・ᴋ ɪ ᴍ s ᴇ ᴜ ɴ ɢ ᴊ ɪ

↮↮↮↮




⇂⇃

( K i m S e u n g j i )

KENDATI sudah berlalu empat jam terhitung sejak kejadian memalukan itu bermula, Jeon Wonwoo masih tak dapat menghapus secara utuh perasaan malu yang tertumpuk.

Pemuda itu berkali-kali mendengkus, mengacak surai, bahkan ketika Tuan Woo menjelaskan mengenai diksi dan puisi―yang seharusnya dapat menjadi pelajaran favoritnya sebab ia menyukai novel dan tulisan adalah cemilan mata yang menyenangkan, Wonwoo malah membuat kegaduhan di kelas dengan tiba-tiba berteriak seraya mengacak surai frustrasi, "Sial!"

Seisi kelas lantas memandanginya.

Oh, tidak. Habislah sudah.

"Jeon Wonwoo, apa-apaan?! Kalau kau memang tidak menyukai kelas saya dan hanya ingin mencari sensasi, keluar sana!"

Wonwoo yang saat itu mengerjap lugu, terpaksa harus menundukkan kepala dalam-dalam dan menyeret tungkai keluar kelas. Oh, jangan tanya seberapa dalam rasa malu yang diderita pemuda itu. Berteriak tiba-tiba dan diusir secara langsung oleh guru tidak pernah tercatat dalam daftar 'kegiatan produktif yang harus dilakukan selama jam sekolah'. Jadi sial, sial sekali sebab agaknya hari ini keberuntungan sama sekali tidak memihak pemuda itu.

Wonwoo menghela napas, memijat pelipis gusar tatkala punggungnya disenderkan pada dinding koridor. Namun di tengah denyut kepala yang pusing tak karuan, pemuda itu malah terkejut saat tiba-tiba sebuah tangan tersodor ke arahnya, menyerahkan sebuah dompet kulit dan―

Tunggu.

Tunggu dulu.

Mengapa bentuk dan warnanya mirip dengan dompetnya sendiri, ya?

"Apa―ehm, apa ini milikmu?"

Wonwoo mendongak, terkesiap saat itu juga. Refleks pemuda itu bahkan membalikkan tubuh, luar biasa menahan malu. Sebab lawan bicaranya adalah gadis itu; gadis bersurai hitam, gadis berkacamata dengan netra bulat lucu, pula gadis yang tadi berteriak dan memergokinya salah masuk kamar mandi.

Hidup benar-benar sedang bermain-main dengannya.

Pemuda itu tertawa garing, berusaha mengangkat 'wibawa' dan harga diri, ia lantas menyahut, "Ah, sepertinya kau salah, aku tidak―"

"Aku menemukannya di toilet tadi," sela gadis itu seolah tahu apa yang hendak Wonwoo ucapkan, "ada uang lima ratus ribu won beserta kartu pelajar dengan fotomu."

Uang lima ratus ribu won. Wonwoo mendelik, baru sadar bahwa ia baru saja mengambil jatah bulanan yang ditransfer ibunya semalam. Bisa habis kalau uang itu hilang begitu saja.

"Tetapi well, kalau memang bukan milikmu, aku aka―"

"Ah, sepertinya itu memang punyaku," kata Wonwoo salah tingkah, buru-buru mengambil dompet dari tangan halus sang gadis. "Terima kasih, tetapi bisakah kau menyimpan kejadian tadi hanya untuk kita berdua?"

Si gadis mengernyit, memiringkan kepala bingung.

"Ah, kejadian tadi," Wonwoo menggaruk tengkuk, tampak kesusahan memilah kata saat mengatakan, "kau tahu, saat aku salah memasuki bilik toilet, aku sungguh tidak sengaja."

Namun di luar dugaan, gadis di hadapannya terkekeh pelan. Wonwoo mengernyit, tetapi akhirnya terpana.

"Aku tahu," gadis itu menyahut, "maksudku, pria mesum pasti memiliki caranya sendiri untuk menyusup ke toilet perempuan―kau pasti sudah membekapku saat aku berteriak tadi. Tapi kau ... kau bahkan tampak seperti anak ayam yang kehilangan induk saat tadi gegalapan keluar toilet. Ya, aku sempat mengecek bilik toilet bekasmu," ia mengendikkan bahu, "kalau-kalau kau memasang kamera pengintai atau apapun. Tetapi, tidak ada apapun."

Wonwoo tercenung. Mendengar si gadis sampai mengobservasi sejauh itu jelas membuatnya kagum. Biasanya gadis-gadis akan langsung membeberkan gosip pada teman seangkatan, yang berakhir menjadi berita memalukan di mading sekolah. Jadi mengulas senyum lega, agaknya nada tulus benar-benar tercetak dalam suaranya tatkala berkata, "Terima kasih."

Gadis itu mengerutkan kening. "Untuk?"

Wonwoo mengendikkan bahu. "Menemukan dompetku, mungkin? Dan untuk tidak berpikiran negatif padaku."

Sekon demi sekon seolah bergulir lambat, kala gadis di hadapannya mengukir senyum lebar. Namun alih-alih membalas ucapan terima kasih Wonwoo, ia malah mengulurkan tangan. "Kim Seungji."

Wonwoo membalas dengan genggaman hangat. "Jeon Wonwoo."

Dan saat itu, entah apa yang merasuki Si Jeon, ia tiba-tiba tidak lagi merasa resah, tak lagi gundah gulana walau sadar kini ia telah didepak dari kelas. Pemuda itu malah mengajukan pertanyaan macam-macam pada lawan bicara, menanyakan kelas, mengapa bisa datang dan menemuinya kemari padahal jam pelajaran tengah berlangsung, kemudian waktu bergulir dan keduanya menjadi teman.

Dulu, Wonwoo ingat sebuah kutipan dalam bukunya bahwa saat terburuk dalam hidupmu bisa membawamu pada saat-saat menakjubkan. Dan ternyata itu benar. Hari terburuknya berakhir dalam balutan mimpi indah. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top