・ɴ ᴏ ᴛ ᴘ ʀ ᴇ ᴛ ᴇ ɴ ᴅ ɪ ɴ ɢ ᴀ ɴ ʏ ᴍ ᴏ ʀ ᴇ
DUA tahun lalu, Yeo Hyera ingat mantan sahabatnya Lee Jihoon pernah berkata bahwa ruang belajar merupakan tempat favoritnya kedua setelah perpustakaan.
Ia akan mengatakan itu dengan nada datar, wajah tanpa ekspresi seraya mengedikkan bahuーsekilas menampakkan kesan angkuh tapi dua bola matanya hanya menatap lugu sekaligus beku. Mata elangnya yang sipit dan tajam itu nyaris tak pernah menampakkan emosi apapun. Sejauh yang Hyera dapat gali dari tumpukan memori, Jihoon selalu menjadi satu orang itu: siswa yang terkenal dingin dan apatis, selera humornya payah dan sulit sekali untuk tertawa. Terlebih, ketika menapaki SMA.
Sederhananya, Jihoon versi sekarang bahkan jauh lebih payah dibanding dulu.
Menarik napas, kembali mengusir seluruh bayangan dalam kepala, Hyera kemudian berdecak pelan, mengeratkan kardigannya sebelum menapaki langkah masuk ke dalam gedung ruang belajar. Ini tempat belajar favorit merekaーdulu. Jihoon yang mempromosikannya, berkata bahwa bilik belajar di sini bagus, sepi dan senyap, dengan dekorasi interior minimalis. Satu poin plus untuk itu.
Keduanya akan pergi ke sini sepulang sekolah. Masa SMP yang begitu hangat. Hong Jisoo yang saat itu begitu jatuh cinta dengan basket memilih untuk bermain beberapa ronde di lapangan sekolah. Kehidupan masa dulu itu indah. Tak perlu banyak rasa resah atau kekhawatiran, tak perlu memikirkan tentang reputasi, cinta, atau drama kehidupan. Masa SMP itu merupakan waktu-waktu terbaik dalam hidupnyaーsedikit ironi bagaimana satu peristiwa dapat mengubah seseorang dan menyisakan gulungan kenangan getir berkelebat hebat dalam kepala.
Hyera melangkah menuju meja administrasi, menyewa satu kubikel kosong di bagian pojok untuk seharian penuh. Wanita itu menerima uangnya, menyerahkan sebuah kunci yang seketika membuat Hyera bergidik.
Rasanya sudah lama, lama sekali, sejak terakhir kali ia menghabiskan uang untuk sesuatu yang 'berguna'. Bukankah ini aneh? Mengamati untaian kunci tersebut, si gadis tak dapat menahan diri untuk tak tersenyum pada diri sendiri. Kalau teman-temannya tahu ia pergi ke ruang belajar pada Sabtu pagi, mereka pasti akan histeris dan dengan nada tinggi berteriak, "OEMJI, YEO HYERA PERGI UNTUK BELAJAR?! Oh, well. Dunia pasti sudah mau kiamat." Membayangkannya saja sudah menarik senyum di bibir Hyera.
Pergaulan masa remaja itu sebagian rumit, sebagian terasa pahit. Para gadis berpura-pura untuk saling menyukai temannya dengan candaan yang terdengar tulus, tawa keras, tapi diam-diam saling membenci. Jangan kira Hyera tak tahu tentang gosip-gosip di sela makan siang yang berkata, "Hyera sudah putus dengan Hong Jisoo. Iya, serius. Bisa-bisanya dia putus dengan cowok paling 'hawt' di sekolah. Lagipula, mereka juga sudah ciuman dan melakukan hal lainーkau tahu, seperti menyewa kamar dan bermain kuda-kudaan berdua. Haha, aku penasaran mengapa Hyera mau memutuskan cowok sesempurna Jisoo. Apa gosip di sosial media benar? Apa Jisoo benar-benar menggunakan kekerasan?"
Semua terdengar jelas di telinganya, terngiang layaknya dengung lebah. Para gadis itu memiliki lidah beracun dan mulut yang luar biasa berbisa bila berkenaan dengan gosip. Jadi agaknya, Hyera juga tak mengharapkan apa-apa.
Toh lambat laun, kebenaran akan terungkap juga.
Benar, 'kan?
Kala tungkainya melangkah menyusuri lorong temaram yang dipenuhi bilik belajar, di saat yang bersamaan pintu salah satu ruangan ikut terbuka. Seorang pemuda melangkah keluar, seketika menghentikan langkah Hyera.
Gadis itu mengerjap, pada wajahnya terlukis gurat pada kening yang memberi kesan terkejut. "Lee Jihoon?"
Bukan hal yang aneh menemui Jihoon di ruang belajar. Hanya saja, Hyera tak tahu dirinya benar-benar menanti hal ini terjadi ketika melihat pemuda itu di depan mata, dan jantungnya melompat ringan.
"Oh, kau di sini juga rupanya," sapa Jihoon kelewat canggung. Tak bisa dipungkiri pemuda itu ikut terkejut melihat siapa yang di hadapannya sekarang; Yeo Hyera yang dikenal sering memakai kemeja ketat dan tempat mainnya ke klub malam alih-alih ruang belajar, kini berbalut kemeja flannel panjang, celana jeans hingga tumit, dan surai hitam yang tergerai melewati pundak. Tidak ada riasan tebal layaknya yang dulu ia kenakan, di tangannya tergenggam beberapa tumpukan buku dan bukannya botol alkohol atau rokok elektrik. Sejenak―entah untuk keberapa kali dalam dua minggu terakhir―Jihoon terpana.
"Tidak ada tempat yang paling nyaman selain ruang belajar untuk belajar, bukan?" kata Hyera, seketika mengangkat senyuman Jihoon.
Ia masih ingat kalimat itu, rupanya. Kalimat yang sama yang dua tahun lalu pernah Jihoon lontarkan kala Hyera bertanya, "Kenapa kau sering pergi ke ruang belajar?"
Jihoon mengusap tengkuk, seketika merasa hening yang merayapi mereka terasa sangat kikuk. Diam-diam ada dorongan dalam hatinya untuk menyuruh Hyera berhenti, dan menghabiskan waktu berdua. Jadi setengah merutuki diri sendiri, Jihoon yakin ia sudah kedengaran konyol sekarang kala mulutnya tiba-tiba berujar―jauh di luar keinginannya, "Bukankah sekarang terlalu pagi untuk belajar?"
Hyera menoleh. Keningnya mengernyit, namun ia masih sabar menunggu Jihoon melanjutkan, "Keberatan untuk keluar dan mencari angin sebentar?"
***
Lee Jihoon akui, kisah romansa anak mud aitu memang payah.
Ia satu-satunya lelaki di rumah yang tidak menyukai drama roman remaja. Ia satu-satunya orang yang tidak pernah mengorek artikel soal cinta, novel roman, atau segala puisi dramatis kala Wonwoo, Mingyu, dan Seokmin menggilainya setengah mati. Ia pula yang dalam diam menyimpan rapat tiap untaian rindu dalam diam―tanpa berpikir bahwa suatu hari, semua rasa akan meletup di saat-saat tak terduga.
Tanpa pernah terpikir, bahwa setiap kesabaran memiliki batasannya sendiri.
"Tidak biasanya kau pergi ke ruang belajar pagi-pagi begini." Itu suara Jihoon, memecah hening yang sejak tadi mendekap mereka. Hyera hanya tersenyum tipis, menyesap minumannya sebentar sebelum membalas santai, "Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Ia melirik Jihoon sebentar, sebelum kembali beralih pada pemandangan di depan. "Kau sendiri? Tumben sekali sudah selesai belajar pagi-pagi begini. Sejauh yang kuingat, Lee Jihoon tidak akan pernah meninggalkan ruang belajar kecuali dalam waktu yang mendesak."
Mendengar itu, Jihoon mau tak mau jadi tersenyum. Keduanya kini duduk di sebuah taman, menghadap air terjun dan himpunan bunga yang rimbun. Hyera yang merekomendasikan tempat ini, tak jauh dari ruang belajar tadi. Beradadi sini, ditiup angin sepoi, Jihoon jadi merasa ada kehangatan sekaligus sejuk yang membekap diri.
"Aku tidak fokus belajar."
"Apa?" Hyera tertawa, setengah tak percaya kala melanjutkan, "Tidak mungkin. Sejak kapan Lee Jihoon tidak fokus belajar huh?"
Jihoon hanya tersenyun tipis. Ia menjeda sejenak, sempat memberi ruang bagi hening untuk menyusup sebelum ia kembali membuka suara, "Kau baik-baik saja?"
Hyera refleks mendongak, sedikit terkejut dengan perkataan barusan. "Iya, jelas. Tentu saja. Memang ada apa?"
"Tidak," Jihoon segera mengalihkan pandang. "Aku hanya asal bertanya, tadi. Maaf kalau―"
"Tidak apa-paa," sambut Hyera santai. "Aku baik-baik saja. Rumor akan datang dan pergi. Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu. Kau ... tampak sedang memikirkan sesuatu."
Jihoon menggeleng. "Tidak ada apapun."
"Apa ini soal Mingyu?"
Mendengar nama itu disebut secara gamblang lantas kembali membuka seluruh laci kenangan yang Jihoon simpan dalam-dalam. Pemuda itu hanya tersenyum tipis mengingat kejadian semalam―kecanggungan yang melingkup rumah, makan malam yang dipenuhi hening, Seokmin yang memilih untuk mencuci semua piring kotor dan dengan rendah hati mencuci tiap pasang sepatu di rumah. Perubahan yang paling besar itu memang dimulai dengan rasa bersalah dan penyesalan.
Tapi tentu saja, pengakuan itu membawa sesuatu yang berbeda di antara kedamaian rumah mereka.
"Kau tahu hal yang lucu?" Jihoon mendengkus, rasa getir memenuhi permukaan lidah. "Tetapi setelah kebenaran terungkap, kenapa semua malah terasa menyesakkan?"
Hyera tidak semerta-merta menjawab. Melihat raut wajah lawan bicara―tatapan menerawang, senyum sinis, iris menyipit yang tampak tengah menyimpan rindu, gadis itu kemudian membalas, "Beberapa kebenaran memang terdengar menyakitkan. Beberapa fakta malah menusuk hati. Tetapi aku rasa itu setimpal, sebab hidup dengan kepura-puraan akan jauh lebih menyiksa."
Jeda selama beberapa detik, keheningan yang merangkup kedua insan itu hanya diisi suara hembusan angin. Hyera menarik napas dalam-dalam, melirik tautan jemari di atas paha sebelum kembali melanjutkan lirih, "Aku pun demikian."
Jihoon menatap penuh tanya.
"Kalau kau membaca berita tentang Jisoo di sosial media, kau tahu dari mana itu berasal."
Hanya melalui sebuah kalimat, Jihoon mendadak paham semuanya. Hanya dalam sebuah tatapan, pemuda itu langsung mengerti, bahwa semua yang dituliskan di sosial media jelas adalah sebuah kebenaran.
Sebab dari sebuah tatapan dan senyum yang sama, Hyera seolah baru saja membisiki telinganya dengan sebuah fakta, "Akulah yang menyebarkan berita itu." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top