・s ᴜ ᴍ ᴍ ᴇ ʀ ғ ᴇ s ᴛ ɪ ᴠ ᴀ ʟ - 2
STAN hotdog bewarna merah yang terletak di bagian utara gerbang sekolah itu selalu menarik perhatian Yoon Jeonghan sejak hari pertama festival. Ia tidak terlalu menyukai makanan barat, sejujurnya. Ia pun tidak dibekali dengan banyak uang jajan. Ibunya tidak berpikir bahwa festival musim panas adalah ide terbaik sekolah. Malah saat melihat putranya menghabiskan nyaris dua belas jam di sekolah hanya untuk menyaksikan orang menyanyi, menari dan terlibat bazaar makanan, wanita itu malah berkata, "Kalau kau begini terus, mana bisa diterima di universitas ternama? Mereka-mereka yang berhasil itu tidak membuang waktu hanya untuk acara tak berguna begini."
Jeonghan tidak membantah atau menentang, tidak pula mengangguk atau menanggapi antusias perkataan sang ibu. Alih-alih, pemuda itu malah berjalan ke kamar sembari menyahut, "Besok aku akan pulang jam tiga. Aku menjadi salah satu panitia dekorasi, jadi aku tidak boleh pulang setidaknya sampai festival berakhir."
Ibunya marah, tentu saja. Namun melihat putranya hanya menganggap lalu omelan tersebut, ia mencari cara lain untuk menggagalkan rencana Jeonghan. Mungkin salah satunya, mengurangi uang jajan di hari kedua. Mungkin Nyonya Yoon pikir, bahwa putranya akan kelaparan dan memilih untuk pulang.
Kalau mengingat betapa kekanak-kanakan pikiran ibunya itu, Jeonghan hanya dapat tersenyum miris. Ia sudah tinggal begitiu lama dengan sang ibu untuk hafal tabiat dan ancaman wanita itu. Jadi pada hari kedua, Jeonghan membawa beberapa uang tabungannya sebagai uang jajan, kalau-kalau sang ibu benar-benar tidak memberinya bekal yang cukup.
Dan, voila, dugaannya benar.
Jenius, batinnya memuji diri sendiri. Sekarang aku bisa membeli apapun yang aku mau, termasuk hotdog itu.
"Yo, Jeonghan! Jadi, bagaimana rencanamu? Sudah ada kemajuan?"
Jeonghan tersentak, tersenyum melihat Soonyoung berlari-lari kecil ke arahnya. Pemuda itu masih dalam balutan kostum tari; kaos putih oblong yang dilengkapi setelan basket bewarna biru lengkap dengan celananya. Soonyoung juga mengenakan aksesoris headband bewarna senada. Konsep ini, menurut Jeonghan, lebih baik dibanding konsep tari hari pertama (dimana setiap anggota mengenakan jaket denim berbahan tebal yang akhirnya menyebabkan seluruh siswa basah berkeringat), sebab lebih erat kaitannya dengan musim panas.
"Tidak juga," balas Jeonghan, tersenyum kecut. Rencana, ya. Kini setiap mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut sahabatnya, pemuda itu hanya dapat tertawa miris dalam hati. Benar, rencana.
"Hah? Tidak juga bagaimana? Ini sudah hari kedua, lho!" kata Soonyoung memperingatkan. Pemuda itu kemudian mengempaskan diri pada bangku reot di samping Jeonghan, sedikit mengomel kala bangku itu bergoyang dan menghasilkan derit pelan. Namun setelah memastikan benda itu aman dan masih kokoh membopong berat badannya, Soonyoung kembali menatap lawan bicara sangsi. "Kau sebenarnya serius mau menyatakan perasaan pada Seung Ji tidak, sih?"
"Serius―" kata Jeonghan, "―dulu. Sekarang, aku rasa tidak perlu."
"Kenapa?"
Jeonghan mengalihkan pandang. "Tidak mau saja. Aku rasa, aku lebih bahagia dengan menjadi temannya."
Soonyoung menatapnya tak percaya. "Ayolah, tidak mungkin ada cinta yang seperti itu. Memang kau yakin kau tidak menyesal terus memendam perasaan selama bertahun-tahun? Mumpung masih festival, mumpung kalian masih dekat. Siapa yang dapat menyangka apa yang akan terjadi pada tahun ketiga, huh?"
Soonyoung benar. Ini adalah satu kesempatan emasnya untuk menyatakan perasaan, untuk menggaet hati Sang Pujaan Hati dan mendapat pacar. Namun pada satu kesempatan tersebut, akan ada dua risiko berbeda. Antara mendapat feedback serupa, atau justru menorehkan luka. Antara memperoleh penerimaan, atau malah penolakan.
Dan agaknya, Jeonghan sudah tahu akan jadi seperti apa risiko yang harus diterimanya kelak.
Pemuda itu mengulum senyum kecil. "Tidak perlu hal-hal seperti itu. Setidaknya, aku sudah mendapat teman baru."
"Well, memang sebuah keuntungan untuk mendapat teman percaya diri sepertiku," balas Soonyoung, menertawakan leluconnya sendiri. "Tapi, kau yakin kau tidak akan menyesal? Dengar, gagal setelah mencoba itu jauh lebih melegakan ketimbang tidak melakukan apa-apa."
Menyesal, ya. Entahlah. Jeonghan rasa ia akan lebih menyesal kalau mengakui perasaannya namun tidak mendapat balasan setimpal. Ia rasa ia akan lebih merasa malu, bersalah, dan merasa kacau sebab hubungan pertemananya dengan Seungji pun akan retak. "Untuk saat ini, sepertinya tidak. Aku tidak terlalu ingin membebani diri dengan hal-hal serumit cinta. Aku hanya ingin menikmati masa SMA dengan hubungan pertemanan."
Soonyoung menepuk-nepuk pundak temannya, memberi dukungan walau tanpa ucapan. "Kalau begitu, ayo kita serbu hotdog di sana itu! Kau kira aku tidak tahu kau sudah melihatnya dari tadi?"
Jeonghan terkekeh. Panas matahari tak lagi terasa menyengat, saat ia pergi bersama Soonyoung. Benar. Walau kemarin ia telah melihat Wonwoo dan Seungji tampak begitu dekat, bahagia berdua, bahkan Jeonghan dapat mendengar dengan telinganya sendiri tentang ajakan kencan Wonwoo, ia lantas tersadar, mungkin Seungji memang bukan untuknya. Mungkin cinta tidak harus memiliki. Mungkin rasa suka pada Seungji bisa ia alihkan pada rasa kagum.
Sebab sekali lagi, walau merasa sedikit sakit hati, setidaknya Jeonghan merasa lega oleh kehadiran seorang teman dalam hidupnya.
Masa SMA tidak seburuk itu, kok.
***
Pada festival musim panas hari kedua, Mingyu berhasil membujuk Areum untuk berangkat dan pulang bersama. Itu usaha yang, sejujurnya, membutuhkan banyak kerja keras dan patut dirayakan keberhasilannya. Sejauh yang Mingyu ingat, Han Areum adalah gadis keras kepala yang sulit sekali untuk diyakinkan, pendiriannya bak batu karang yang menempel di lautan. Hal baiknya di sini, sejauh yang Kim Mingyu ketahui tentang karakternya sendiri, ia adalah pemuda kompeten dengan kegigihan yang tinggi.
Maka saat menerima penolakan pertama, Mingyu tidak langsung jera begitu saja. Begitu pula saat menerima penolakan kedua, ketiga, dan keempat. Bahkan saat Areum nyaris membentaknya dengan berkata, "Kau tahu aku tidak mudah dibujuk oleh pemuda gigih sepertimu, bukan? Kalau iya, kau mencari target yang salah, Kim Mingyu."
Namun lagi-lagi, Mingyu sudah terlalu lama menghabiskan waktu dengan Han Areum hingga tahu apa yang harus ia katakan saat gadis itu marah. Alih-alih ikut menggemborkan pendapatnya, pemuda itu hanya balas jenaka, "Kau juga tahu aku bukan pemuda yang mudah menyerah, Areum. Kepalaku juga kepala batu, bahkan lebih keras dari kepalamu. Mau taruhan?"
Kemudian, Areum jera. Mingyu menang. Pada hari kedua festival musim panas, Mingyu menjemput Areum di rumah. Pemuda itu sama sekali tidak tampak keberatan atau bingung saat mampir ke gubuk kecil nan sederhana milik sang gadis. Itu pertama kalinya Areum mengajak seorang lelakiーatau seorang teman, lebih umumnya―untuk masuk ke rumah, untuk melihat isi rumahnya, untuk melihat bagian internal hidupnya.
Anehnya, Areum tidak merasa malu.
"Kau tidak terkejut melihat rumahku?" Saat Areum bertanya, entah keberanian apa yang merasuki gadis itu hingga berani membuka topik konversasi yang dulunya sensitif untuknya.
Mingyu mengernyit. Keduanya tengah melangkah beriringan menuju stasiun bus saat Areum tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu. "Terkejut? Memang ada apa di sana? Apa rumahmu mengandung sihir atau apapun?"
"Tidak, oh, astaga." Areum memutar bola mata, dan Mingyu hanya dapat terkekeh memikirkan gurauannya sendiri. "Kukira kau tidak nyaman singgah ke rumah kecil begitu."
"Rumahku juga tidak bagus," kata Mingyu, mengedikkan bahu santai. "Well, bukan sepenuhnya 'rumahku'. Kami tinggal di rumah sewa―aku, Jihoon, Seokmin, dan Wonwoo. Rumahku yang sebenarnya di desa, tapi juga tidak begitu bagus. Cat dindingnya mengelupas, atapnya banyak yang berlubang, malah tahun lalu sempat jebol karena ada tikus lari-lari di sana."
Areum tak bisa menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa. "Kau punya rumah di desa?" tanyanya, mendadak merasa tertarik.
Mingyu mengangguk. "Di provinsi Chungseong. Percayalah, kalau kau ke sana, mungkin kau akan lebih terkejut dibanding saat aku melihat rumahmu."
Areum tertawa. "Aku jadi penasaran bagaimana suasana di sana."
"Kalau begitu, akan kuajak kau ke sana."
"Jangan bercanda, Kim Mingyu."
"Siapa yang bercanda? Nanti, suatu saat. Pasti."
Kemudian keduanya tidak lagi berbicara sampai tiba di sekolah. Konversasi tadi siang kemudian menjadi suara yang terus berdengung dalam telinga Areum. Ia jadi penasaran, ada apa di rumah Mingyu? Ia jadi ingin tahu kehidupan internal pemuda itu.
Kini, Areum sedang duduk di kursi terpojok dalam aula, menyaksikan sebuah pertunjukkan musikal drama, persembahan khusus dari anak-anak anggota drama. Dari cahaya remang-remang dan dari sisi belakang, Areum bisa melihat beberapa teman Mingyu dari belakang: Jeon Wonwoo dengan seorang gadis―kalau tidak salah Mingyu pernah menyebut namanya sebagai Seungji―duduk di bangku tengah nomor lima, tertawa dan tampak layaknya pasangan bahagia (entah mereka berpacaran atau tidak). Kemudian, Seokmin―pemuda dengan senyum paling lebar yang kadang tampak konyol―duduk bersama sahabat barunya, Choi Seungcheol, di kursi belakang, seraya memakan banyak sekali cemilan. Hanya Jihoon (pemuda bermata kecil yang begitu galak) tidak tampak. Entah dimana.
Saat Areum masih mencari wajah Jihoon, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Mingyu di sampingnya, membawa dua bungkus popcorn berukuran kecil. "Untukmu, makanlah."
"Untuk apa?"
"Terima saja."
"Kim Mingyu―"
Namun Mingyu sudah terlebih dulu mengarahkan mata pada layar drama. "Sssh, aku sedang berusaha menikmati pertunjukan."
Areum membuang napas pasrah, tapi seulas senyum terukir pada pipinya. "Terima kasih," bisiknya. Ia menyuap beberapa butir popcorn seraya kembali mengarahkan padangan pada pertunjukkan―tanpa tahu, bahwa senyum Mingyu bangkit sebab ia mendengar ucapan terima kasih itu.
Betapa hangatnya festival musim panas.
***
Festival musim panas hari kedua berjalan cukup meriah. Pertunjukkan drama dimulai. Di luar, matahari masih bersinar terik. Di bawah tenda pun masih ramai oleh siswa dan orangtua. Bazar makanan masih terlaksana, pertunjukan tari Soonyoung dimulai. Panggung yang meriah. Diam-diam, mengamati tim penari melakukan tugas mereka dalam mengkaver lagu Seventeen berjudul 'Fear', dengan dentuman nada yang begitu keras dan mengetuk-ngetuk gendang telinga, Jihoon tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Kali ini ia tidak mengenakan earphone-nya (sejak festival dimulai, Hyera tidak pernah membiarkan Jihoon asyik sendiri dengan dunianya sementara bazar berlangsung dan panggung megah telah digelar).
Hyera akan selalu berkata, "Kau mirip seperti kaum no life, cupu, aneh, freak. Kalau ada keramaian, kenapa tidak berusaha nikmati itu? Setidaknya, lakukan demi teman-temanmu. Kau tak tahu Wonwoo dan Mingyu bervoluntir untuk membantu pelaksanaan festival?"
Kalau sudah dibegitukan, Jihoon tidak bisa membalas. Entah mengapa, tetapi katak-kata Hyera akhir-akhir ini bagai anak panah yang terbang dan sukses menancap ulu hati. Padahal kalau Wonwoo mengatakan hal serupa, atau ada siswa 'sok tahu' lain yang menasehatinya hal tersebut, Jihoon pasti langsung menyalak marah. Atau minimal, mengabaikan ucapan itu bagai angin berlalu. Namun efeknya berbeda saat Hyera yang mengatakannya.
"Hei."
Pemuda itu tersentak, sedikit terkejut saat melihat Hyera tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya dari belakang. "Oh, astaga. Kau tidak bisa belajar untuk menyapa lebih sopan?"
Hyera terkekeh, mengabaikan omelan Jihoon dan malah menyodorkan segelas milkshake bewarna biru cerah.
Jihoon mengernyit. "Aku tidak minum minuman manis."
Hyera balas mengernyit. "Kau tidak bilang," katanya, melirik dua minuman di tangannya (yang satu bewarna ungu yang Jihoon duga memiliki perisa blueberry, sebab gadis itu pecinta blueberry). "Tapi aku sudah membeli dua," lanjutnya kecewa.
Jihoon mendengkus, terpaksa mengambil segelas minuman bewarna biru cerah―membuat Hyera tersenyum penuh kemenangan. Pemuda itu menyesap sedikit minumannya, bergidik ngeri.
"Enak, 'kan?" kata Hyera, terekekeh. "Aku sudah terobsesi dengan minuman ini sejak hari pertama festival. Aku membelikanmu rasa bubble gum, katanya itu yang paling banyak dicari orang. Kau harus bersyukur kau bisa mencoba itu sebelum habis."
Jihoon mengedikkan bahu. "Aku tidak mengerti kenapa orang-orang suka menelan gula begini."
"Karena manis dan enak."
"Buat diabetes saja."
Hyera berdecak. "Kalau sedang senang-senang begini, bisa simpan omelanmu untuk nanti? Lagipula minum satu gelas tidak akan membuatmu kena diabetes, oke?"
Jihoon memutar bola mata, tapi menurut juga. Aneh. Kalau yang di sampingnya ini Seokmin atau Mingyu, bahkan Wonwoo sekalipun, pemuda itu pasti akan langsung menolak untuk menurut―mengingat tiga pemuda itu juga menyukai makanan-makanan manis. Namun, untuk Hyera, Jihoon sama sekali tidak masalah. Diam-diam pemuda itu malah merasa senang melihat Hyera tertawa begitu riang.
Keduanya kemudian duduk di salah satu bangku paling belakang di kursi penonton.
"Kau suka lagu itu?"
Jihoon melirik Hyera, sadar bahwa gadis itu memaksudkan lagu Fear yang kini hampir habis. "Kedengarannya menyenangkan. Melodinya enak, liriknya mudah dihafal."
"Well, kali ini tim Soonyoung benar-benar melakukan kerja bagus dalam pemilihan lagu."
"Kupikir juga begitu." Jihoon diam sejenak, mendadak ragu ia harus mengatakan ini. "Aku akan pulang ke desa selama musim panas."
"Oh." Kalau Hyera terkejut dengan kalimat Jihoon, gadis itu melakukan pekerjaan bagus dengan tidak menunjukkannya. "Kau tidak kembali?"
Jihoon mengernyit. "Maksudmu aku akan merelakan satu tahun SMA akhirku di kampung?"
Walau balasan tersebut terdengar sinis, entah mengapa berhasil menenangkan hati si gadis. Senyum Hyera bangkit perlahan. "Kukira kau memang senekad itu."
Jihoon tertawa kecil. "Tentu tidak. Aku lebih suka bergelut dengan rumus fisika ketimbang sawah."
Tawa saling dilemparkan, sebelum keduanya sama-sama diam. Hening menyambut, sementara keriuhan panggung festival tetap berlanjut. Hyera dan Jihoon disibukkan oleh pikiran masing-masing. Si gadis menyesap minumnya dalam diam, sementara sang pemuda hanya menatap aspal dan sepatunya secara bergantian.
"Begini―"
"Aku―"
Sontak, pembicaraan itu kembali terhenti saat keduanya hendak memulai konversasi di waktu yang sama. Jihoon dengan sigap segera berkata, "Kau dulu saja."
Hyera sempat membasahi bibirnya. "Jangan lupa kembali. Aku akan ... menunggumu."
Jihoon tersenyum kecil. "Kau juga, jangan terlalu lama di Seoul. Aku akan ... menemuimu."
Festival musim panas tahun itu menjadi kenangan yang tak terlupakan. Matahari yang bersinar terik, bau makanan stan yang memenuhi teras, lapangan sesak diisi oleh lautan siswa. Namun setiap detil tersebut akan menjadi kenangan yang terukir dalam tiap hati mereka: Bagi Seokmin, bagi Wonwoo, bagi Mingyu, dan bagi Jihoon.
Bagi seluruh siswa. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top