0.43

Jungkook memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia mencintai Jihyo---sangat mencintai. Terlebih, Kaylie tidak seperti wanita pada umumnya yang akan menuntut banyak hal. Wanita itu, merelakan perasaannya dan menyuruhnya untuk menemui Jihyo secepatnya.

Akan tetapi, di mana Jungkook harus memulai?

Beberapa hari ini, ia bahkan sudah menyuruh Daekhyun untuk menemukan keberadaan Jihyo. Selama itu, Jihyo seakan ditelan bumi---tidak ada tanda-tanda yang dapat membuat hatinya merasa tenang. 

Ia frustasi. Bahkan, ia sudah ke panti asuhan Moonlight, tetapi Jihyo belum pernah lagi berkunjung ke tempat itu. Sungguh, Jungkook tidak tahu harus berbuat apalagi saat membiarkan Jihyo pergi dari kehidupannya. Seharusnya, ia tidak melakukan hal itu dan berterus terang saja dengan keadaan.

Saat ini, dengan meremas kemudi dan memukulnya, ia menumpahkan semua perasaannya yang bercampur aduk. "Kau di mana Jihyo?" ucapnya bertanya-tanya. Sangat takut dengan keadaan Jihyo. Bahkan, hanya Jihyo yang berada di dalam pikiran dan otaknya selama ini.

Jungkook menghela napas. Ia harus mengendalikan diri dan terus berusaha. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Ini kesalahannya, dan ia harus menyelesaikan semua masalah yang timbul karenanya.

Namun, tidak lama dari itu, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Itu dari Yunho, yang sontak membuat Jungkook menjawab panggilan tersebut. Dengan rasa malas.

"Ada apa?"

"Sepertinya, Yoomi tahu sesuatu, tetapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu. Untuk itu, bicaralah dengan Yoomi."

Jungkook memejamkan mata beberapa detik. "Di mana Yoomi?"

"Di Perusahaan."

***

Suara kereta terdengar begitu nyaring, ditemani dengan lalu lalang para pengunjung yang baru tiba dan baru ingin melakukan perjalanan. Wanita itu hanya menghela napas, sembari mengusap perutnya yang masih rata. Lantas, menatap dua orang yang sudah menolongnya selama ini. Mylan dan Myonsoo.

Jihyo langsung memeluk Myonsoo, dengan derai air matanya. "Terima kasih, Eonnie. Selama ini, Eonnie telah membantuku," ucapnya.

Myonsoo mengangguk dalam dekapan itu, kemudian meregangkan dan menghapus bulir air mata Jihyo yang telah dianggapnya sebagai adik sendiri. "Jangan bersedih, okay? Kau sudah seperti adikku sendiri, dan jika kau butuh sesuatu, segera hubungi nomor ini." Sambil memberikan kertas berisi nomor teleponnya dan juga Mylan.

Jihyo meraihnya dan mengangguk. "Terima kasih, Kak. Aku … aku tidak akan melupakan kalian berdua," ujarnya.

"Ada apa ini? Kenapa harus ada tangis?" sahut Mylan dengan tertawa pelan. Sekalipun terlihat tangguh, Jihyo dapat melihat kedua bola mata itu yang berkaca-kaca.

Sembari menghapus sisa-sisa air matanya, Jihyo tersenyum tipis. "Mylan! Jaga Kakakku ini! Dia sangat berharga! Jika kau menyakitinya, aku akan membunuhmu!" Jihyo berujar dengan memperagakan ingin memberi pukulan.

Dengan lucu, Mylan memberi balasan seakan memohon ampun. Alhasil, keduanya kini tertawa, hingga suara operator terdengar---menyatakan jika perjalanan dari Seoul ke Busan, segera dilakukan, penumpang dipersilahkan untuk memasuki kereta.

Jihyo sontak membungkukkan tubuhnya sebagai salam perpisahan. Tidak lupa, memberikan senyuman sebagai bumbu, lantas berbalik setelahnya. Sungguh, Mylan ini menangis, tetapi ia tidak ingin memperlihatkan kesedihaannya pada Jihyo. Ia tidak ingin membebani Jihyo. Seandainya Jihyo tidak melarangnya untuk ikut, ia pastinya akan bersama dengan wanita itu. Hanya saja, itu juga tidak bisa terjadi. Manalagi, ada manajernya yang menyebalkan. 

Myonsoo sebenarnya sudah nyaman dengan Jihyo. Akan tetapi, ia tidak memiliki hak untuk menghentikan jalan Jihyo. Myonsoo hanya akan berdoa agar adik kecilnya itu, mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya suatu saat nanti.

Sementara Jihyo, wanita itu terus berjalan---bersama dengan para pengunjung yang ingin bepergian dan memasuki kereta. Namun, sebelum benar-benar masuk, Jihyo menghentikan langkah dan menatap Mylan maupun Myonsoo. Ia sangat sedih saat harus melakukan ini. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain selain menjauh terlebih dahulu.

Ia ingin melupakan Jungkook sebagai sumber kehidupannya. Entah, bagaimana kabar suaminya itu? Dan, kabar semua orang di Mansion yang telah dianggapnya sebagai keluarga? Alhasil, ada keraguan untuk meninggalkan Seoul. Namun,  ia mencoba menghapus keraguannya itu, sesaat mendapat arahan agar segera masuk. Sehingga, Jihyo kembali mengambil langkah setelah melambaikan tangan dan tersenyum.

"Semua kisah ini akan berakhir. Selamat tinggal, Seoul!"

***

Sesuai perkataan Yunho, Jungkook mengemudikan mobilnya menuju perusahaan. Setidaknya, ia harus mencari kebenaran dari Yoomi. Mengingat, dua wanita itu memang memiliki ikatan lain selain rekan kerja. 

Ya, Jungkook sangat menyakini, jika Yoomi mengetahui keberadaan Jihyo. Bahkan, Yoomi pernah menemui Jihyo dalam waktu dekat ini. Walau, ada rasa ragu untuk menemui bawahan serta temannya itu. Mengingat, Yoomi memakinya, karena bersikap seperti pria pecundang kepada Jihyo.

"Kau gila, Jung! Dengan menyembunyikan pernikahanmu dari Kaylie, apa semuanya baik-baik saja, sekarang? Apa kau sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana Jihyo yang pergi dari rumahmu? Seorang diri? Di malam hari?"

"Untuk kau! Jeon Jung Kook terhormat! Aku akan membunuhmu jika Jihyo tidak baik-baik saja."

"Dan, jangan anggap aku sebagai temanmu lagi. Aku! Aku hanya salah satu pekerja di perusahaanmu---hanya itu. Semoga kau bahagia bersama dengan keluargamu itu!"

Jungkook meremas rambutnya dengan kasar, saat mengingat obrolannya bersama dengan Yoomi. Bahkan, itu kali terakhirnya ia bertemu dengan Yoomi, sebab ia membawa semua pekerjaannya ke Mansion.

Jungkook hanya takut, jika Yoomi enggan membahas ini. Bahkan, ketakutannya membuncah saat ia kini dapat mengamati Yoomi yang tengah fokus pada komputer---seorang diri. Tidak lama dari itu, Yoomi mengalihkan pandangannya menatap pintu---di mana Jungkook berada. Seakan ia mendapatkan firasat mengenai seseorang yang ingin menemuinya, ternyata benar akan adanya.

Yoomi menatap Jungkook datar, membuat Jungkook menghembuskan napas. "Aku membutuh waktumu untuk berbicara berdua saja," ucapnya sembari mendekat.

Dari ekspresi wajah Yoomi, ada rasa enggan untuk berbicara, tetapi ia tetap mengangguk sebagai persetujuan. "Katakan secepatnya, Sir. Aku sedang sibuk."

Alhasil, Jungkook dibuat tegang. Namun, ia harus mengungkapkan semua hal dan menanyakan keberadaan Jihyo pada Yoomi.

"Ini soal Jihyo!"

Sekilat, Yoomi menghentikan fokusnya pada komputer. Memilih untuk menatap Jungkook dan berdiri untuk mensejajarkan diri. "Ouh, kalian telah bercerai? Terus, kenapa kau menemuiku?"

Itu pertanyaan konyol. Manalagi, Yoomi mengatakannya dengan tampang datar. 

"Tidak, bukan seperti itu. Aku, aku menyesal melakukan semua itu kepada Jihyo. Aku …." Lantas Jungkook menceritakan apa yang ia bicarakan kepada Kaylie pada waktu itu. Di mana Kaylie meminta kepadanya agar menceraikan dirinya dan menjelaskan semua yang terjadi kepada Jihyo. Namun, ia tidak bisa menemukan kehadiran Jihyo.

"Yoomi, aku sudah menjelajahi seluruh tempat, tetapi aku tidak menemukan Jihyo. Aku sangat yakin! Kau pasti tahu---"

"Tidak, aku tidak tahu apa-apa," ucapnya sambil menggeleng. "Ini masalahmu. Aku tidak peduli lagi."

Namun, Jungkook sangat yakin jika Yoomi mengetahuinya. Terlihat, ia yang langsung berdiri di hadapan Yoomi sembari memegang pundak gadis itu. "Yoomi, aku mohon. Aku sangat yakin, kau pasti tahu. Kumohon, aku … aku menyesali semua kesalahanku. Aku ingin menebusnya," ucapnya dengan berharap. Terlihat dari kedua mata itu.

Yoomi belum berniat untuk mengatakan hal apapun. Ia hanya mengalihkan tatapannya. Dengan kedua tangan yang mengepal. "Aku tidak tahu apa-apa---"

"Kau pasti bohong!" potong Jungkook. Sekilat, membuat Yoomi menghela napas dan mengangguk.

"Ya, aku memang berbohong. Aku tahu, di mana Jihyo sekarang, dan aku tidak akan memberitahumu, karena aku sudah berjanji kepadanya. Sekalipun kau sudah tahu, Jihyo sudah berada jauh dari dirimu!" balas Yoomi dengan sarkas.

"Apa maksudmu?"

Yoomi tersenyum miris. "Kau mau tahu di mana Jihyokan? Akan aku katakan dan akan melanggar janji itu." Yoomi mengatakannya dengan mantap.

"Jihyo, dia telah pergi jauh. Dia telah meninggalkan Seoul dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini! Kau tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Jung," jawabnya. 

Jujur, Yoomi juga merasa kasihan dengan Jungkook. Itu dia, kenapa Yoomi membeberkan kebenarannya. Lagipula, kenapa ia harus menghalangi Jungkook yang ingin memperbaiki keadaan jika saja itu memang bisa?

Saat ini, Yoomi dapat melihat Jungkook langsung terperosok dengan isakan tersedu-sedu. Namun, pria itu langsung berdiri dan menatap Yoomi dengan lekat.

"Yoomi, kumohon katakan kepadaku! Di mana Jihyo pergi? Aku akan berusaha membawanya kembali lagi. Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya, Yoomi. Kumohon …."

Yoomi sekali lagi menghela napas. "Sebenarnya, aku tidak bisa mengatakan hal ini. Aku dan Mylan, sudah berjanji kepada Jihyo untuk merahasiakannya di mana dia akan pergi ke Busan. Jangan salah paham dengan Mylan, sebab pria itulah yang membantu Jihyo yang seperti mayat hidup di malam itu. Bahkan, saat ia sedang mengandung!"

Deg!

"Mengandung?"

Yoomi mengangguk. "Jihyo sedang mengandung anakmu, Jung!"

Tbc.

Gimana  menurut kalian gens?🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top