahabat? Bukankah awalnya, ia selalu mendengar Lee Chan berkeluh kesah soal mimpinya, soal ekskul tarinya?
Kini mengapa sekarang pemuda itu mengata-ngatainya begini?
Kejadian selanjutnya bagai beberapa sekon yang kabur. Seungcheol tidak tahu apa yang merasuki kepalanya saat itu, sebab tanpa pikir panjang pemuda itu lantas menghantam tinju tepat di sudut bibir sang lawan bicara. Hatinya panas. Kepalanya pening tak karuan. "Kau tidak tahu apa-apa, Lee Chan. Jangan bersikap seolah kau tahu segalanya."
Beberapa siswa berkerumun. Ia ingat Wonwoo dan Soonyoung bahkan berusaha untuk memisahkannya dari Lee Chan.
Namun Seungcheol tak peduli. Ia sudah cukup menahan diri selama ini. Ia sudah benar-benar muak hanya menjadi pemeran figuran dalam hidupnya sendiri.
Kenapa sejauh ini, ia harus selalu menjadi pembantu orang lain?
Baru pikiran tersebut menghantui benak, suara dari sebrang tiba-tiba menyapa. Seorang siswi dari kelas sebelah mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan berseru kencang, "Berita terbaru! Berita terbaru di web sekolah! Mingyu dan Areum tertangkap kamera telah berkencan kemarin malam."
DEG.
Kerumunan semakin ramai. Seluruh siswa terdistraksi oleh berita barusan, lantas menyambar ponsel mereka dan memeriksa notifikasi dari web sekolah. Bisikan dilayangkan, makian disebarkan. Wonwoo segera meninggalkan tempat itu setelah membaca beritanya pada ponsel Soonyoung, sementara para siswa tercengang.
Lee Chan berdiri, mengusap darah pada bibirnya dan berbisik-tepat di telinga Seungcheol, "Tingkahmu benar-benar aneh hari ini. Kau tahu, terkadang kau tampak mencurigakan, Seungcheol."
Napas Seungcheol tertahan. Suara Lee Chan terdengar bak dengungan lebah di telinganya.
Siapa ...
Jantungnya berdegup resah.
Siapa yang menulis berita itu? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top