・ʀ ᴇ ɢ ʀ ᴇ ᴛ ғ ᴜ ʟ

CAKRAWALA dilingkup gelap. Sorot oranye surya yang tadi masih tampak kini mulai sirna. Ruang tamu temaram. Atmosfer gerah dan murka masih bergelung di sana, dalam sekejap sukses mengirim hening yang mencekik tenggorokan. Sejauh yang Wonwoo ingat, Mingyu bukan tipe orang yang suka menggunakan kekerasan. Pemuda itu sebelas dua belas dengan Seokmin; payah, penakut, namun berhati lembut.

Jadi kini, melihat bagaimana iris Mingyu mengkilat penuh amarah, Wonwoo hanya dapat berkata, "Kau keterlaluan." Suaranya bergetar―ia tak tahu apa itu disebabkan oleh takut atau kecewa. Mungkin pula keduanya. Semenjak kejadian di Pulau Jeju, hubungan keempatnya renggang. Mingyu menjadi pemuda yang diam, asing, dan begitu jauh. Rasanya seolah ia menjaga jarak―tapi mengapa?

"Kau juga tidak tahu apa-apa, Wonwoo." Mingyu mendengkus sinis. Pemuda itu menoleh, seringainya terulas sarkas, kedua tangannya terkepal di genggaman tangan. "Memang kenapa kalau aku menyembunyikan kenenaran yang terjadi malam itu?" ia balik menantang. "Aku tidak peduli dengan pendapatmu atau keadilan, atau apapun. Aku juga punya alasan sendiri untuk tetap diam. Aku sudah dewasa." Kedua irisnya berkaca-kaca. "Tolong, hargai itu."

Wonwoo tercenung untuk beberapa sekon singkat. Ia tahu ia sudah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya, bahwa Mingyu sengaja menyembunyikan kebenaran di balik peristiwa itu. Tetapi lagi-lagi, satu hal yang kerap tak ia pahami;

Mengapa Mingyu memilih untuk diam?

"Wonwoo benar."

Suara dari pangkal pintu lantas memecah keheningan, sukses menyita atensi ketiga pemuda di ruang tamu. Seokmin melangkah masuk, masih berbalut seragam serta ransel navy kebanggaannya. Ia baru pulang―sama halnya dengan Mingyu, Seokmin sering pulang terlambat untuk menghindari komunikasi dalam rumah. Ekspresinya muram, tatapan matanya sendu. Di tengah-tengah itu, Wonwoo sempat melihat Mingyu langsung mengalihkan pandang ketika Seokmin datang. Namun di sana, masih berdiri di depan pintu, jemari bertaut di bawah perut, Seokmin dengan pelan berujar, "Kau keterlaluan, Mingyu. Tidak seharusnya kau memukul Jihoon untuk itu."

Ia mendengar semua. Wonwoo menelan saliva, perlahan mulai menghubungkan benang misteri antara hubungan canggung Mingyu dan Seokmin. Tidak, jangan katakan bahwa ...

"Seharusnya kau memukulku."

Satu tarikan napas panjang. Seokmin telah memantabkan hati, menepis seluruh keraguan dalam benak. "Kau tahu sendiri aku ... akulah pelakunya. Akulah yang menulis semua berita di web malam itu."

"Seokmin," Wonwoo tak sadar nama tersebut keluar dari mulutnya, berharap bahwa setelah ini Seokmin akan tertawa, kembali pada ekspresi konyolnya seperti biasa, berkata bahwa ini hanya rekayasa belaka.

Namun, tidak.

Kali ini semua benar-benar nyata; inilah kebenarannya.

"Kau juga yang menulis pengeroyokan itu?"

Seokmin melirik Jihoon, hanya beberapa sekon sebelum sadar tatapan tajam tersebut mencoba untuk mengulitinya mentah-mentah. Pemuda itu hanya menunduk, peluh mentesi tubuh. Ia sudah mempersiapkan diri untuk ini jauh sebelum rencana balas dendam. Ia tahu bahwa perbuatannya di masa lalu pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan.

"Benar," jawabnya, lirih. "Maaf, maaf, maaf sekali." Pandangannya kabur, kedua matanya berair dan Seokmin dapat merasa hatinya pedih luar biasa. Membayangkan kembali apa yang telah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir, kemudian perihal pengeroyokan Kim Mingyu di pulau Jeju. Namun alih-alih menolong atau apapun, ia hanya menjadi seorang pecundang―seorang kacung sialan berkedok fotografer―yang akhirnya mengkhianati sahabat sendiri.

Dan sampai hari ini pun, Mingyu tak melaporkan perbuatannya sedikitpun.

Isakan Seokmin menguat, air mata mengucur deras menuruni wajahnya yang memerah. Seluruh perasaan yang berhari-hari dipendam kini luap begitu saja. Seokmin benci menangis di depan orang lain, sebetulnya; sebab kedua matanya yang sembab tampak sepuluh kali lipat lebih aneh dibanding biasa. Hidung berair, tenggorokan tersendat, hati yang kian lama kian sesak.

Pemuda itu sudah siap menerima semuanya; makian, rutukan, atau bahkan hukuman mencuci piring sebulan―walau, ia sendiri ragu kalau perbuatannya bisa ditebus hanya dengan sanksi tersebut.

"Jadi," Suara Jihoon memecah hening. Pemuda itu memandang Seokmin yang masih menunduk dengan wajah bersimbah air mata, sebelum beralih pada Mingyu yang kini mengalihkan pandang. Sejenak mencerna apa yang terjadi selama ini, pemuda itu kemudian berkata, "Jadi kau penyebabnya."

Seokmin menggigit bibir. "Awalnya ... awalnya aku hanya ingin mencari tambahan uang jajan. Tapi aku tidak menyangka, Hansol memanfaatkan website untuk ... untuk menyerang Mingyu." Ia menyeka air mata, tersendat. "Aku ... aku tidak tahu apa alasan Mingyu untuk diam setelah pengeroyokan malam itu. Tapi, aku tidak bisa diam setelah itu."

"Lalu?" Jihoon mendecih, ada nada sinis dalam ucapannya kala melanjutkan, "Apa yang bisa kau lakukan? Menulis berita baru untuk menyerang Hansol? Yang benar saja."

"Aku tahu aku tidak bisa menebus kesalahanku, tapi ..."

Jawaban Seokmin yang tak terduga itu seketika membuat kening Jihoon mengernyit. Seokmin memberanikan diri mendongak, menatap wajah Mingyu, Jihoon, dan Wonwoo sebelum berkata dengan tegas, "Aku berjanji untuk mengungkap seluruh kebenaran itu."

"Kalian benar-benar tak dapat dipercaya." Jihoon menghela napas pendek, sejenak menyentuh sudut bibirnya yang berdarah sebelum pergi ke kamar. Tak ada kalimat untuk Mingyu, tak ada makian untuk Seokmin. Seluruh perdebatan itu terputus begitu saja, ia bahkan tak repot-repot melirik Seokmin atau Mingyu sedikitpun.

Melihat kepergian Jihoon, Wonwoo hanya menelan saliva, sadar bahwa memang masalah ini tak akan dapat selesai begitu saja tanpa komunikasi kedua pihak. Ia menepuk bahu Seokmin, melihat Mingyu yang masih berdiri stagnan di tempat kala berkata, "Aku dan Jihoon tidak berhak untuk ikut berkomentar. Kalian harus menyelesaikan masalah ini berdua, aku tidak mau suasana rumah berantakan hanya sebab kalian bermusuhan. Dengar?"

Mingyu tidak membalas, sementara Seokmin hanya mengangguk ragu.

Hari itu Wonwoo tak tahu mana yang lebih buruk; melihat kekerasan Mingyu atau mendengar pengakuan Seokmin. Mungkin keduanya, mungkin hari itu ia kembali diingatkan, bahwa hidup sebagai remaja merantau di kota besar Seoul tidaklah mudah. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top