0.1

Menatap pemandangan kota Seoul di tengah malam dari atap pusat perbelanjaan tidak pernah semenarik ini. Membiarkan sekujur tubuhnya dipeluk angin malam di musim semi, Jimin tersenyum menikmati. Dengan santai ia mengetukkan ujung sepatu pantofelnya dengan tanah sehingga tercipta harmoni dengan angin yang sedari tadi berbisik di telinga.

Tangan kanan yang semula terasa hangat dan nyaman berada di saku jaket kulit tebalnya ia keluarkan bersama benda yang selalu ada di dalamnya. Melempar kecil benda tersebut ke udara sebelum jatuh kembali ke tangannya, bibir Jimin semakin tertarik membuat senyuman lebar.

Kekehan menjadi musik tambahan untuk telinganya. Lima menit lagi dan dia sudah tak sabar hingga berlagak seperti orang gila yang siap bunuh diri dengan melompat dari atap gedungnya sendiri. Menyadari itu malah membuat Jimin terbahak.

Perlahan ia mengadahkan kepala menghadap langit malam. Tatapannya lurus ke arah bulan yang malam ini bentuknya bulat sempurna, lalu tangannya yang memegang penghuni tetap saku jaketnya ia angkat ke udara. Tepat pada bulan purnama yang tidak tahu apa-apa.

"Jika aku melakukannya, kau bisa berubah menjadi donat karena terdapat lubang di tengah," Jimin terkekeh kembali sebelum menurunkan tangannya dan berbalik menuju pintu masuk gedung.

"Sudah 10 menit. Mari kita mulai," Saat masuk ke dalam gedung, senyum Jimin semakin lebar. Terlihat bahwa laki-laki itu sedang merasa antusias. Atau lebih tepatnya, ia terlihat seperti psikopat gila yang tersenyum lebar dengan pistol di tangan kanannya.

"Kalian para bedebah, siap atau tidak, aku datang." Jimin berteriak kencang seakan-akan memberi tahu bahwa —entah siapa pun itu, kematian akan segera datang menjemput.

Saat sudah berada di lantai lima, lantai tengah gedung pusat perbelanjaan miliknya, ia melangkah dengan pasti menuju lorong yang cukup gelap, yang berjejer toko perhiasan mahal dan terkenal. Saat sudah berada hampir di ujungnya, ia melangkah perlahan dengan senyuman miring yang menakutkan.

"Emm, sepertinya ada seseorang yang bersembunyi di sini. Siapa ya?" Suaranya dibuat seperti orang bergurau, yang justru semakin terdengar menakutkan bagi siapa saja yang mendengarnya.

Saat kakinya sudah hampir melangkah melewati sebuah toko yang benar-benar gelap tanpa sedikit pun pencahayaan, ia berbalik dan memasuki toko tersebut. Berputar sebentar melihat barang-barang yang terpasang di etalase lalu menghela napas kasar.

"Apa mereka menjual sampah di gedungku?" Tangannya memijat kening sejenak.

"Hey, kau. Keluarlah. Aku tau kau bersembunyi di balik meja kasir itu." Suara benturan kecil dengan meja namun tidak ada siapapun yang keluar membuat Jimin semakin marah.

"Kau ingin keluar sendiri dan mati di tempat yang setidaknya cukup luas untuk kau berbaring atau kau mau aku menghampiri dan menembakmu di bawah meja?"

Seorang laki-laki muda benar-benar muncul dari balik meja kasir dengan tergesa. Ia menghampiri Jimin dan bersujud di kakinya.

"Maaf Tuan, tolong jangan bunuh saya," Laki-laki itu memohon sembari terisak sangat keras membuat salah satu sudut bibir Jimin tertarik.

"Kau sudah tahu peraturan permainannya, bukan?" Isakan keras yang menjawab pertanyaannya membuat Jimin langsung menendang laki-laki muda itu hingga terlentang ketakutan.

"Tahu, Tuan, saya tahu. Kami diberikan waktu sepuluh menit untuk bersembunyi di tempat yang paling aman. Dan bagi siapa saja yang berhasil ditemukan tempat persembunyiannya oleh Tuan, maka Tuan akan menembaknya tepat di kepala." Susah payah laki-laki itu mengumpulkan kemampuannya untuk berbicara karena ketakutan yang benar-benar menyelimutinya.

"Kau mengerti dengan cukup baik rupanya. Tetapi sayang, kau bodoh sekali. Sudah kuberikan waktu tetapi masih tidak bisa bersembunyi dengan baik." Jimin tersenyum manis yang mana membuat laki-laki muda itu mundur perlahan.

"Kukira kau sudah mengerti dengan permainnya," Alisnya terangkat sebelah dengan langkah pelan mendekati laki-laki muda itu yang terus mundur ketakukan. "Kau berhasil kutemukan, jadi," Jimin mengangkat pistolnya, mengarahkan lurus pada kepala pemuda yang malang.

"Inilah konsekuensinya." Suara tembakan terdengar nyaring di dalam gedung itu. Dengan wajah yang dibuat sedih, Jimin berujar,

"Auh, lihatlah, keningmu jadi berlubang." Tidak sampai lima detik ekspresinya berubah kembali antusias. Ia melangkahi begitu saja mayat pemuda malang itu dan kembali berteriak sembari menyusuri tiap koridor dan lantai.

"Siap atau tidak, aku datang."

———

Tiga puluh menit sudah berlalu, Jimin masih terus mencari tempat di mana para karyawannya bersembunyi. Dengan sesekali bersenandung kecil, Jimin semakin merasa tertantang. Pistolnya sesekali ia putar di ujung telunjuknya.

"Wah, semakin pandai bersembunyi rupanya kalian. Berterimakasihlah padaku yang sudah mengadakan ini setiap tiga bulan. Kalian mendapat bekal kalau-kalau nanti menjadi bajingan yang dicari polisi karena mencuri, kupastikan kalian akun sulit ditangkap." Jimin terkekeh sendiri.

Memang permainan ini rutin diadakan setiap tiga bulan sekali di dalam gedung pusat perbelanjaan miliknya. Park Jimin bukan orang sembarangan. Dia salah satu orang yang berpengaruh besar di dalam ekonomi Korea Selatan. Menjadi pemilik beberapa gedung bertingkat dan juga sahamnya yang tersebar hampir di semua industri perekonomian Korea membuatnya disegani banyak orang.

Namun sebenernya, tidak ada orang yang tahu siapa sebenarnya ia. Yang publik tahu hanya seputar kekayaannya yang diwariskan dari ayahnya yang meninggal karena sakit. Dan Jimin akan terbahak setiap dia melihat berita tersebut. Sakit katanya? Well, mana mungkin patukan peluru rasanya menyenangkan.

Jimin membunuh ayahnya sendiri. Jangan tanya alasannya, dia hanya ingin membunuh ayahnya yang berisik. Itu saja. Dan setelah ayahnya meninggal, seluruh harta jatuh ke tangannya. Benar-benar keberuntungan untuknya karena bisa memanfaatkan uang dan kekuasan untuk menutupi jati dirinya.

Dengan begitu, Jimin dapat menyuruh pengawalnya untuk memberikannya sepuluh karyawan yang memang malang takdirnya karena tidak bersalah namun menjadi korban untuk memenuhi kepuasan hasrat membunuh seorang Park Jimin dengan bermain petak umpet di salah satu gedung miliknya.

Tentu para karyawan itu tidak tahu kalau mereka akan memainkan permainan yang berujung maut seperti ini. Mereka diiming-imingi uang dan kenaikan jabatan agar masuk ke dalam perangkap dan datang ke gedung yang sudah ia siapkan. Saat datang, para pengawal Jimin mengumpulkan mereka dalam satu ruangan dan menjelaskan peraturan. Tentu mereka tidak bisa menolak karena hanya ada pilihan mati sekarang atau nanti.

Dan saat permainan dimulai, para karyawan malang itu langsung berlarian seperti babi yang dibuka kandangnya, mencari tempat persembunyian dengan tubuh gemetar dan napas tidak beraturan. Berdoa agar tidak ditemukan dan berakhir mengenaskan.

Untuk yang sudah-sudah, karyawan yang tidak berhasil Jimin temukan dan bertahan hidup, maka akan diberi banyak sekali uang dan diwujudkan keinginannya dengan balasan tutup mulut.  Atau jika mengingkari, bukan hanya dia yang mati, tetapi seluruh keluarganya juga akan dihabisi.

Dan dengan begitu, sudah dua tahun Jimin menjalankan aksinya setiap tiga bulan sekali tanpa ketahuan oleh polisi. Mayat-mayat yang dihabisi akan langsung dibersihkan oleh pengawalnya tanpa ada jejak yang tertinggal dan mencurigakan. Benar-benar menyenangkan. Jimin cukup menyesal kenapa tidak membunuh ayahnya jauh lebih awal.

"Hey, keluarlah! Jangan coba-coba lari. Aku sedang tidak ingin menangkap babi!" Tiba-tiba Jimin berteriak di depan pintu tangga darurat karena nalurinya mengatakan ada seseorang di baliknya.

Dua menit, Jimin tidak mendapat jawaban atau pergerakan. Dan tentu saja itu membuatnya marah. Saat akan kembali berteriak, tiba-tiba saja pintu tersebut terbuka kencang dan muncul seorang polisi yang menodongkan pistol ke arahnya.

Tentu saja Jimin terkejut. Namun ia hanya terkekeh pelan sebelum  mengarahkan pistolnya juga ke arah sang polisi. Tetapi pergerakannya kalah cepat. Polisi menembak tepat di tangannya hingga pistol terlempar ke lantai. Melihat darah yang mengalir dan pistol yang kembali mengarah kepadanya, Jimin tersenyum miring.

"Tetaplah di tempat dan serahkan diri anda secara baik-baik." Mendengarnya membuat Jimin terbahak.

"Dasar pengawal tolol." Jimin mengumpat pelan. "Kau ingin aku menyerahkan diri? Benarkah?" Polisi itu menatap Jimin tajam.

"Baiklah, baiklah," Jimin mengangkat kedua tangannya di udara. Namun tak lama ia segera berlari membuat polisi tersebut mengejarnya. Dengan berkali-kali suara tembakan peringatan dan juga pecahan kaca yang terkena peluru yang meleset, Jimin semakin berlari kencang menuju atap.

Tidak ada tanda-tanda Jimin akan menyerahkan diri membuat polisi mengarahkan pistolnya lurus ke arah laki-laki itu. Namun dengan cepat Jimin berbelok ke koridor lain hingga peluru itu meleset jauh.

Aksi saling mengejar itu terjadi selama beberapa menit. Jimin berhasil sampai atap tanpa mendapat luka tembakan selain di tangannya. Ia menghentikan langkahnya lalu menghadap polisi dengan napas yang terdengar berat. Di depannya, polisi itu menunggu rekan lainnya yang akan datang untuk menangkap dengan masih mengarahkan pistolnya ke arah laki-laki itu. Jimin menggerakkan kakinya perlahan untuk mundur dan mendekati batas gedung.

"Jangan bergerak!" Bukannya berhenti, Jimin tersenyum miring dan tetap melangkah mundur. Napasnya masih terdengar putus-putus lalu diam-diam ia memasukkan tangannya ke dalam saku belakang dan menggenggam erat senjata cadangannya.

“Sekali lagi, jangan bergerak dan berikan benda yang sedang kamu pegang sekarang juga!” Polisi itu sudah siap menembak Jimin kapan saja apabila laki-laki itu tidak bersikap kooperatif.

Suara langkah kaki yang berlari menaiki tangga menuju tempatnya sekarang tertangkap di telinga membuat Jimin terkekeh kencang. Genggaman pada senjatanya semakin mengerat. Ia sadar posisinya kini sudah berada di ujung tanduk, polisi telah datang untuk mengepungnya.

Dengan rasa sadar bahwa tidak ada lagi celah untuknya melarikan diri, Jimin tetap tidak akan menyerahkan dirinya ke tangan polisi. Di masukkan ke dalam penjara bersama para penjahat bajingan merupakan suatu penghinaan bagi Park Jimin. Dan tentu ia tidak akan membiarkan harga dirinya jatuh oleh boneka pemerintah yang orang sebut polisi.

Saat sudah bukan lagi satu orang melainkan lima polisi di hadapannya, Jimin tersenyum manis ke arah mereka. Posisi laki-laki berada tepat di pembatas atap yang tingginya hanya sebatas lutut orang dewasa.

"Kalian tahu? Aku lebih baik mati di tanganku sendiri dari pada menyerahkan diri dan membiarkan diriku disentuh oleh tangan kotor kalian yang menjijikkan." Setelah mengatakan itu Jimin langsung mengeluarkan senjatanya lalu suara tembakan terdengar nyaring memecah malam dan disusul suara sesuatu yang menghantam tanah dengan kencang beberapa detik kemudian.

Para polisi itu panik karena tidak bisa menahannya. Mereka berlarian turun dari atap lalu menuju luar gedung hanya untuk menemukan tubuh Park Jimin yang sudah tidak ada bentuknya. Mereka tidak habis pikir. Pria gila itu benar-benar menembak kepalanya sendiri hingga tubuhnya jatuh dari atas gedung setinggi sepuluh lantai dan berakhir hancur mengenaskan di atas aspal.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top