Canva 01: Infinity's Mage Chief
Langit selalu biru pucat meski matahari bersinar terik. Sudah seminggu lelaki berjubah hitam itu di tempat ini. Batu besar tempatnya duduk memiliki jangkauan pandang yang luas. Mata merahnya yang tajam bisa memindai setiap sudut bahkan yang menjadi titik buta sekalipun.
Memanfaatkan deteksi perbedaan energi di setiap titik, dengan bantuan Nixa, mystical peacock yang menjadi pet kontraknya, lelaki berambut putih dengan helai-helai merah itu memetakan wilayah-wilayah tak terjamah demi memuaskan hobinya. Di antara celah lembah yang diapit dua barisan pegunungan tinggi, melesat secepat cahaya seekor merak hitam bercorak merah, Nixa. Hewan kontrak itu mendarat persis di pundak tuannya dan berkata, “Akan ada yang datang.”
“Aku sedang menunggunya,” jawabnya dengan menyeringai.
Angin yang melintas di sela-sela pepohonan menerbangkan rambutnya yang sudah memanjang. Lelaki itu memejamkan matanya, merasakan perubahan energi yang luar biasa. Tamu tak diundang itu datang dengan kecepatan cahaya. Dalam sekejap saja, Lucas Gavin Alvarion sudah berada di hadapannya. Lelaki berjubah navy itu tinggi menjulang, matanya yang sebiru langit berkilat tertimpa cahaya matahari.
“Selamat datang, Pangeran Celestial Kingdom yang terhormat,” sambutnya sembari berdiri dan memberi hormat ala kadarnya. “Ada perlu apa sampai kau repot-repot datang ke tempat seperti ini, Lux.”
“Hentikan, Ry. Ini bukan saatnya bersantai-santai dengan hobi nyelenehmu ini. Kau hanya membuang-buang waktu. Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Nasib bangsa kita ada di tanganmu, Canva Rylan Smith!” Ada penekanan di akhir perkataannya. “Sebagai Infinity’s Mage Chief kau memiliki tanggung jawab yang besar. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan.”
“Kekanak-kanakan kau bilang?”
“Kalau bukan kekanak-kanakan apa namanya? Di luar sana, dunia di ambang kehancuran, tapi kau–” perkataannya terpotong tiba-tiba. Canva melakukan teleportasi untuk menyerang pewaris kerajaan dari arah belakang. Namun, pergerakan secepat itu bisa dihindari dengan mudah olehnya yang memiliki atribut sihir cahaya. “Ini bukan karena gadis dari ras manusia itu, kan? Siapa namanya, Lysandra Keisara? Ya, Lysandra Keisara!"
Gigi Canva gemeretak mendengar nama itu muncul dari mulut Lucas. Mata sewarna emas itu beradu pandang dengan mata Canva yang merah menyala menyerupai darah.
“Jadi aku benar, ya? Ini berkaitan dengan gadis dari ras manusia itu. Haruskah aku melakukan sesuatu?” Perkataan Lucas yang datar itu seperti api yang menyambar tiba-tiba.
“Jangan berani menyentuh Keisara!” Ledakan sihir tiba-tiba terbentuk saat Canva mengarahkan Aegis Wand miliknya.
Lucas yang sudah menduga dengan reaksi sesama infinity mage itu bergerak cepat tanpa disadari orang awam. Namun, Canva dan Lucas tak ada bedanya. Keduanya setara pada level tertinggi kekuatan bintang, starzy state.
“Aku akan melakukannya, jika kau tidak melibatkan Keisara. Jangan berani sakiti dia.”
“Kenapa kau membela ras manusia itu sampai sampai seperti ini, Ry?" Suara Lucas terdengar pilu. Sebagai salah satu pemimpin besar ras wizard, dia sangat menyayangkan Canva masih berhubungan dengan bangsa tamak yang membuat keonaran dan kerusakan di mana-mana. "Waktumu tidak banyak, Ry. Anak-anak Zodiac Academy sudah kukirim ke dominion untuk mengambil pecahan peta bintang yang tersisa. Kuharap kau sudah mulai bergerak sebelum mereka kembali agar semua ini bisa diakhiri.”
Lucas berbalik dengan mengibaskan jubah navi yang dikenakannya. Langkahnya selalu diiringi Asaylan, The Wish Lion of Alvarion Lineage pet contract berwujud singa yang gagah. Cahaya keemasan yang menyilaukan mengantar kepergiannya.
Nixa, yang sedari tadi menjaga jarak kini mendekati Canva. Jemari lentiknya mengelus punggung sekelam jelaga milik merak itu. “Ini pilihan sulit, Nixa. Di satu sisi aku ingin menyelamatkan Keisara agar gadis itu tidak terlibat. Namun, di sisi lain tanggung jawabku menyelamatkan ras Wizard tidak bisa diabaikan begitu saja.”
Nixa tak bersuara, dia merespons dengan membuat dirinya lebih dekat dengan Canva.
“Pada akhirnya aku akan kehilangan dia bukan?”
Fanella Davonshire, Archimage Seer pernah meramalkan adanya peperangan bersamaan dengan jatuhnya komet Maple Starley saat puncak perayaan Atairly Rea Festival. Peristiwa itu menghasilkan ledakan luar biasa yang menarik perhatian para petinggi dari kerajaan Hiddentia, kerajaan manusia terbesar di Hiddenland mengirim banyak pasukan untuk mencari lokasi pasti jatuhnya meteor itu untuk diteliti.
Setelah ramalan itu terbukti, muncul ramalan yang lebih mengerikan. Terdesaknya kaum ras Wizard oleh bangsa Human. Sekarang, semua itu mulai terbukti. Wilayah kerajaan Wizard yang luasnya tak seberapa mulai diserang juga. Canva menarik napas panjang. Rasanya, membayangkannya saja sudah berat apalagi sampai benar-benar kehilangan Lysandra Keisara!
Sosok perempuan ceria itu tiba-tiba menguasai benak Canva. Rambutnya yang kecokelatan akan berkilau ketika tersiram cahaya mata hari. Matanya yang gelap selalu berbinar-binar. Bibir tipisnya mudah sekali membentuk segaris senyum dan menularkannya ke orang-orang di sekitarnya. Itulah dia, Lysandra Keisara. Putri Makhkota dari salah satu pemimpin kerajaan adijaya Hiddentia, Ramadika Gusti.
Memiliki gadis itu menempatkannya pada simalakama. Dia tak bisa memilih keduanya antara pengabdian dan tanggungjawab terhadap rasnya yang tengah terancam atau mempertahankan hubungan asmaranya dengan manusia. Hubungan manusia dan Wizard sudah terlarang sekarang. Menjalaninya merupakan tantangan besar yang tak mudah.
Sebagai sesama dari 13 cucu keturunan wizra pertama, Lucas selalu berusaha memasukkan cahaya dalam kehidupan Canva.
Melihat Lucas selalu menyulut api kemarahan yang seharusnya tidak ditujukan pada lelaki itu. Hanya saja, dia pewaris kerajaan. Seandainya kerajaan tak memanggil kedua orang tua Canva dalam pertempuran sialan itu, mungkin mereka masih berada di sisi Canva.
Seperti Lucas yang masih memiliki sepasang orang tua lengkap, Raja Arthur dan Ratunya, Alice. Sebagai pengabdian terhadap kerajaan, ayah Canva, Eldrith Smith membawa pasukan besar dalam pertempuran dan dinyatakan gugur saat Canva masih sangat kecil. Beberapa tahun setelahnya, utusan dari kerajaan datang ke Signusilia menjemput Aria Hazel. Ibu Canva pun melaksakan tugas mulia itu dan tak pernah kembali lagi.
Mata merah Canva semakin pekat serupa darah kotor setiap kali amarah menyulut dadanya.
Dari rumor yang beredar, konon mata itu terhubung dengan sebuah energi sihir yang sangat besar dan jahat. Canva hanya mendengarnya sebagai angin lalu. Kedua orangtua Canva memiliki warna mata yang gelap. Canva tak pernah peduli, dia mendapatkannya ketika bayi. Mata itu kerap kali mengirim sensasi nyeri ketika keadaannya sedang seperti ini.
Sebentar lagi adalah Equinox Vernal, masa-masa yang paling Canva nantikan. Momen yang paling ditunggu-tunggu. Sejak pertempuran antara Ras Wizard dan Human pecah, hubungan Canva dan Keisara semaki sulit. Komunikasi terbatas. Dua Equinox adalah pertanda bagi keduanya bertemu. Vernal Equinox membawa awal musim semi di belahan bumi utara. Dia berharap hubungan mereka akan merekah seperti bunga-bunga yang telah bertahan melewati ganasnya musim dingin.
“Aku harus mengakhiri dengan ini dengan cepat.”
Malam mulai menampakkan cahaya bulan seperti kilau cincin yang mengintip di balik awan-awan. Hutan di pegunungan terpencil di Hiddenland tak kalah menarik dengan tempat-tempat di Necromancia Land. Di mana dirinya menghabiskan masa remaja dengan menempa sihir dan mengeksplorasi lokasi tersembunyi yang tak terjamah siapa pun.
Hiddenland sangat luas dan kaya. Teknologi dan peradaban manusia membuat dunia ini menakjubkan. Hanya saja, orang-orang seperti Ramadika Gusti membuat Hiddenland gersang. Polusi di mana-mana saat nuklir dan bom atom diledakkan. Hanya tempat-tempat seperti inilah yang Canva sukai, tenang, sejuk, asri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top