・s ᴍ ᴀ ʀ ᴛ ᴀ ɴ ᴅ s ᴡ ᴇ ᴇ ᴛ ʀ ᴇ ᴠ ᴇ ɴ ɢ ᴇ
IA tidak tuli.
Lima belas menit penuh; berdiri, mengepal tangan, bahkan tanpa sadar menggigit ujung lidah, Seokmin dapat merasakan bagaimana kerongkongannya dirayapi getir kala baru menapak dalam rumah, namun telinganya sudah disambut oleh perdebatan dahsyat dari kamar paling ujung; kamar milik Mingyu.
Tangannya mengepal. Buku jarinya memutih. Kukunya tertancap penuh di kulit. Namun alih-alih rasa sakit, si pemuda malah merasa kehampaan luar biasa memenuhi dada. Seluruhnya malah makin kabur dan sesak, apalagi tatkala ia mendengar suara Jihoon kala berkata, "Ini tidak adil."
Seokmin tersenyum miris, mendadak merasa malu pada diri sendiri. Benar, benar. Saat Mingyu terbaring lemah di atas ranjang dengan luka-luka menyakitkan di wajah, siswa lain masih dapat menikmati hari-hari sekolah seperti biasa. Saat ia di sini kehilangan harapan, bersusah payah untuk mengungkap kebenaran ... di luar sana Minghao dan Seungkwan malah menikmati kepopuleran mereka.
Ini tidak adil.
Tapi, apa ia benar-benar melakukan sesuatu? Bukankah dirinya adalah salah satu penyebab mutlak mengapa ketidakadilan ini menimpa Mingyu? Bahkan Jihoon peduli―Jihoon yang tak acuh dan selalu memprioritaskan tugas-tugas sekolahnya, hari ini memilih untuk membolos dan mengurus Mingyu. Lantas, bagaimana dengan dirinya sendiri? Toh tak peduli seberapa keras Seokmin berusaha menyangkal, satu fakta tak akan pernah berubah; bahwa dirinyalah yang memulai semua ini.
Ada banyak pengandaian yang berputar di kepala Seokmin sekarang. Kalau saja ia tidak bergabung dengan klub Seungkwan ... kalau saja ia tidak tergoda memikirkan masalah jaket bomber mahal beserta sepatu bermerk lain ... kalau saja dari awal ia bukanlah seorang pemuda dungu yang hanya memikirkan uang ...
Mungkin semua ini tak akan pernah terjadi.
Mungkin sekarang, Kim Mingyu pun tak harus menderita.
Detik itu pula, ia mendengar debuman pintu. Bahunya tersentak, ia melirik dan menemukan mata Mingyu tengah mengarah padanya.
Seokmin membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu namun Mingyu keburu pergi begitu saja, meninggalkannya termangu sendiri.
***
Tidak semua kebenaran itu menyenangkan. Ia bagai sebuah duri yang tertancap di kulit. Membiarkannya akan membuatmu kesakitan, tetapi sama halnya mencabut duri, butuh usaha besar juga untuk mengeluarkannya keluar. Selaras dengan kejujuran, butuh keberanian untuk berkata hal sebenarnya.
Kalau tidak salah, itu dikutip dari salah satu artikel favoritnya―tertulis dalam sebuah laman blog minimalis dengan format acak-acakan yang kadang membuatnya meringis. Namun, kalimat di dalam indah, sukses menari-nari dalam kepala dan tanpa disadari menetap di dalam sana.
Seokmin tidak pernah tahu kalau ia suka membaca. Selama bertahun-tahun hidupnya, buku menjadi salah satu hal yang ia hindari selama ia bisa. Namun kini, berdiri dengan jantung bergemuruh, melirik plang ruang guru dan gagang pintu besi yang membuat isi kepalanya semakin tak beraturan, seluruh kalimat itu mendadak kembali menggema dalam benak.
Hidup itu pahit. Terlalu pahit malah, hingga kini mendengar kebenaran terasa bagai menelan bongkahan kerikil bulat-bulat.
"Aku sudah mencoba," kata Wonwoo semalam, saat Seokmin bertanya mengapa ia tak lagi berkoar-koar pada guru untuk menyelidiki kasus Mingyu. Ia bahkan masih ingat ekspresi muram pemuda itu, bagaimana kedua matanya berkaca-kaca dengan senyum lelah terulas tatkala kembali melanjutkan, "Tetapi, tidak ada bukti lain. Tak ada saksi mata yang melihat hal janggal itu, bahkan Mingyu sendiri memilih untuk diam. Lantas, aku bisa berbuat apa?"
Saat itu Seokmin hanya dapat mengangguk-angguk kecil, menyimpan kepedihan dalam dirinya sendiri. Wonwoo sudah berusaha keras agar web diselidiki oleh sekolah, apa ia masih dapat berdiam diri sementara keadaan sudah berada di ujung tanduk seperti ini?
Seokmin menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menguatkan diri ketika langkahnya sudah berada di depan pintu ruang guru. Saat ia mengetuk dan hendak memutar gagang pintu, tanpa terduga seseorang tiba-tiba datang dan menggenggam tangannya kuat-kuat. Seokmin mendongak, berniat untuk melayangkan protes namun pemuda di hadapannya malah memasang tampang was-was kala menyela, "Ikuti aku."
"Apa-apaan in―"
"Diam dulu!" Seungcheol menukas tajam, "Bahaya kalau sampai ada yang melihatmu di sini."
Digertak demikian lantas membuat Seokmin bungkam seribu bahasa, dengan pasrah dan terheran hanya mengikuti kemana lawan bicara membawanya pergi. Keduanya sampai di atap sekolah, setengah terengah kala Seokmin berkata, "Apa yang kau lakukan?" Ia berhenti sejenak, menumpukan kedua tangan di atas lutut untuk mengatur napas. "Kau―kau tidak ikut jam self study?"
Seungcheol tak langsung menjawab, butuh beberapa detik untuk pemuda itu menyeka keringat dan menarik napas. "Ada yang lebih penting dari sekadar kelas. Kau―" Telunjuknya mengarah tepat di depan wajah Seokmin. "Apa yang ingin kau bicarakan pada Tuan Kim?"
Seokmin mengelak, "S-siapa yang mau mencari Tuan Kim?" Ia mengerjap, berusaha mencari pembenaran kala melanjutkan, "Aku ... a-aku hanya ingin memberi surat ijin Wonwoo dan Jihoon pada wali kelas."
Alasan yang payah. Refleks pemuda itu memejamkan mata, diam-diam merutuki lidahnya sendiri. Kebohongan yang terlalu mendadak sama sekali tak terdaftar dalam list bakat yang diberi Tuhan padanya. Atau well, itu sama sekali bukanlah kelebihan. Namun untuk beberapa situasi, Seokmin berharap mulutnya tidak secepat itu mengucapkan kalimat yang jelas tidak masuk akal. Wonwoo dan Jihoon memilih untuk masuk kelas hari ini, dan itu menjadi salah satu berita besar yang menghebohkan seisi sekolah. Beberapa senior bahkan sempat datang ke kelasnya hanya untuk menitipkan surat dan hadiah pada Mingyu lewat Wonwoo.
Dan Seungcheol pasti sudah mendengar kabar itu.
Namun alih-alih tawa atau hujatan, Seokmin sedikit tersentak kala satu tepukan mendarat pada bahunya. Ia melirik lawan bicaranya yang kini tersenyum tipis. "Aku tahu."
Kening Seokmin berkerut.
Seungcheol melanjutkan pelan, "Aku tahu Mingyu tak bersalah malam itu."
"Apa?"
"Aku tidak sengaja melihat Mingyu malam itu―bersembunyi di balik semak seolah sedang mengikuti seseorang."
"Lalu?" Seokmin menelan saliva, dapat merasa gemuruh hebat dalam dada. Kedua bola matanya merekah penuh kuriositas saat melanjutkan, "Apa yang terjadi?"
"Mingyu mengikuti seseorang. Lebih tepatnya dua orang. Awalnya aku tidak tahu apa yang pemuda itu lakukan sendirian tengah malam di tempat yang sepi dan gelap. Ia juga terus berjalan menjauh dari vila jadi kuputuskan untuk mengikutinya."
"Siapa ..." Tenggorokan Seokmin tercekat. "Siapa yang Mingyu ikuti?"
Jeda sejenak.
"Areum," Seungcheol menyahut, terlampau serak. "Han Areum dan Chwe Hansol."
Seokmin mengerutkan kening. Tidak, ini tidak benar. Seungkwan berkata bahwa Minghao menghubunginya langsung setelah melihat Mingyu pergi ke kamar Areum dan mengajak gadis itu untuk pergi keluar tengah malam. Seungkwan juga berkata, bahwa ini bisa menjadi salah satu pelajaran berharga sebab Mingyu menjadi lelaki kurang ajar—fakta yang langsung Seokmin telan mentah-mentah.
"Apa yang mereka lakukan berdua?"
Seungcheol mendengkus. "Apapun yang terjadi di sana, aku adalah saksi bahwa Mingyu tak bersalah."
"Lalu, apa yang sebenarnya ia lakukan di sana? Mengikuti Areum dan Hansol kencan? Apa kau pikir tindakannya benar?!"
"Seokmin, dengar. Kau tak tahu apa-ap―"
"Kalau begitu jelaskan!" teriak Seokmin setengah frustrasi. "Aku tahu aku salah dengan menulis artikel mereka di web. Aku juga salah telah menyebarkan foto itu di web berbayar. Tapi tidakkah itu setimpal? Dia sudah pergi berdua dengan seorang gadis. Di tur sekolah. Tidakkah kau pikir itu menjijikkan?"
"Kau yang menulis berita di web?" Seungcheol ternganga tak percaya. Pemuda itu sudah mencoba untuk menahan diri sejak tadi, tapi melihat bagaimana putus asanya Seokmin membuat pemuda itu mau tak mau dilanda iba. Ia bisa merasakan persis bagaimana yang Seokmin rasakan; bagaimana rasa panas dan penyesalan bergumpal di sana dan kian membesar layaknya gumpalan lem. Ia bahkan nyaris tak dapat mendengar suaranya sendiri kala menjawab begitu lirih, "Hansol menyentuhnya."
"Apa?"
"Malam itu." Jemari Seungcheol mengepal. "Aku dan Mingyu menjadi saksi atas tindakan tidak senonohnya itu. Entah apa yang terjadi pada Areum kalau Mingyu tidak datang dan menghajar Hansol."
"Tidak ... tidak, tidak." Seokmin masih tak bisa percaya dengan fakta yang baru ia dengar. "Jadi kau pikir, berita di web dan keroyokan esok hari terjadi karena ..."
Seungcheol mengangguk. "Hansol tidak terima dikalahkan oleh Mingyu begitu saja."
"Tidak bisa dipercaya." Gigi Seokmin gemeretak. "Bagaimana bisa ia melakukan itu pada seorang gadis?"
"Jangan pernah percaya dengan orang-orang seperti mereka. Chwe Hansol dan dua putra mahkota itu licik. Mereka bersedia melakukan apapun untuk menyenangkan diri mereka―bahkan bila itu merugikan orang lain."
"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melapor ke Tuan Kim."
Seungcheol langsung menahan tangan Seokmin. "Tidak, kau tidak bisa."
"Kenapa tidak?! Sahabatku sudah dituduh sebagai orang mesum dan bahkan terkena detensi sebab berita di web. Aku harus bertangung jawab untuk itu."
"Kau pikir Hansol akan membiarkannya begitu saja?!" Suara Seungcheol meninggi. Pemuda itu mengepal tangan, rahangnya yang tajam terlihat mengeras. Ia sudah cukup berdiam diri dan mendengar gunjingan banyak siswa pada orang tak bersalah. Ia sudah cukup melihat orang yang berkuasa menang, orang yang jelas harus bertanggung jawab dengan kesalahan mereka. "Aku mendengar semuanya―percakapanmu dengan Seungkwan dan Minghao di café hari itu. Kalau kau ingin membalas mereka, maka tunjukkan hukuman setimpal."
"Hukuman setimpal ...? Maksudmu melapor ke guru tidaklah cukup?"
"Tidak. Mereka pasti akan lolos dengan mudah." Seungcheol mendengkus. Sejenak merapatkan kedua bibir, pemuda itu kemudian menyipitkan nata, mendekat beberapa senti pada lawan bicara sebelum berbisik, "Kalau kau ingin melawan seseorang yang berkuasa, maka hanya ada satu cara mengalahkannya: dengan media." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top