0.38
Mulmet :
Lyn - Back In Time
PUNCH - Done For Me
***
Jungkook masih tidak mempercayai dengan apa yang kini terjadi---serasa apa yang dilihat dan didengarnya, hanyalah sebuah ilusi. Akan tetapi, semua itu memang benar. Kaylie yang dinyatakan tewas karena kecelakaan mobil, nyatanya masih hidup karena takdir dan keberuntungan.
Kaylie selamat dari kecelakaan tragis pada waktu itu. Seseorang menyelamatkannya dan ia tidak sadar dalam waktu yang cukup panjang, karena disfungi otak akibat benturan keras saat kecelakaan itu. Kaylie bahkan tidak menyadari saat ia mengalami koma hampir setahun lamanya---menyusahkan seorang pria yang menolongnya hingga ia bisa bertemu dengan keluarganya.
Sebenarnya pun, Kaylie telah sadar sebulan lalu. Akan tetapi, efek samping dari koma, membuat ia mengalami kelumpuhan sementara dan kembali mengulur waktu untuk menemui keluarganya dengan menjalani perawatan. Namun, Kaylie tidak bisa menahan rasa bahagianya saat kini dipertemukan dengan keluarganya. Sampai-sampai, Kaylie kini tidak sadarkan diri karena kelelahan.
Jungkook masih tidak mengerti dengan keadaan. Bahkan, itu juga berlaku dengan Yeonjun saat mereka kini menanti dokter Hwang yang tengah memeriksa keadaan Kaylie yang terpejam di dalam kamar tamu. Hingga tidak lama, Dokter Hwang kini keluar dengan raut wajah seriusnya, menatap Jungkook dan Yeonjun.
"Aku sangat terkejut saat melihat Kaylie masih hidup dan penjelasan yang kalian katakan tentang kondisinya memang benar," kata dokter Hwang yang kini menatap Jungkook secara lamat-lamat lantas menghela napas. "Fungsi otaknya perlahan membaik. Akan tetapi, jangan membuat wanita itu merasa tertekan ataupun stres. Seperti kasus pada umumnya, akan berdampak buruk pada fungsi otaknya jika dia memikirkan banyak hal. Kalian bisa melihat tadi'kan?"
Jungkook dan Yeonjun perlahan mengangguk. Membuat dokter Hwang kini memberikan sebuah surat---resep obat yang harus ditebus di apotek setelah dokter Hwang memeriksa keadaan Kaylie yang kini terpejam dengan damai.
"Kak, apa yang kau lakukan sekarang?" tanya Yeonjun saat melihat Jungkook menatap Kaylie yang tengah berbaring. Ampuh membuat Jungkook kini menyisir rambutnya dengan kasar ke belakang dan menggeleng.
"Otakku tidak bisa berpikir apapun lagi," katanya. Beriringan dengan kehadiran seorang wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama, menatap Kaylie yang terbaring di dalam sana. Bahkan, Yeonjun maupun Jungkook amat terkejut saat Jihyo telah berada di antara mereka.
"Jung, aku ingin membicarakan beberapa hal kepadamu," katanya dengan lirih. Berusaha menahan sesuatu yang memanas dengan mengerjap-erjapkan maniknya berulang kali.
Jungkook tidak menatap Jihyo, tatapannya masih pada objek sebelumnya. "Tidak untuk saat ini, Ji. Aku belum bisa memahami keadaan."
"Aku ingin hari ini, Jung. Aku harap kau memahaminya!" Penekanan dari Jihyo, membuat Jungkook langsung mengalihkan tatapannya. Yeonjun yang berada di sana, telah merasakan hawa yang tidak menyenangkan. Apalagi, saat Jungkook kini menarik pergelangan tangan Jihyo untuk menjauh dari kamar.
Sebenarnya, Yeonjun tidak ingin mengambil bagian di masalah rumah tangga kakaknya. Akan tetapi, Jungkook bisa berubah kapan saja karena mengalami tekanan pada dirinya. Manalagi, saat Yeonjun dapat melihat bagaimana Jungkook yang menarik Jihyo---tanpa memikirkan Jihyo yang tengah kesusahan dan berhenti di ruangan yang terhubung dengan kolam renang.
"Kak, bisakah kau tidak seperti ini?" tanya Yeonjun dengan kesal, membuat Jungkook kini menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan.
"Yeonjun, pergilah di kamarmu dan urus istrimu!" ujar Jungkook dengan datar yang disertai dengan penekanan.
"Tapi kak---"
"Aku harap kau mengingat batasanmu di Mansion ini, Jeon Yeon Jun!"
Mendengar itu, membuat Yeonjun tidak bisa berkata-kata lagi, tatkala Jungkook menyebut nama lengkapnya---memiliki artian di mana sang kakak tengah menahan emosi yang kian membuncah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Yeonjun membungkukkan tubuhnya dan berlalu. Mencoba untuk memberikan ruang agar Jihyo dan Jungkook membicarakannya tanpa gangguan. Sehingga, hanya mereka berdua di tempat ini.
Akan tetapi, keduanya memilih untuk diam dengan pikiran yang terpusat pada masalah yang baru saja bertamu. Bahkan, saat tatapan mereka kini bertemu. Namun, masih enggan untuk membuka suara. Mungkin, jika Jihyo tidak menarik napas panjang dan bersiap untuk berujar, keadaan yang senyap akan terus terjadi dalam waktu sangat lama.
"Jung, Kaylie masih hidup," katanya dengan lirih. Sekuat tenaga menahan bendungan air mata yang ingin bercucuran dengan mengerjap-erjapkan kedua matanya.
Jungkook mengangguk dengan napas yang tertahan. "Itu benar. Aku bahkan sangat bingung untuk melakukan apa. Semuanya terasa memiliki beban yang membuatku terjun bebas ke dasar jurang," katanya dengan tatapan kosong. Membuat Jihyo meregang senyum getir. Bahkan, setelah ia mendengar tutur kata dokter Hwang mengenai keadaan Kaylie yang semakin memperumit semuanya.
Sama seperti Jungkook, Jihyo juga bingung. Akan tetapi, ia tidak bisa berada disituasi seperti ini. Sangat nyeri saat membayangkan bagaimana Kaylie memeluk Jungkook dan mengutarakan rasa rindu juga cintanya. Serasa ia menjadi pihak ketiga yang berusaha merebut apa yang menjadi haknya.
Jihyo tidak bisa berpiki jernih. Sesekali, ia menghapus tetesan air matanya dan mencoba untuk baik-baik saja. Akan tetapi, ia memang terlahir lemah jika berurusan dengan hati. Bahkan, saat Jihyo kini mencengkeram dengan kuat kemeja itu dan dengan payahnya, Jihyo tidak bisa menghalau air matanya untuk tidak menetes. "Jung …." suaranya terdengar lamat-lamat, "kau masih mencintainya?"
Pertanyaan yang sedari tadi ingin dilontarkannya saat melihat bagaimana Jungkook memberikan tatapan berbeda pada Kaylie. Dengan melipat kedua bibirnya, Jihyo menanti Jungkook untuk menjawabnya.
"Ji, kenapa kau bertanya soal---"
"Aku menanti jawaban atas pertanyaanku, Jung. Bukan menanti elakkanmu. Tidak apa-apa. Katakan dengan jujur saja. Apa kau masih mencintai Kaylie atau tidak?" katanya dengan kedua bibir yang bergetar dan meregang senyum.
Jungkook membisu. Membuat Jihyo menelan ludahnya susah payah dan menjadikan kancing kemeja itu sebagai paronamanya. "Jung, jangan diam saja. Katakan sesuatu! Apa kau masih mencintainya? Ayolah, kau membuatku seperti orang bodoh, tahu." Lantas Jihyo tertawa disela isakannya.
Dan tidak lama dari membisunya Jungkook, pribadi itu langsung mengangguk. "Masih."
Jihyo sontak menjauhkan jemarinya dari cengkeraman itu. Memilih menggosok telapak tangannya pada leher yang beralih mengusap wajahnya yang kini luntur dari riasan dengan gugup dan gelisah. Bahkan, saat Jihyo merasa lututnya sangat lemas hingga ia memegangi kedua pahanya dan berakhir di mana Jihyo merangkung di depan Jungkook dan membenamkan wajahnya pada lengannya.
Membiarkan tangis menggema kala mendengar kata yang amat nyelekit. Membuatnya linglung untuk melakukan suatu hal. "Hidup ini benar-benar lucu," kekehnya dan terisak secara bersama. "Aku bisa apa? Jika suamiku masih mencintai seseorang yang dulunya sangat berharga bagi hidupnya."
Jihyo terisak, membuat Jungkook merasakan kedua matanya yang memanas. Tangisan itu adalah kelemahannya, tetapi ia juga tidak berdaya dan tidak mengerti untuk melangkahkan dirinya sendiri.
Jihyo terluka. Sekujur tubuhnya merasakan rasa sakit yang menyerbu. Mendengar fakta ini, Jihyo lebih memilih untuk terpejam selamanya saja, ketimbang mengetahui bagaimana perasaan suaminya yang terbagi.
Telapak tangan Jihyo sontak menyisir rambut itu dan mengerahkan seluruh kekuatan agar ia bisa kembali berdiri. Terlihat Jihyo yang memejamkan mata dan menghembuskannya napas dengan bergetar.
"Jihyo …."
"Sebesar apa perasaanmu terhadapnya?" tanyanya dengan senyum getir. "Apa semua perkataan soal perasaan dan janji selama ini, hanya kepalsuan?"
"Kau harus istirahat, besok kita akan membahasnya. Sekarang bukanlah waktu yang tepat." Sambil meraih jemari Jihyo. Namun, sang empu menepis perlakuan Jungkook dengan kasar.
"Kalau kau disuruh untuk memilih, siapa yang akan kau pilih?" tanya Jihyo dengan tajam.
Jungkook mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat. Terlihat jakun itu naik turun saat mendengar pertanyaan dari Jihyo dan membuat sang empu, tertawa getir. "Kau pilih Jihyo atau Kaylie? Aku menanti, jawabanmu Jeon Jungkook," katanya dengan penekanan.
Untuk pertama kalinya, Jungkook melihat Jihyo seperti ini. Menuntut dan tidak ingin mendengar apapun saat pandangannya telah berpusat pada satu hal.
"Keadaan membuatku tidak bisa memilih apapun selain diam, Ji. Akan berakibat fatal pada fungsi otak Kaylie jika dia tahu apa yang telah terjadi sejak dia dinyatakan tewas dan kurasa, kau mendengar penuturan dari Dokter Hwang. Mengertilah untuk saat ini dan jangan mengedepankan egomu."
Mendengarnya membuat Jihyo tertawa getir. "Bisakah kau egois untuk saat ini? Bisakah kau hanya memikirkan bagaimana perasaanku dengan ini semua?"
Jungkook menggeleng, dengan ekspresi diamnya. "Kaylie juga masih istriku. Aku punya kewajiban dan tanggung jawab kepadanya---"
"Dan kau lebih memilih melepasku, Jung? Apa itu maksud dari ucapanmu?"
Dengan kilat, Jungkook kembali menggeleng. "Aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Ayolah, Ji. Kenapa kau seperti ini?"
Jihyo kembali menangis, untuk kesekian kalinya dan ia tidak tahu, seberapa banyak waktunya habis dengan air mata. Bahkan, ia tidak mengetahui bagaimana keadaannya saat ini yang masih mengenakan gaun pesta. Dengan napas tercekat, Jihyo menatap kedua bola mata itu. "Jung, aku tidak bisa. Rasanya sangat sakit. Dan, jika kau tidak ingin memilih di antara aku maupun Kaylie, aku yang akan mundur. Aku tidak bisa terjebak dihubungan seperti ini."
"Jihyo …." Sambil menuntun kedua kakinya untuk lebih dekat lagi, tetapi Jihyo memilih untuk mundur yang bersamaan dengan kehadiran seorang wanita.
"Jung!" Keduanya tersentak, kala Kaylie hadir di antara mereka. Buru-buru, Jihyo menghapus tetesan air mata yang berada di wajahnya dan berusaha untuk baik-baik saja. Sekalipun, rasa sakit dalam hatinya terus menyeruak kala Kaylie memeluk Jungkook dengan hangat. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Pertanyaan itu Kaylie suguhkan pada Jungkook yang langsung saja menatap ke depan, membuat Kaylie mendapati kehadiran seorang wanita yang mengenakan gaun dengan riasan yang berantakan akibat menangis. Sekalipun wanita di depannya itu tidak lagi meneteskan air matanya.
Dengan kebingungan, Kaylie menunjuk Jihyo melalui ekor matanya. "Dia siapa?"
Jungkook sontak meneguk salivanya dengan susah payah. Apalagi, saat ia dapat melihat tatapan Jihyo yang begitu terluka juga keadaan yang menekannya karena Kaylie yang berada difase tidak baik-baik saja.
Jika bisa memilih, Jungkook lebih baik menghilang saja saat ia dituntut untuk berada disituasi seperti ini.
"Jung!"
Jungkook mengerjapkan matanya, lantas menarik napas dan menghembuskannya. "Dia … dia sekretarisku. Sebelum kau ada, perusahaan mengadakan pesta untuk merayakan keberhasilan proyek."
"Ji, maafkan aku," batinnya sambil memejamkan mata menahan tangis.
"Oh, begitukah. Akan tetapi, kenapa kau menangis? Apa ada yang menganggumu?" tanya Kaylie pada Jihyo yang kini memberikan sebuah gelengan.
"Tidak ada, saya hanya ingin melakukan perpisahan, karena saya bukan lagi seorang sekretaris," katanya dengan senyum getir. "Dan, saya permisi dulu. Maaf karena menganggu waktu kalian berdua." Sebelum berbalik, Jihyo menatap manik Jungkook dengan lekat. Lantas menarik napas dalam-dalam yang kemudian berlari begitu lincah untuk meninggalkan tempat ini.
Jihyo ingin lenyap saja dari dunia ini.
Rasanya sangat menyakitkan, bahkan saat ia harus memilih pergi saat hatinya ingin bertahan untuk beberapa waktu.
Ia frustasi saat egonya berkata lain dan menuntunnya untuk meninggalkan semua kenangan yang pernah dibuat, harus hancur karena takdir.
****
Dengan keadaaan yang mungkin terlihat memprihatinkan, Jihyo menelusuri jalanan yang cukup sepi di saat rembulan telah berada di atas langit untuk memberikan pancaran kehidupan---mengganti fungsi matahari untuk sementara waktu. Sekejap, membuatnya tersadar di mana, apa ia sama seperti rembulan? Akan pergi, setelah matahari hadir?
Kenyataannya memang seperti itu. Mendadak, kewarasannya hilang saat ia berjalan tanpa haluan, sesekali menangis dan tertawa seperti orang bodoh.
"Aku benci dengan takdirku!"
"Aku benci denganmu, Jeon!"
Jihyo memekik cukup keras dan terisak. Jika bisa, ia ingin berteriak dan terus menangis hingga ia lelah dan berakhir tertidur hingga tidak mengenal waktu. Seandainya bisa, ia ingin seperti itu dan melupakan semua masalah yang menimpanya.
"Aku membenci keadaan yang seperti ini, Jung," isaknya beriringan saat ia kini menyeberangi jalan untuk menyinggah di halte bis.
Namun, tidak ada yang tahu apa yang terjadi suatu saat nanti. Termasuk saat Jihyo menyeberang dengan tatapan kosong yang bersamaan saat kilaun cahaya mencuat di sampingnya.
Jihyo memilih berhenti dan menatap mobil itu dengan getir. Membiarkan tubuhnya dihantam cukup keras, tetapi semuanya hanya angan saat mobil itu berhenti tepat di hadapannya saat ia menuntun tubuhnya untuk menghadap mobil.
"Hei! Kau sudah tidak waras, yah!"
Dan sekejap, Jihyo menangis sejadi-jadinya saat ia kini berjongkok dan membenamkan wajahnya pada lengannya. Membuat pria dari dalam mobil menahan kejengkelan saat ia harus menghadapi seorang wanita yang menangis. Dengan keadaan yang mendesak, membuat pria itu keluar dari mobil untuk memindahkan wanita itu dari jalanan.
"Nona, kenapa kau menangis? Jangan seperti ini."
Akan tetapi, bukannya berhenti. Jihyo terus menangis tanpa lelah, membuat pria itu menghela napas dan berniat untuk membawa Jihyo yang mengenakan gaun itu ke tepian. Memberikan banyak pertanyaan, saat Jihyo berpenampilan anggun tetapi sedikit memprihatinkan saat riasannya luntur karena menangis.
Pria itu menghela napas sekali lagi saat Jihyo sangat sulit untuk bangkit. Bahkan, saat Jihyo kini tidak sadarkan diri yang membuat pria itu terkejut bukan main, dan keterkejutannya makin bertambah saat melihat wajah Jihyo dengan lekat.
"Ji--Jihyo?"
Tbc.
Siapakah pria itu?
Oh iya. Maaf yah, kalau aku slow up sama jika menemukan typo😭
Maap juga kalau nggak sesuai sama ekspektasi kalyan😭
Dahlah, aku mau membenamkan diri di dalam selimut😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top