Bab 2 - Menikmati Pesona Gebetan

Ileana mengembuskan napas lelah. Ruang kelas yang biasa ramai, kini terasa sepi, sejak 1 jam lalu bel pulang sekolah berbunyi. Ia merasa sudah menunggu lama, sampai kedua teman dekatnya menyelesaikan kegiatan ekstrakulikuler.

Padahal Naufal sudah mengajak Ileana untuk ikut ke lab, hanya saja ia merasa akan mati kebosanan atau berakhir denga kepala berasap, akibat menjadi asisten dadakan Naufal. Sedangkan Kaivan sendiri langsung melarikan diri ke lapangan begitu selesai berganti pakaian, dan menitipkan tas sekolah pada Ileana.

Ileana yang semula duduk tegak di kursinya, kini mulai menyandarkan kepala pada meja. Perasaan bosan ini mulai membuat pemikirannya melayang jauh. Ia mulai mengkhayalkan sosok pujaan hati. Betapa indah dan sempurna sosok Rafan. Mulai dari senyum indah yang mampu menghapus semua perasaan kesal dalam hati, sampai sorot matanya yang membuat hati Ileana luluh.

Sadar akan suatu hal yang terlupa, Ileana langsung bangkit dari duduk. "Oh, iya. Kaivan hari ini ekskul, kan? Bukankah Kaivan sama Rafan 1 ekskul!?" seru Ileana sambil tersenyum lebar.

Rasa malas ke luar kelas akibat terik matahari sore, seketika menghilang, saat teringat sang pujaan hati. Perasaan itu langsung tergantikan menjadi, 'aku ingin melihat Rafan main bola'.

Ileana pun bergegas mengendong tasnya, meraih ransel Kaivan, dan langsung berlari menuju lapangan. Tempat di mana anggota ekskul futsal biasa berlatih.

Selama berlari melewati lorong kelas, otak Ileana langsung membayangkan ketampanan Rafan dengan rambut basah yang disisir ke belakang, keringat yang mengalir di samping alis tebal, semakin mendramatisir ketampanan Rafan.

Jangan lupakan adegan yang biasa dipertontonkan anak laki-laki yang tergabung dalam ekskul olahraga, yaitu aksi mengelap keringat menggunakan baju. Membayangkan semua itu saja, sudah berhasil membuat Ileana menjerit dalam hati.

Saat mencapai tikungan lorong, ia dikejutkan oleh sosok Naufal.

Melihat sepupu perempuannya membawa 2 tas penuh semangat itu, menimbulkan tanya di benak Naufal. "Mau ke mana?" tanya Naufal sambil sesekali mengipas-ngipasi wajah menggunakan laporan penelitian ilmiah yang baru saja ia selesaikan.

Sambil menyunggingkan senyum miring di wajah, Ileana menjawab penuh semangat, "Mau ketemu crush aku lah! Eh, maksudnya mau nyemangatin Kai latihan. Kata dia kan, sebentar lagi mau ada pertandingan."

Mendengar kebohongan yang keluar dari mulut Ileana, Naufal langsung mencibir gadis itu. "Gitu, ya. Ketemu doi mah langsung gas aja, tapi giliran nemenin aku malah gak mau. Ada ... aja alasannya," cibir Naufal.

"Lagian kamu ikut ekskul yang gak seru. Mana mainnya di lab terus. Bosen tahu, boseeeennn," keluh Ileana.

Ingin rasanya Naufal membalas keluhan sepupunya, tetapi daripada membuang-buang energi untuk bertengkar—untuk kesekian kali—ia akhirnya hanya mengangguk-angguk, sambil memberi isyarat pada Ileana untuk menunggu di sini, jangan ke mana-mana.

Tidak lama kemudian, Naufal kembali sambil membawa tas, dan mengambil alih tas Kaivan yang dibawa Ileana. "Yuk, ke lapangan," ajaknya.

Ia sering dibuat bingung dengan sikap sepupunya. Terkadang ia bisa sangat menyebalkan karena kelewat jahil, lalu bisa tiba-tiba menjadi mausia plaing baik, serius, dan tak lama setelah itu jahilnya kumat lagi. Memang otak orang yang terlalu jenius itu terkadang lebih random dari orang biasa, seperti Ileana.

Sambil tertawa, gadis itu berterima kasih kepada Naufal karena sudah mau meringankan bebannya. Namun alih-alih dibalas dengan hangat, laki-laki itu langsung melempar tas Kaivan ke muka Ileana.

Belum sempat gadis berambut hazelnut itu protes, Naufal sudah melarikan diri sambil tertawa terbahak-bahak.

Acara kejar-kejaran mereka tidak berlangsung lama. Guru yang baru saja keluar dari ruang guru, langsung memarahi dan menyuruh Ghazanvar bersaudara untuk tidak membuat kegaduhan di sekolah.

Para guru sudah sangat hafal kelakuan Ileana dan Naufal yang bisa dibilang cukup sering bertengkar.

Mendengar teguran tersebut, membuat Ileana ataupun Naufal hanya bisa meminta maaf sambil membungkuk berkali-kali. Mereka juga sesekali saling melempar kesalahan melalui lirikan dan gerakan bibir yang saling menuduh.

***

Sesampainya di lapangan, Ileana mendapati sekumpulan perempuan yang mengerubungi pinggir lapangan, seraya meneriaki nama–nama pemain yang sedang berlatih. Banyak dari mereka yang meneriaki nama Kaivan, tapi tak sedikit pula yang menyerukan nama Rafan.

Kedua mata Ileana langsung memusatkan pandangan ke pemain futsal bernomor punggung 01. Ia bisa melihat hidung mancung laki-laki itu. Bibir merah muda yang terlihat sangat menggoda, ditambah kedua bola mata coklat tua, dan badan atletis.

Entah apa yang Tuhan pikirkan saat menciptakan Rafan. Sosoknya terlihat memukau di mata Ileana. Siapapun yang melihat siswa itu, pasti langsung terpukau, bahkan sampai jatuh hati hanya dari satu pandangan saja.

Tapi tentu saja Ileana tidak segila mereka yang meneriakkan nama Rafa atau mengekspresikan perasaannya secara terang-terangan. Dia lebih suka menyimpan perasaannya sendiri, bahkan lebih memilih untuk menjadi sosok yang tidak terlihat tiap kali berada di dekat Rafan.

Ileana terkadang bingung, mengapa ia tidak bisa se-blak-blakan itu kepada pujaan hatinya.

Yang dia tahu, ketika menyukai seseorang, sebisa mungkin ia tidak mengusik ketenangan orang yang ia suka. Hal yang berlebih, sampai membuat orang itu risih hanya akan membawa dampak buruk pada Ileana.

Suara teriakan para gadis membuyarkan lamunan Ileana seketika. Banyak dari mereka melambaikan tangan, berharap Rafan akan balas melambaikan tangan.

Sayangnya, bukan Rafan yang membalas lambaian mereka, melainkan seorang siswa bermata monolid, ia bahkan tersenyum cerah saat sesekali menyapa balik kumpulan gadis penggemar Rafan.

Ileana yang bingung tingkah laki-laki itu hanya bisa memberikan tatapan yang mengatakan, 'dia siapa sih?' pada Naufal.

Seakan mengerti kebingungan sepupu perempuannya, Naufal membalas, "Yang barusan banget? Itu si Bryan. Dia teman dekatnya Rafan dari XI-IPS 1. Emang sohib banget mereka. Suka ngewakilin Rafan untuk balas sapaan gadis-gadis."

Mendengar jawaban Naufal, kedua alis Ileana mengrenyit seketika. "Itu ... dia yang cari panggung, gak, sih?"

"Iya kali? Gak tahu juga. Aku tahu itu juga dari Kaivan," balas Naufal singkat.

Sebelum kembali melihati Rafan dari jauh, Ileana sempat mencuri pandang ke Naufal. Melihat sepupunya sedang dalam pose berpikir, gadis itu seketika tahu apa yang ada di dalam benak Naufal.

Kemungkinan besar, ia sedang menghitung probabilitas masuknya bola ke gawang dan mencoba memprediksikan tim mana yang akan menang, berdasarkan banyaknya arah bola yang mengancam gawang.

Memang benar, ada bagusnya Naufal masuk ke ekskul penelitian ilmiah. Kalau dia sampai masuk ke ekskul futsal, bisa-bisa bukannya sibuk mengoper atau mencetak gol, ia akan terlalu lama berpikir di lapangan. Kecuali kalau dia adalah salah satu karakter dari anime Kunci Biru yang bisa stabil menghutung kemungkinan terbesar dalam mencetak gol sambil bermain bola.

Diam-diam Ileana mengeluarkan kamera dari dalam tas, lalu mengambil foto pemain futsal favoritnya—siapa lagi kalau bukan Rafan Aldari Arsenio.

Senyum lebar menghiasi wajah manis Ileana. Ternyata masuk ke ekskul jurnalistik adalah pilihan paling tepat untuknya.

Ingin mengabadikan momen crush dalam sebuah foto? Bilang saja untuk keperluan posting sosial media sekolah. Ingin ngobrol dengan pujaan hati dan mengetahui info lebih banyak mengenainya? Bilang saja untuk keperluan artikel mading mingguan.

Ileana yang masih sibuk memotret Rafan, sesekali tertawa kecil. Apa yang dia lakukan ini sama sekali tidak mengusik privasi Rafan, karena ia juga melihat banyak gadis yang mengambil foto sang ketua tim futsal tersebut.

Kaivan yang sedang beristirahat sebentar mendapati Naufal dan Ileana yang menonton kegiatan ekskulnya. Ia merasa terharu begitu melihat mereka datang untuk menyemangatinya. Senyum lebar terlukis di wajah Kaivan, lambaian tangan dia berikan untuk kedua teman yang berada jauh di pinggir lapangan. Tapi tidak satu pun dari mereka merespon lambaian tangan Kaivan.

"Sebentar." Kaivan segera sadar apa yang Ghazanvar bersaudara lakukan. Naufal sudah jelas sedang asik menghitung segala macam hal yang bisa terjadi di permainan tadi, dan Ileana mungkin telah tenggelam dalam fantasi sambil mengambil foto sang pujaan hati.

"Memang ada baiknya aku tidak berekspektasi apa pun pada mereka," gumam Kaivan. Dia terlalu percaya diri.

Tidak lama setelah itu, semua pemain ekskul futsal segera berkumpul di satu tempat, bersama pelatih.

Sang pelatih memberi evaluasi untuk setiap pemain yang tadi sudah unjuk gigi di lapangan.

"Kaivan, sebenarnya saya tidak banyak komentar untuk permainanmu hari ini. Sudah cukup bagus. Kamu hanya perlu tingkatkan terus kemampuanmu, agar perolehan skor tim ini semakin baik di tiap pertandingan. Ingat, kamu adalah Ace di tim ini," katanya.

Kaivan mengangguk. Seluruh tim bersorak untuknya. Banyak dari mereka langsung memuji Kaivan dan memeluk laki-laki itu sebagai tanda selamat atas performanya.

Kaivan yang ikut bertepuk tangan diam-diam menyadari tingkah Rafan yang sedikit berbeda, setelah mendengar Kaivan mendapat pujian dari sang pelatih. Dari samping, dia bisa melihat kalau rahang Rafan mengeras, ia juga mendapati Rafan mengepalkan tangannya kencang.

Tak mau ambil pusing, akhirnya Kaivan memilih untuk menghampiri kedua temannya dan menyapa mereka stelah latihan selesai.

Sesekali, mata Kaivan kembali melihat Rafan. Memastikan apa yang ia lihat barusan bukanlah ilusi atau khayalan semata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top