・ɪ ʟɪᴋᴇ ᴍᴇ ʙᴇᴛᴛᴇʀ ᴡʜᴇɴ ɪ'ᴍ ᴡɪᴛʜ ʏᴏᴜ

"ANGGOTA OSIS tahun lalu berhasil mendapat sponsor untuk tenda dan panggung, plus tujuh stan bazaar tanpa dipungut biaya sepeser pun. Lalu ini ...?"

Melirik wajah lawan bicara yang sudah memerah menahan tensi, leher menegang hingga menampilkan urat, Seungji hanya dapat meremas ujung rok gelisah, diam-diam menggigit bibir seraya merapalkan doa dalam hati. Semoga ia tidak marah, semoga ia tidak meledak-ledak, semoga ia

Terdengar helaan napas dari lawan bicara. "Sebenarnya kau niat tidak, sih?"

Jantungnya seolah baru dihantam keras. "A-apa?"

Jae Won mendecih, hidungnya kembang-kempis masih menahan kesal, kedua alisnya bertaut menampilkan bilah ekspresi berbeda: heran, gusar, namun juga murka. Ini barangkali sudah kedua atau ketiga kalinya dalam hari ini seseorang datang ke mejanya, mengatakan sesuatu, dan sukses membuat si pemuda menepuk dada atau menggebrak meja sebab naik pitam.

Surainya yang biasa tertata lurus di depan kening kini sudah tak berbentuk―campuran gel dan keringat selama berjam-jam membaca laporan. Agaknya Seungji paham mengapa pemuda itu begitu keki hari ini: Jae Won adalah ketua sekaligus perwakilan OSIS tahun ini yang bertanggung jawab untuk festival musim panas kelak.

Dan kurang dari sebulan acara itu akan diselenggarakan.

"Jawab aku, Seungji." Suaranya yang datar kian membuat Seungji semakin kesulitan menelan ludah. "Kalau kau memang tidak ingin bekerja untuk festival sekolah, maka silakan tulis surat pengunduran diri dan aku akan membantumu menyampaikannya pada kepala sekolah."

"Tidak." Suara Seungji terdengar parau, jauh lebih pelan dari yang ia duga. Namun mengabaikan dentum jantung yang tak karuan, gadis itu malah membungkuk, menunduk dengan tulus hati kala berkata, "Maafkan saya. Seharusnya saya menyampaikan ini di awal. Saya ... saya hanya takut hal ini akan membuat teman-teman merasa kecewa dan―"

"Dan kau memilih untuk merahasiakannya?"

Seungji hanya menunduk semakin dalam.

"Kau ... astaga, aku tak percaya kau melakukan ini." Jae Won memijat pelipis. Nadanya meninggi kala berkata, "Kau tahu apa yang kau―apa yang kita―lewatkan?! Aku tidak akan semarah ini kalau kau memberitahu dari awal bahwa kita gagal mendapat sponsor tenda! Seungji, ayolah! Kau bukan anak TK yang harus disuruh-suruh lagi, bukan?!"

Seungji dapat merasakan tatapan mata para anggota OSIS yang lain bertengger di punggungnya. Kala ia mendengar dengkusan keras dari beberapa siswa, Seungji refleks mengangkat kepala.

Matanya membulat sempurna.

Jae Won merobek seluruh laporannya.

Dan itu bukan hanya empat atau lima lembar.

Itu lima belas lembar. Lengkap dengan seluruh catatan keuangan OSIS dari bendaraha, bantuan dari siswa dan wali murid, anggaran biaya, beberapa dana dekorasi, penjelasan mengenai konsep festival dan informasi penting lainnya. Seungji ingat ia menghabiskan lima jam semalam untuk menyelesaikan laporan akhir―belum termasuk waktu yang ia korbankan untuk pergi ke warnet sebab mesin print-nya rusak mendadak.

Kini, seluruhnya hancur; seluruh kerja kerasnya tercerai-berai menjadi kepingan tak berguna.

"Selanjutnya, sie keamanan!"

Tanpa merasa bersalah, Jae Won kembali duduk di tempatnya dan memanggil siswa lainーmengabaikan Seungji yang masih terpaku.

"Tunggu, saya bisaー"

"Ayo cepat!" tukas Jae Won, sesaat mengabaikan eksistensi Seungji di sana. "Kita sudah kehilangan sebuah sponsor besar, jangan sampai acara ini rusak hanya karena kinerja lamban!"

Kemudian, ia menghela napas. Pemuda itu menyempatkan diri melirik Seungji dan berkata pelanーterlampau lelah untuk kembali berteriak, "Pikirkan saja bagaimana caranya festival besok bisa berjalan dengan baik walau tanpa tenda." Ia berdecih sinis. "Atau well, mungkin kau bisa menggantinya dengan uangmu sendiri―kalau kau mampu, tentu saja. Baik, semua! Kita lanjutkan rapatnya."

Seungji menahan napas. Kalimat Jae Won barusan lantas mengirim sengat dalam dirinya, sukses membuat si gadis meremang dalam diam. Ia tahu, Jae Won bukannya tanpa alasan mengucapkan sindiran sekasar itu. Sebab tentu, semua orang di sini tahu satu fakta terpendam yang sengaja dibungkam rapat-rapat, bahwa ...

"Hei, Jae Won! Tidakkah kau terlalu kejam pada seorang siswa yang bisa kemari dengan beasiswa?" Tawa mengudara. "Jangankan membeli tenda, ikut menjadi panitia saja seharusnya ia sudah bersyukur."

Seungji hanya diam.

Jae Won hanya memutar bola mata. "Sudah, sudah! Tak peduli siswa beasiswa atau bukan, itu tetap tanggung jawabnya."

Seungji menahan gelegat nyeri dalam dada. Dalam sisa rapat selama empat jam itu, ia terus menggigit bibir bawah. Berkali-kali menjilat darah sendiri namun semua itu sepadan untuk dilakukan. Rasa malu, sedih, kesal, murka, kecewa―semua bercampur menjadi satu dalam dada. Tidak, ia tidak marah pada Jae Won atau pada siswa-siswa. Gadis itu mengerti mengapa mereka begitu sensi. Kalau kau menjadi penanggung jawab acara festival sekolah dan kurang dari sebulan anggotamu mendadak berkata bahwa ia tidak berhasil mendapatkan sponsor untuk tenda ... bagaimana kau akan bereaksi?

Kini setelah kerumunan rapat bubar, ia tak tahu bagaimana harus menyelesaikan masalah sponsor tenda, ia tak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada Jae Won dan anggota OSIS lain bahwa bukannya ia tak mau mengatakan ini sejak awal, tetapi ia tak bisa.

Ia tak bisa membuat dirinya tampak tak kompeten di hadapan anggota lain.

Selama nyaris enam bulan terakhir, si gadis telah mengirim sponsor ke puluhan perusahaan. Hasilnya? Tak ada.

Dan kini, festival tersisa dua puluh hari lagi.

Seungji mendengkus lelah. Rapat telah usai, tapi benaknya malah makin kalut. Tepat saat melewati tikungan di koridor, gadis itu tak memperhatikan langkah dan tanpa sadar menubruk seseorang. Seungji mengerjap, refleks membungkuk dan meminta maaf sebelum suara familiar menyentuh telinganya, "Kim Seungji?"

Seungji mendongak. "Wonwoo?" Senyumnya terbit walau tipis. "Ini sudah sore, kau yakin tak akan mendapat masalah sebab pulang terlambat?"

"Memang ada yang ingin mencari masalah dengan anak rantau yang tinggal dengan tiga temannya ini?" Wonwoo tersenyum kecil, sekilas menunjukkan deretan gigi taringnya sebelum kembali menyambung, "Kurasa, tidak."

Seungji tak dapat menahan tawa. Jeon Wonwoo itu pemuda yang tak terduga, sulit dibaca, dan selalu penuh oleh kejutan. Di sisi tertentu Seungji sering berpikir bahwa pemuda itu cerdas dengan caranya sendiri. Ia berhasil memecahkan banyak kuis riddle saat perkemahan lalu, ia pula satu-satunya pemuda yang Seungji kenal, yang masih mengagumi karya Shakespeare dan Jane Austen. Entahlah, ada sesuatu dalam diri Wonwoo yang membuat Seungji merasa nyaman. Bahkan dari caranya menatap, berbicara, tersenyum, bahkan mengelupas bibir saat sedang berpikir―semua kebiasaan kecil itu mampu membuat Seungji terpana.

Siapa bilang kau harus mendapat peringkat pertama untuk disebut 'cerdas'?

"Tapi itu juga tak membuatmu bisa keluyuran semalaman. Bagaimana kalau teman serumahmu khawatir?"

"Aku juga tidak akan keluyuran semalaman." Pemuda itu terkekeh geli, hanya beberapa detik sebelum kemudian tatapannya jatuh pada iris Seungji. "Aku menunggumu."

"Hah? Apa?" Nyaris tak memercaya indra pendengaran sendiri, Seungji tak fokus dengan langkahnya hingga tersandung sesuatu. Ia tak tahu apa itu. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, si gadis bahkan dapat merasa pergelangan kakinya terputar dan ia merasa nyeri luar biasa saat rengkuhan kekar seseorang bertengger pada pinggangnya.

Semua terjadi dalam sepersekon yang kelewat cepat.

"Kau baik-baik saja?" tanya Wonwoo khawatir.

Te ... terlalu dekat.

Seungji buru-buru berdiri, mengerjap salah tingkah. Wajahnya memanas, jantungnya bergemuruh hebat. Adegan barusan seperti cuplikan drama romansa yang sering ia lihat di kanal Youtube. Seorang perempuan jatuh, ditolong sang pangeran utama pria. Kemudian mereka jatuh cinta dan ...

Oh, astaga.

"Hei, apa kakimu masih sakit?"

"Ah, t-tidak." Seungji menggaruk tengkuk canggung. "Terima kasih telah membantuku."

Wonwoo mendengkus setengah tawa. Pemuda itu kemudian membenarkan posisi tasnya, setengah memaksa untuk menuntun Seungji sampai di kursi pinggir koridor. Ia bahkan menyempatkan diri pergi ke ruang kesehatan untuk mengambil perban dan salep―lagi-lagi dengan sedikit memaksa sebab Seungji sudah menolak―dan dengan hati-hati mengoleskannya pada kaki Seungji.

"Untung terkilirnya tidak parah, aku pernah diajari cara pijat tradisional dulu."

Seungji memandangi kakinya yang kini dibalut perban, tersenyum kecil sebelum menoleh pada Wonwoo. "Terima kasih. Dan maaf juga karena merepotkanmu."

Di sampingnya Wonwoo mendengkus santai. "Tidak usah merasa bersalah, ini hal kecil. Tenang saja."

Tetap saja, Seungji merasa tak enak. Jadi menggigit bibir, gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "Ada apa menungguku tadi? Apa ada yang bisa kubantu?"

"Ini tentang Mingyu." Wonwoo tak langsung melanjutkan. Pemuda itu seolah tengah memutar otak, memilah kata sebelum berujar, "Kau dengar sendiri bagaimana sekolah melihat kasus itu sebagai kecelakaan."

Seungji mendengar dengan sabar.

"Sampai gosip baru muncul." Wonwoo dapat merasa tenggorokannya tercekat. "Gosip tentang ... Hansol dan teman-temannya. Kau tahu, ada banyak kejanggalan dari akun itu. Akun anonim, tapi memiliki foto dan sejarah yang lengkap akan kejahatan Hansol. Aku jadi bertanya-tanya, apa ini ada hubungannya dengan pengeroyokan Mingyu?"

Wonwoo mengelupas bibirnya lagi. Keningnya berkerut, ekspresinya kelewat serius. "Tapi kalau memang benar pelakunya Hansol, kenapa Mingyu memilih untuk diam alih-alih berujar? Bukankah ini hal yang aneh?"

"Tanpa bukti, semua hanya jadi dugaan yang tak pasti," Seungji menyahut. "Aku memang tidak begitu mengenal Mingyu atau Hansol, tapi aku tahu kau pemuda yang baik. Kau tidak akan pernah membiarkan sahabatmu terluka begitu saja."

Melebarkan senyum, menepuk singkat bahu sang pemuda, Seungji melanjutkan, "Jadi, jangan pernah menyerah untuk mencari kebenarannya."

Wonwoo menatap lurus-lurus iris lawan bicara, kedua sudut bibirnya mengukir senyum yang tulus. "Terima kasih."

"Terima kasih?" Si gadis mengerjap bingung. "Tapi aku belum membantu apapun."

"Terima kasih karena telah mendengar ceritaku. Itu sudah cukup."

Ah, mengapa terasa hangat?

Bahkan setelah pemuda itu kemudian beranjak pergi, melambai dan berbalik, Seungji tetap merasa satu hal berdentum-dentum dalam dada. Namun ia tak tahu itu apa. Apa itu cinta? Apa itu rasa suka semata? Entahlah. Ia hanya tahu satu hal: bahwa berada dekat dengan Wonwoo membuatnya merasa nyaman, bebas, dan ringan―terlepas dari segala hal buruk yang menimpanya beberapa jam silam. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top