Bagian 3

Malam pesta dansa yang ditunggu ratusan gadis di penjuru negeri akhirnya datang. Lady Rose dan kedua anaknya sudah mengenakan gaun baru mereka. Kereta kuda juga telah bersiap di depan rumah, sementara Ella masih dengan pakaian biasa. Jangankan mengenakan gaun, ia bahkan belum mempersiapkan apa pun.

"Kau yakin tidak ingin pergi bersama?' tanya Drizzela seraya mematut diri di depan cermin.

"Aku akan menyusul," jawab Ella. Tangannya sibuk menata rambut sang kakak. "Lagi pula, jika kalian menungguku, bisa-bisa terlambat ke sana, bukan?!"

Lady Rose berdiri di mulut pintu dan bersedekap dada. "Aku akan menyuruh kereta untuk menjemputmu."

"Terima kasih," Ella tersenyum menatap bangga pada hasil kerjanya—menata rambut kedua kakak tirinya. "Aku akan menyusul!" ia menoleh pada sang ibu dan bergegas ke luar kamar.

"Tidak datang juga tak apa," gumam sang ibu, tapi Ella hanya tersenyum dan pura-pura tidak mendengarnya.

Setelah kepergian keluarganya, Ella memulai persiapannya. Mengenakan gaun biru yang ia sudah lama disimpannya. Gaun itu adalah hadiah dari sang ayah saat debutante, setelah itu tidak pernah dikenakannya lagi. Tidak lupa, Ella menyelipkan belati peninggalan ayahnya di balik gaun. Rambut ditata rapi dan sedikit berdandan. Semua dilakukannya sendiri.

Namun, ia lupa kalau tidak memiliki sepatu yang bagus. Menggunakan sepatu kakaknya juga tidak mungkin karena tidak ada yang muat. Netra birunya melirik satu-satunya sepatu di kamar itu. Lusuh. Mana mungkin ia mengenakannya.

Tiba-tiba Ella teringat pada sepasang sepatu yang pernah ia buat dari sihir saat baru belajar. Ia membongkar bagian bawah lemari—tempat sepatu itu disimpan. Matanya berbinar melihat sepatu kaca itu masih utuh dan tidak lecet sedikit pun. Akan tetapi ia teringat pada ukuran kakinya yang sudah bertambah. Sementara sepatu itu dibuatnya ketika masih berusia tiga belas tahun.

Ella menaruh sepatu itu di lantai dan mencobanya, ajaibnya—walau tidak aneh jika ajaib—sepatu itu seolah membesar dan menyesuaikan diri dengan kakinya. "Wah," Ella takjub sendiri.

Dulu, ketika pertama kali mencoba menciptakan suatu benda dari energi sihir, Ella mencoba membuat sepatu yang serupa dengan miliki ibunya yang dulu pernah dilihatnya. Sepatu kaca yang cantik. Ella masih ingat betapa lelah dan lamanya hingga ia bisa menciptakan sepasang sepatu itu.

Karena terbentuk dari sihir murni, energi Ella terkuras habis hingga ia terkapar dan demam selama seminggu. Ayahnya sampai melarangnya belajar sihir sebulan penuh dan berjanji untuk tidak menggunakan sihir yang sulit seperti itu lagi.

"Ini akan menjadi malam yang panjang," gumamnya seraya mematut diri di depan cermin.

***Hide and Seek***


Pesta sudah dimulai sejak satu jam yang lalu, sementara Ella baru keluar dari kereta kuda. Ia disambut pengawal dan dituntun ke aula pesta, menaiki anak tangga besar dan mewah berlapis karpet beludru yang empuk saat diinjak. Setelah di ujung tangga, Ella disambut pemandangan di bawah yang penuh dengan orang-orang dan makanan yang sangat banyak. Akan tetapi, bukannya langsung turun ke bawah, ia meminta untuk diantarkan ke kamar kecil.

Sebenarnya Ella tidak yakin menggunakan sihir ini, tapi ia harus melakukannya agar orang-orang tidak akan memedulikan kehadirannya. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di kamar kecil itu, Ella mulai mengucapkan mantranya dan sebuah cahaya keemasan muncul dari telapak tangan yang terangkat di depan dada.

Cahaya itu berubah menjadi serbuk dan terbang ke atas kepala Ella dan jatuh menaburinya. Gadis itu merasa seakan ada sesuatu yang hangat menyiramnya dari atas. Sepertinya, sihir itu bekerja dengan sangat baik.

Ella tersenyum puas di depan cermin dan bergegas keluar untuk ke aula pesta. Ia harus menemukan Grand Duke Ordius dan mencari kesempatan untuk membunuhnya. Akan tetapi, betapa sialnya, ketika baru saja menuruni tangga menuju lantai dansa, Ella langsung dihampiri oleh pemuda tampan berambut hitam dengan senyum menawan.

Gadis mana pun pasti akan tertegun melihat pemuda itu, termasuk Ella. Apalagi tangannya terulur di hadapannya dan ia berkata, "Hai, berdansalah denganku!"

"Bagaimana-" Ella langsung meneguk ludah dengan susah payah. Harusnya dengan sihirnya, tidak akan ada yang memedulikan kehadirannya, tapi pemuda itu malah langsung mengajaknya berdansa dan demi apa pun juga, semua mata di ruangan itu kini tertuju pada mereka.

Pemuda tampan itu masih menunggu tangannya bersambut dengan begitu sabar sementara Ella ingin sekali menjambak rambutnya sendiri karena gagal padahal baru persiapan.

"Maukah?" ulang pemuda itu. Ella akhirnya tersadar dan tersenyum canggung. Tangannya terangkat untuk menerima ajakan itu.

Sontak saja mereka menjadi pusat perhatian—menjadi satu-satunya pasangan yang berdansa. Namun, ketika musik berganti, pasangan lain ikut turun dan meramaikan pesta. Ella hanya dapat bernapas lega dan mengikuti gerakan dengan sebaik mungkin, terutama berusaha untuk tidak menginjak kaki pasangan dansanya.

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu.

"Ellysa!" ujarnya cepat. "Namaku Ellysa."

"Nama yang manis."

Musik kembali berganti. Kali ini lebih pelan, membuat tempo dansa mereka juga berubah pelan.

"Kau sendiri, siapa namamu?" tanya Ella—mencoba melanjutkan basa-basi.

"Kau ... tidak mengenalku?"

Ella tersenyum getir, "Maaf, aku ... jarang keluar rumah. Jadi tidak begitu tahu tentang orang-orang yang tinggal di kota ini."

"Begitu." Sudut bibir lelaki itu terangkat dan ia mendekatkan bibirnya ke kuping kanan Ella. "Charming. Kau bisa memanggilku Charming."

Ella hampir saja tergelak. Manik birunya menoleh untuk melihat wajah lelaki itu. Ya, dia memang tampan dan menawan, tapi apa perlu menamai diri sendiri sebagai 'Charming?'

"Kau tidak percaya?" lelaki itu bertanya seolah paham pada keraguan Ella.

"Oh, baiklah, Tuan Charming." Ella terkekeh kecil dan kembali memalingkan wajah. Ia hampir lupa pada rencananya malam ini. Terserah siapa nama lelaki itu, yang terpenting sekarang adalah dia bukan Grand Duke Ordius.

Beberapa menit kemudian, lelaki bernama Charming itu menghentikan dansa mereka karena melihat Ella yang tidak fokus. Seperti sedang mencari seseorang. "Ada apa?" tanyanya. "Sedang mencari seseorang?"

Ella menggeleng pelan. "Kurasa, aku hanya ingin istirahat."

"Tentu." Charming tersenyum dan membimbing Ella untuk meninggalkan lantai dansa. Berpasang mata mengawasi mereka, seolah penasaran dan mau tidak mau, Ella merasa risih. Charming yang menyadarinya, kembali bersuara, "ingin ke tempat yang lebih tenang?"

"Mau." Ella menjawab dengan cepat tanpa pertimbangan, ia memang butuh tempat sepi karena tidak terbiasa dengan suasana pesta dan tempat ramai apalagi menjadi pusat perhatian.

***Hide and Seek***

"Kau yakin kita boleh memasuki tempat ini?" tanya Ella saat Charming membawanya ke taman utama istana. Tempat dengan kolam dan air mancur di bagian tengahnya dan dipenuhi berbagai jenis bunga bermacam warna. Mereka duduk di kursi taman dan menikmati suasana malam yang tenang dan aroma mawar yang terbawa angin.

"Ini pertama kalinya aku melihatmu. Kau tinggal di mana?" tanya Charming.

"Aku tinggal di sini sejak beberapa tahun yang lalu. Wajar kau tidak pernah melihatku, aku jarang ke luar rumah," jawab Ella—jujur. "Kau sendiri, tinggal di mana?"

"Tidak jauh dari pusat kota. Aku punya toko roti."

Ella tersenyum dan mengangguk. Rasanya sudah lama ia tidak bicara dengan laki-laki—yang masih muda. Biasanya hanya lelaki tua yang ingin membunuh seseorang. Oh, Ella jadi teringat sesuatu yang tidak seharusnya ia lupakan. Grand Duke Ordius! Sontak ia berdiri.

"Ada apa?" tanya Charming—ikut berdiri.

"Aku harus pergi!"

"Kenapa cepat sekali?"

"Ada hal penting yang harus kulakukan."

"Pesta selanjutnya, apakah kau akan datang lagi?"

"Pesta selanjutnya?"

Charming mengangguk. Dewi Fortuna masih berpihak pada Ella, ia bisa mengamati keadaan untuk kali ini dan mengeksekusi targetnya di pesta selanjutnya. "Tentu, aku akan datang."

"Syukurlah." Charming tersenyum dan menggenggam tangan Ella, lalu menciumnya. "Senang bisa bertemu denganmu."

Pipi Ella langsung menghangat. Ini pertama kalinya ada yang memperlakukannya semanis itu. Rasanya menyenangkan sekaligus memalukan. Akal sehat membuatnya refleks menarik tangan.

"Aku akan kembali ke dalam!" ujar Ella.

"Kita ke dalam bersama."

Sepertinya, Charming tidak mau membiarkan Ella sendirian. Ini akan mempersulitnya untuk mencari targetnya, tapi ia juga tidak tahu cara menjauh dari lelaki itu. Namun, sekali lagi keberuntungan itu datang. Ia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria paruh baya berkumis tipis dengan sebuah bekas luka kecil di sudut bibirnya.

"Oh, maafkan saya!" refleks Ella.

"Hati-hati kalau berjalan! Gunakan matamu!" hardik pria itu. "Pasti kau kalangan bawah. Inilah kenapa aku tidak suka dengan rencana pesta ini!" keluhnya. Akan tetapi, ia terdiam ketika melihat Charming yang berdiri di belakang Ella dengan tatapan tajam.

"Pa-" ucapannya terpotong ketika Charming menaruh telunjuk di depan bibir—menyiratkan agar ia diam.

"Maafkan teman saya, Grand Duke Ordius." Charming berucap dan berdiri di samping Ella.

Sontak gadis pirang itu terkejut. Akhirnya ia bertemu targetnya dan demi apa pun, Ella tidak akan ragu membunuhnya karena jujur saja ia sakit hati mendengar penghinaan dari pria itu. Hanya saja, Ella tidak bisa melakukannya sekarang. Charming selalu saja menempelinya.

"Ah, ti-tidak. Ini juga salah saya," sahut Grand Duke Ordius dengan senyum canggung. "Saya permisi," dan ia meninggalkan Ella yang hanya berdiri dengan tatapan datar. Otaknya sedang memikirkan rencana bagaimana ia harus melenyapkan orang itu.

"Ellysa?" Panggilan Charming menyadarkannya. "Kau tidak apa?"

"Aku tak apa." Ella mengangguk dan tersenyum. Ia harus segera menyusul Ordius. "Aku-"

TENG ...

Dentingan jam yang menunjukkan tengah malam telah berbunyi. Melihat perhatian Charming teralihkan, Ella segera lari dan bersembunyi di balik punggung tamu undangan yang entah kenapa berkerumun di sekitar mereka.

"Ellysa!" panggil Charming, tapi tidak dihiraukan

Ella merapalkan sihir andalannya. Sihir yang dapat membuatnya tidak terlihat untuk beberapa menit. Ia harus mengejar Ordius dan menyelesaikan pekerjaannya. Ini kesempatan yang paling bagus, kapan lagi ia bisa berada sedekat ini dengan target.

"Itu dia!" Ella berjalan semakin cepat untuk mendekati Ordius yang hendak memasuki kamar kecil. Tidak ada seorang pun yang melihatnya, bahkan ketika tangannya sudah menggenggam pisau kecil—siap untuk menikam targetnya.

Sedikit lagi.

Sedikit lagi pisau itu akan bersarang di punggung targetnya. Akan tetapi tangan Ella ditahan oleh Charming yang sudah berada di belakangnya.

"Apa yang kau lakukan?" bisik Charming, tepat di samping kupingnya.

Refleks, Ella menyikutnya hingga Charming terdorong ke belakang, lalu gadis itu mengangkat gaunnya dan langsung melayangkan satu tendangan ke wajah Charming dengan sangat kuat. Lelaki itu menangkisnya tapi ia terdorong ke belakang.

Ella menggunakan kesempatan itu untuk kabur dan meninggalkan aula. Ia segera memasuki kereta kuda yang menunggu kepulangan mereka dan menutup tirai jendela agar tidak ada yang melihat keberadaannya. Suara derap langkah terdengar. Manik biru mengintip di sela tirai dan ada beberapa pengawal yang berkeliaran seakan mencari sesuatu. Hal itu membuat jantung Ella berdegup kencang.

"Hampir saja!" lirih Ella. Bisa-bisanya sihir yang telah dipelajarinya beberapa hari ini tidak berfungsi. Padahal untuk membuat sepatu ajaib saja ia bisa.

Suara langkah kembali terdengar. Kali ini ada banyak. Ella kembali mengintip dan ternyata pesta telah usai. Ibu dan saudara tirinya sedang menuju kereta. Ia langsung bernapas lega. Pintu dibuka dan ketiga orang itu terkejut melihatnya sudah duduk manis dengan dandanan yang cantik.

"Kau di sini? Kenapa tidak masuk ke dalam?" tanya Anatashia.

"Bukankah kau sangat ingin ke pesta dansa? Kenapa tidak masuk? Takut?" Lady Rose menimpali seraya duduk di hadapannya.

"Aku masuk. Malahan tadi aku berdansa dengan seseorang yang tampan-" Ella terdiam. Seketika wajahnya memerah jika membayangkan adegan dansa tadi. Jujur saja, Ella sangat menikmatinya walau berakhir menyulitkan.

"Kau bermimpi?" Drizzela menatap heran. "Aku tidak melihatmu di mana pun. Kau pikir aku tidak bisa mengenalimu walau berpenampilan seperti itu?"

"Kau ... terlihat berbeda malam ini. Tidak ada abu di wajah atau pakaianmu." Anatashia menatapnya dengan penuh selidik. Mencoba menilai penampilan Ella yang ia akui sangat cantik.

"Kalian ... sungguh tidak melihatku?" tanya Ella—meyakinkan.

"Kau pikir kami buta?" tukas Lady Rose.

Kali ini, Ella sukses terdiam. Tidak mungkin ia tak terlihat. Padahal untuk beberapa saat ia sempat menjadi pusat perhatian apalagi saat Charming mengajaknya berdansa. Namun, kenapa mereka tidak menyadarinya? Apakah itu artinya sebenarnya sihirnya berfungsi?

"Kalian kenal lelaki tampan bernama Charming?" tanya Ella tiba-tiba. Drizzela dan Anatashia yang sedari tadi sibuk memperbincangkan pangeran, langsung terdiam.

"Charming? Nama menggelikan macam apa itu?"

"Dia sangat tampan dan ... menawan!" tambah Ella.

"Satu-satunya lelaki tampan dan menawan di pesta tadi hanyalah pangeran Anders!" celetuk Drizzela dengan pandangan penuh keterkaguman—membayangkan kembali kejadian saat di pesta.

"Benar. Dia sempurna. Tapi siapa gadis yang tadi diajaknya berdansa?" tanya Anatashia.

"Entahlah. Anehnya aku sudah lupa wajahnya."

Ella terdiam. Sihirnya berfungsi, tapi kenapa lelaki itu malah menghampiri dan mengajaknya berdansa? Harusnya tidak ada yang memedulikan kehadirannya.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top