Bab 1 - Kelas Bahasa Indonesia

Suara tepuk tangan dan godaan terdengar dari kelas XI-IPA 1. Ileana hanya bisa terdiam malu mendengar surat cintanya dibacakan oleh sepupunya, Naufal. Kedua kuping Ileana memerah, tangan kanannya ia gunakan untuk menutupi muka sambil menahan rasa malu tidak karuan, sementara tangan kirinya menepuk keras teman sebangku, sebagai aksi kesal pada Kaivan yang saat ini berusaha keras menahan tawa.

Mungkin gadis itu tidak masalah, bila orang yang ia taksir berada di kelas lain. Setidaknya mereka jarang bertemu, membuat rasa malu Ileana sedikit berkurang. Ia juga masih bisa menghindari laki-laki yang menimbulkan perasaan tergelitik dalam perut.

Namun sayangnya, sang objek perbincangan hangat ini berada di kelas yang sama. Ia bahkan terliha masih duduk santai di bangku paling depan sambil sesekali memainkan bolpen.

Kalau Ileana ingat-ingat, kelas Bahasa Indonesia memang ada PR untuk menulis puisi yang harus dikumpulkan hari ini. Walaupun sempat lupa, tetapi gadis dengan rambut berwarna hazelnut ini berhasil menyelesaikan itu semalam. Sampai pada akhirnya—pagi ini—anak kelas XI-IPA 1 harus membacakan hasil puisi buatan mereka.

Semua berjalan lancar, beberapa kali siswa tampak melontarkan senyum mengoda, saat mendengar puisi yang dibaca teman sekelas. Ada yang terdengar menggelikan di telinga mereka, bahkan ada pula yang konyol, mengundang gelak tawa.

Setelah beberapa siswa maju, kini giliran Naufal membacakan tugas miliknya. Jemari Naufal yang lentik tampak perlahan membuka kertas yang terlipat rapih. Senyumnya mendadak jadi usil, seolah ia ingin mendramatisir keadaan. Pemuda berambut hitam itu mulai membacakan puisi yang ada pada secarik kertas yang terselip di antara halaman buku pekerjaan rumah.

Ileana yang menerima tatapan usil Naufal sejak tadi, terlihat masih santai di tempat duduk sambil sesekali bercanda dengan Kaivan Yamazaki, teman sebangkunya. Semua berjalan biasa saja sampai tiba-tiba gadis itu mendengar sesuatu yang familier.

"Bagaikan ISO kamera, hari-hariku yang terasa biasa sekarang mulai dipenuhi cahaya sejak aku menaruh hati padamu," goda Naufal.

Dengan muka terheran-heran, Kaivan berbisik kecil ke Ileana. "'Bagaikan ISO kamera?' Memangnya sejak kapan si Naufal mendalami dunia fotografi?" tanya Kaivan.

Tidak mendapat jawaban dari teman sebangkunya, Kaivan mencoba untuk bertanya kepada Ileana lagi, sampai akhirnya ia menyadari suatu hal. Gadis itu sedang tertunduk malu.

"Loh." Pemuda berambut hitam yang kulitnya bagaikan susu itu beberapa kali mencolek-colek bahu Ileana. "Kenapa? Ada yang salah?" tanya Kaivan.

Ileana mulai memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, "Sebenernya itu ... surat cinta."

Bingung dengan jawaban yang diberikan oleh teman sebangkunya, Kaivan kembali menagih jawaban sambil terus mencolek-colek bahu Ileana. Namun belum sempat mendapatkan jawaban lebih lanjut dari sang gadis, Naufal pun mengakhiri bacaannya.

"Tertanda, penggemarmu sejak lama, Ileana," tutupnya sambil membungkukkan badan, memberikan pose penutup yang biasa suka digunakan oleh pemain pentas seni.

Butuh waktu sekian detik sampai akhirnya laki-laki dengan marga Yamazaki itu mengerti kalau puisi yang barusan dibaca oleh Naufal adalah surat cinta buatan Ileana untuk seorang laki-laki.

Seketika kelas menjadi ramai dan Ileana hanya bisa terus tertunduk malu. Dalam hati ia mengutuk Naufal yang seenaknya membaca surat cinta milik gadis itu.

Sedangkan Naufal sendiri yang membaca surat cinta tersebut, merasa lebih aneh. Bagaimana tidak, ia membaca sebuah surat cinta milik saudaranya, tapi banyak sekali menggunakan perumpamaan dan istilah fotografi yang ia yakini tidak semua orang mengerti apa saja yang disebutkan dalam surat tersebut.

'Bisa-bisanya Ileana membuat surat pernyataan cinta seaneh ini,' batin Naufal.

***

Setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia selesai, Kaivan selaku sahabat dari duo Ghazanvar ini mencoba untuk melerai Ileana dan Naufal yang masih saja asik bertengkar. Sang gadis protes karena merasa dipermalukan di kelas, sedangkan saudaranya komplen karena isi surat yang ditulis oleh Ileana tidak jelas dan memalukan.

Selagi mereka berdua masih bertengkar, Kaivan hanya bisa mengelus dada berkali-kali menahan rasa kesalnya. Sampai akhirnya dia ikutan meledak karena tidak tahan dengan pertengkaran saudara di hadapannya.

"Dua-duanya salah! Oke? Saling minta maaf sana!" perintah Kaivan sambil menyilangkan kedua tangan.

"Kalian kayak anak kembar aja," tambah Kaivan.

Alih-alih saling bermaafan, Ileana dan Naufal serentak protes ke sang sahabat. "Kok kamu gitu!?"

"Aku kira Kai akan berpihak sama aku dan stop bilang aku itu kembar sama Naufal. Orang tua kami aja beda!" sambung Ileana.

"Ih, siapa juga yang mau jadi kembaran Ileana. Aneh, aneh! Kaivan juga kalau ngomong gak ada Remnya!" sahut Naufal tidak terima.

Kai langsung menghindari protesan mereka, lalu menyanggah. "Tapi kalian berdua tetap salah! Naufal salah karena membaca surat cinta Ileana tanpa izin. Ileana juga salah. Bisa-bisa kamu kasih surat cintamu ke Naufal. Sudah tahu anaknya model begitu, masih saja kamu berikan," omel Kaivan. "Aduh kalian ini ... pusing aku sama kelakuan kalian. PUSING TAHU, GAK!?"

Ileana dan Naufal perlahan diam. Mereka tahu, biasanya Kaivan tidak pernah meninggikan suara pada siapapun. Tapi karena ia sering terlibat pertengkaran Ghazanvar bersaudara ini, jelas perlahan ia jadi ikut lepas kendali.

Lalu apa yang harus dua bersaudara itu lakukan, ketika Kaivan ikut meledak? Tentu saja saling memaafkan untuk memperbaiki keadaan secepat mungkin.

'Di atas langit, masih ada Kaivan,' batin mereka setelah melihat Kaivan tersenyum puas.

Ileana yang sebenarnya masih belum puas bertengkar dengan Naufal, bertanya ketus, "Dapat dari mana kamu surat cintaku buat Rafan? Perasaan aku tidak pernah memberitahukan hal ini ke kamu."

Naufal sudah siap untuk membalas pertanyaan Ileana tidak kalah ketus juga, tapi ketika melihat Kaivan yang mengawasi mereka berdua ... pemuda itu langsung mengurungkan niat. "Kamu sendiri yang taruh di tas aku," balas Naufal.

Pemuda berambut hitam itu langsung mengingat apa yang terjadi di hari sabtu lalu. Naufal menceritakan kalau biasanya dia menemani Ileana mencari bahan liputan setiap sabtu. Tapi kemarin, ia sempat ada sedikit urusan mendadak yang mengharuskan Naufal pulang lebih cepat.

Ileana yang masih harus mencari-cari bahan liputan lebih banyak, akhirnya memutuskan untuk menetap di tempat itu sedikit lebih lama. Tapi entah mengapa, saudaranya itu sedikit lebih memaksa Ileana untuk ikutan pulang lebih cepat. Naufal beralasan kalau ia pulang duluan, dia merasa sesuatu akan terjadi kepada saudarinya di jalan.

Akhirnya mereka segera mengemas peralatan jurnalistik milik Ileana dengan sedikit tergesa-gesa. Ketika semua sudah terkemas rapih, Ileana memasukkan buku catatan jurnalistik ke tas hitam yang ada di hadapan. Namun, tiba-tiba saja Naufal mengambil tas itu.

"Heh, tas aku itu. Asal masuk-masukin aja," sewot Naufal sambil berjalan ke sepedanya.

"Tas aku itu!" balas Ileana kesal.

Kesal karena barang kepemilikannya diakui oleh Ileana, Naufal membalas sambil menunjuk ke tas lain di tempat mereka duduk. "Itu tas kamu yang satunya lagi! Makanya kalau punya tas tuh jangan disama-samain warnanya. Bingung kan!"

Ketika Ileana melihat ke samping, gadis itu mendapati ada pin kamera warna-warni di tasnya. Ternyata benar itu tas Ileana. Sambil tertawa kikuk, gadis itu kembali merapihkan barang dan ikut beranjak menuju sepeda.

"Habis itu aku gak ingat apalagi, tapi yang pasti semalam aku menemukan buku jurnalistik punya Ileana. Awalnya mau kuabaikan, namun saat kulihat ada secarik kertas yang terlipat rapih di dalamnya, aku langsung curiga, dong? Ternyata itu surat cinta untuk Rafan!" ungkap Naufal.

"Kupikir itu sebuah keberuntungan bagiku yang belum menyelesaikan tugas puisi Bahasa Indonesia. Ya ... kalian tahu sendiri, kan, surat cinta biasanya berisi kata-kata yang puitis? Ya ... akhirnya kuputuskan untuk menjadikan surat itu sebagai tugas puisiku yang belum sempat dibuat. Sialnya, saat kubaca di depan kelas, ternyata isinya cringe banget! Ah, nyesel aku baca," keluh Naufal.

Ileana mendecakkan lidah, "Lagian siapa suruh baca surat cintaku?"

"Suka-suka aku. Kenapa lagi sih!" balas Naufal yang kini memeletkan lidah, meledek Ileana.

Melihat suasana Ghazanvar bersaudara sudah lebih tenang, Kaivan tersenyum kecil. Namun senyuman itu pudar saat Kaivan tersadar sesuatu. "Loh, tadi Rafan masuk, kan?"

Naufal mengangguk lalu bertanya, "Kenapa gitu?"

"Berarti dia dengar semua bagian surat cinta buatan Ileana, kan?" lanjut Kaivan.

Mengingat semua kejadian barusan, membuat Ileana Carissa Ghazanvar itu lemas seketika. Diam-diam ia merutuki Naufal atas semua hal yang ia lewati beberapa hari ini.

"Awas saja kamu, Naufal Adelio Ghazanvar. Kubalas nanti!" sumpah Ileana.

"Coba saja kalau bisa!" tantang Naufal.

Lagi-lagi Kaivan hanya bisa menjadi penengah dari pertengkaran tiada akhir Naufal dan Ileana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top