Bab 6 - UAS
Senin pagi yang cerah, cocok sekali untuk memulai Ujian Akhir Semester.
Raut wajah tertekan terlihat jelas di wajah siswa yang sangat mengutuk adanya pelajaran hitung-hitungan yang disertai logika, seperti Fisika, Matematika, sampai Kimia.
Kaivan bahkan sudah menyerah dari jauh hari sebelum ujian dimulai.
Bayangan mengenai soal-soal yang pernah Naufal berikan, beserta semua penjelasan teori Fisika dan Kimia yang Naufal paparkan. Kejadian mengerikan itu masih terekam jelas dalam benak Kaivan. Ia muak dengan semua soal berbau angka, hitungan, dan logika.
Di tengah terik matahari pagi yang menemani kegiatan apel pagi yang baru berlangsung selama 5 menit, sudah cukup banyak siswa mulai berbisik. Mereka bertanya-tanya tentang jenis soal apa yang mereka dapati nanti. Dari gossip yang beredar, para guru membuat 3 paket soal berbeda untuk satu mata pelajaran.
Naufal yang mendengar bisikan-bisikan anonim dari kelas sebelah hanya bisa terkekeh, "Kalau lagi beruntung, bisa dapat yang gampang tuh. Ah, tapi kalau aku sih... sama aja rasanya."
Tetapi Kaivan menolak keras opini Naufal barusan dengan jeritan kecil. Membuat beberapa orang yang berdiri di dekat mereka serentak menyuruh diam.
Setelah 3 menit berlalu, Naufal mulai uring-uringan. Pemuda itu tidak suka panas-panasan. Tersengat sinar matahari secara langsung membuat pikirannya menjadi kacau.
Ketika dia berbalik menghadap ke belakang, Naufal mendapati Rafan yang tengah meneguk air minum.
Sedikit informasi, sekolah ini memperbolehkan siswa untuk membawa air minum ketika upacara atau apel pagi. Semua upaya dilakukan SMA Grand Stellar demi mengurangi jumlah siswa yang bolos ke UKS hanya karena merasa kepanasan dan dehidrasi.
Lebih tepatnya, seksi kesehatan tampak muak mengangkat murid lain yang berpura-pura pingsan supaya bisa berteduh di ruang ber-AC UKS dan mendapat minum gratis.
"Mau?" tanya Rafan.
Namun, alih-alih memberikan botol minum yang dipegang. Rafan malah meneguk habis airnya sambil mengelus tenggorokan. "Ah, nikmat..." goda Rafan seraya tertawa mengejek.
Kaivan sadar kalau sebentar lagi mereka akan cekcok. Daripada kena teguran lagi, Kaivan memutuskan segera memberi Naufal botol minum biru miliknya yang lebih besar dari botol milik Rafan.
Setidaknya dengan begitu mereka bertiga tidak terkena masalah sebelum ujian mulai.
***
Bisa-bisanya di hari pertama ujian, Ileana malah bangun kesiangan. Mungkin ini karena semalaman ia asik menulis jurnal.
Benar, jurnal. Alih-alih menulis jurnal untuk belajar, Ileana malah sibuk membuat jurnal yang berisikan tentang perasaannya yang semakin menggebu-gebu terhadap Rafan. Ia tidak melewatkan satu hari pun untuk mengisi jurnal tersebut.
'Seenggaknya kalau suka sama Rafan, aku jadi lebih produktif dari biasa. Walau bukan produktif belajar sih,' batin Ileana.
Ibu Ileana, Emily Florensia, hanya bisa menggeleng-geleng pasrah melihat anak perempuannya telat pada hari pertama Ujian Akhir Semester.
"Lea, itu rambutmu kok belum disisir sih? Berantakan sekali," tegur ibunya sambil mempersiapkan baju kerja sang suami.
"Sudah disisir kok, Bu," balas Ileana masih sibuk mengunyah nasi goreng mentega buatan sang Ibu.
"Masa, ah? Pakai apa coba?" Emily mendadak mengintrogasi Ileana.
Suara batuk terdengar dari mulut sang gadis, ternyata ia tersedak. Dengan segera, gadis itu mengambil air munum, lalu menjawab interogasi si Ibu. "Pakai sisir lah, Bu. Memang pakai apa lagi?"
"Sudah ya, Bu. Lea mau jalan dulu. Telat banget ini!" pamit Ileana bergegas mencium tangan Emily, lalu berlari keluar rumah, dan segera mengambil sepedanya.
Hari ini menjadi hari tersial bagi Ileana. Sudah bangun kesiangan, tiba-tiba ibunya mengintrogasi hal yang mungkin tidak perlu diperdebatkan terlalu serius, buruknya lagi, ujian hari ini terdiri dari mata pelajaran Fisika dan Bahasa Indonesia. Semakin memancing rasa panik dalam hati Ileana.
Dengan kecepatan tinggi, Ileana mengayuh pedal. Semoga saja gadis itu tidak melewati jam pertama ujian.
***
Rafan membolak-balikkan soal ujian. Tidak disangka kalau kisi-kisi yang Rafan pelajari sehari sebelum ujian, ternyata keluar di paket soal yang ia dapatkan.
Pulpennya mulai bergerak mengisi tiap soal yang mudah lebih dulu. Rafan memiliki prinsip, kalau yang susah dulu dikerjakan, nanti sisa waktu ujian malah terbuang percuma.
Melihat banyak tipe soal mudah yang Rafan dapat, seketika membuat pemuda itu berimajinasi kalau ia mampu menempati peringkat satu kali ini dan mengalahkan Naufal.
Setelah selesai mengerjakan sebagian, Rafan beralih ke soal yang sedikit sulit.
Di soal kali ini, pemuda itu memerlukan penggaris. Mengingat guru fisika kelas XI-IPA 1 suka mengurangi nilai kalau lembar kerja ujiannya kotor atau tidak rapih, ia merasa harus lebih hati-hati dalam menjawab setiap soal di lembar jawabannya.
Ya, guru satu itu memang sangat anti dengan tip-x. Bisa-bisa dikira tidak belajar di hari sebelumnya karena dianggap ragu ketika mengisi lembar jawaban. Padahal kalau menurut Rafan, salah tulis itu termasuk human error, bukan murni tidak bisa menjawab. Sekali lagi, itu hanya menurutnya.
Melihat salah satu soal memerlukan penggaris, sang pemuda segera membuka tas, Rafan mendapati dua buah penggaris di dalam tas. Satunya adalah penggaris yang biasa ia bawa, dan satu lagi penggaris yang biasa ia letakkan di meja belajar.
'Pantas saja semalam penggaris di meja belajar tidak ada,' batin Rafan sambil mengambil salah satu penggaris.
Rafan melihat pintu kelas terbuka. Matanya menangkap sosok Ileana yang tampak panik dan kebingungan. Sekilas ia mendengar kalau gadis itu membutuhkan penggaris.
Sebelum guru pengawas ujian bertanya, apakah ada siswa yang membawa dua penggaris, Rafan sudah berjalan lebih dulu mendekati Ileana.
"Kamu butuh penggaris, ya?" tanya Rafan.
Ileana mengangguk sambil menjawab, "Iya, aku telat terus pas sampai baru sadar penggarisku ketinggalan...."
Sadar dirinya terlalu bertele-tele, Ileana langsung meminta maaf, "Aduh. Maaf, agak too much information! "
Rafan tertawa kecil. Tangan kanannya menyodorkan penggaris besi.
"Nih, aku kebetulan bawa dua. Pake aja dulu, ya. Balikinnya bisa nanti-nanti, kok," ujar Rafan sambil menaruh penggaris besinya di tangan Ileana.
Gadis itu langsung berterima kasih pada Rafan karena sudah menyelamatkan harinya. Tentu saja, sebagai teman sekelas yang baik, Rafan harus membantu, kan?
***
Naufal menatapi Ileana yang tidak berhenti tersenyum. Masalahnya, sepupunya ini sudah tersenyum sejak awal mengerjakan Fisika sampai selesai, dan masih berlanjut. Bahkan kini ia mulai tertawa-tawa sendiri.
Bukan apa-apa, Naufal hanya takut Ileana dikira orang gila. Itu saja.
Sedangkan Kaivan langsung tahu penyebab Ileana menjadi seperti ini. Iya, secara tidak langsung Kaivan lagi-lagi menjadi saksi budak cinta Ileana ke teman sekelasnya. Siapa lagi kalau bukan Rafan.
"Ileana, bangun... Ileana! Aku tidak tahu seberapa susah soal yang kamu dapat, tapi jangan jadi gila dulu, Ileana!" bisik Naufal berusaha menyadarkan Ileana yang masih tertawa kecil.
Kaivan yang duduk di belakang Naufal pun memajukan punggung sebelum berbisik, "Dia tuh salting sebenernya. Tadi habis dipinjemin sesuatu sama Rafan," jelas Kaivan sambil mengulum senyum.
Alasan kenapa Kaivan bisa mengetahui hal itu karena ia melihat adegan Ileana mendapat pinjaman penggaris dari Rafan, ketika ia ingin menemui guru mata pelajaran untuk menanyakan gambar dalam soal yang tampak kurang jelas.
Naufal yang mendengar cerita tersebut, kedua matanya seketika membelalak. "ILEANA DIPINJEMIN SESUATU?"
Semua mata langsung tertuju pada Naufal. Guru pengawas pun yang semula diam hanya menatap layar ponsel sampai berdiri dari duduk. "Ada apa Naufal? Apa kamu melihat Ileana mendapat kertas contekan?"
Tersangka yang dituduh secara sepihak oleh guru langsung menunjukkan raut bingung dan melempar tatapan penuh kekesalan pada Naufal.
Sadar kalau ia kelepasan, Naufal langsung menggeleng, "Tidak, Pak... bukan."
"Lalu kenapa kamu menyebut Ileana dipinjamkan sesuatu?" desak Pak Guru.
"Itu..." Naufal mencoba memutar otak. Hal apa yang mungkin terdengar masuk akal bagi gurunya saat ini. "Tadi Kaivan cerita kalau dia lihat mama saya meminjamkan buku merah besar yang dari ciri-cirinya saya rasa seperti buku Teori Kuantum milik saya, Pak. Saya cukup terkejut karena... Bapak tahu sendiri, kan... Ileana tidak mungkin membaca buku seperti itu." Kebohongan sempurna itu ditutup oleh senyum ramah.
"Jadi kamu kerja sama dengan Kaivan selama ujian?"
Jelas bukan respon ini yang Naufal harap.
"Bukan Pak... bukan. Ya masa saya kerja sama dengan Kaivan? Ih si Bapak mah suka gitu deh," Naufal coba melemparkan candaan pada guru itu.
"Kalau kamu sudah selesai mengerjakan, segera keluar dari ruangan. Jangan membuat keributan dan mengganggu siswa lain yang masih harus berkonsentrasi mengerjakan ujian."
Naufal mengangkat lembar ujiannya, "Sisa 2 nomor lagi yang esai, Pak." Senyum Naufal tampak semakin lebar. Sementara Kaivan di belakang hanya bisa membenamkan wajah di atas meja dengan kedua tangan yang sibuk menutupi mulut agar ia tidak kelepasan tertawa.
"Kerjakan di sebelah saya. Kalau sudah segera keluar!" tegas sang Guru yang disambut dengan senyuman Naufal yang perlahan membawa lembar ujian beserta peralatan tulisnya ke meja guru.
Selama berjalan, ia bisa melihat tatapan tajam Ileana. Bibir mungil gadis itu bahkan jelas mengucapkan, 'Mampus!' tanpa mengeluarkan suara.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top