0.26
Gadis bermanik bulat itu, kini meratakan krim wajah pada permukaan kulitnya, seraya maniknya terus mengintip di mana pria yang kini menjadi suaminya dengan wajah kesal, melepaskan dasinya yang masih terpasang di kerah kemeja.
Ia memahami apa yang suaminya tengah rasakan sebagai seorang kakak. Manalagi, dalam hal ini, Yeonjun sepenuhnya tidak bersalah karena pria itu dalam keadaan tidak sadar. Dan sungguh, Jihyo begitu mengapresiasi suaminya yang memberikan dukungan kepada sang adik yang tengah merasakan tumpukkan beban yang membuat batinnya serasa terguncang.
Ia sangat mengerti hal itu.
"Ji, aku minta maaf." Penuturan dari suara itu, dengan kilat membuat Jihyo menyadarkan diri dari lamunan. Manalagi, disambung dengan kata maaf yang tidak dapat dimengertinya.
Jihyo sontak meninggalkan meja rias dan menuntun tungkainya ke arah Jungkook yang kini mendudukkan diri di atas kasur. "Kenapa minta maaf?"
Bukannya menjawab, Jungkook malah menggeleng, sembari menuntun maniknya untuk mengakses bagaimana gemulainya wajah Jihyo. Membuatnya semakin cinta dan cinta saja. Ia menarik kedua sudut bibirnya untuk terbentang "Karena masalah tadi, malam kita terganggu."
Ya, penuturan sederhana itu, dengan kilat membuat Jihyo menggigiti bibir bawahnya---agak takut setiap mengingat bagaimana cerita para wanita yang telah menikah tetapi masih mengambil bagian di kantor. Katanya, bercinta itu sangat sakit---bahkan tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Lantaran itu, membuatnya cukup takut---padahal, ia pernah mendengar obrolan beberapa orang yang malah menceritakan kesukaan mereka bercinta dengan teman kencannya.
Sudahlah, Jihyo sudah mengangkat kedua tangannya jika membahas persoalan ini. Perihal takut dan malu kini menyatu begitu saja. Manalagi, Jungkook saat ini memberikan seringai pada dirinya---seakan ia seperti sebuah santapan yang begitu sedap penuh polekkan.
"Jung---"
"Ouh, aku mengingat bagaimana kita jarang bertemu karena beberapa hal dan," jedanya. Seraya menghapus jarak yang membentang dan entah kapan, jari-jemari gagah Jungkook kini berada dipipi Jihyo dan membelainya dengan lembut. Elusan itu, membuat sang empu serasa disengat, padahal hal itu menjadi biasa yang dilakoni Jungkook secara tiba-tiba. Ia tidak mengerti pada dirinya, hingga di mana ia merasakan hembusan napas Jungkook dari perpotongan lehernya.
"Bisakah kita melanjutkan hal tertunda pada waktu itu?"
Apa ini sebuah permintaan sebelum suaminya itu melalukannya? Seperti jika ia meminta izin terlebih dahulu. Akan tetapi, Jihyo sepertinya harus menghapus pemikirannya itu dikarenakan Jungkook yang langsung saja mengambil alih akan dirinya dengan memberikan sedikit lumatan di leher yang kemudian berpindah kebibir.
Jihyo tidak bisa menahan gejolak yang ada pada dirinya. Apalagi, saat Jungkook benar-benar menjadi pribadi dominan pada malam ini. Memberikan kenikmatan yang memuncak seakan dirinya terbang ke atas langit dengan semerbak bintang yang berkilau. Bahkan, dikala itu, Jihyo harus menepis tentang pikirannya yang mengambil kesimpulan, berhubungan intim itu begitu menyakitkan.
Awalnya memang seperti itu. Namun, lama kelamaan, ia merasakan kenikmatan untuk pertama kalinya dan harus Jihyo akui, ia sangat menikmatinya. Bahkan, kedua bibirnya terus saja mengeluarkan suara yang membuat Jungkook terus bersemangat untuk menyentuk titik puncak itu.
****
Helaan napas terus menguar di tengah udara malam yang cukup dingin, tetapi ia tidak peduli dan terus mengarahkan amatannya pada sebuah rumah minimalis yang tidak terlalu jauh dari bar dari dalam mobilnya—setelah dirinya mendapat arahan dari seseorang.
Ia telah mengumpulkan tekad untuk membicarakan hal serius ini, walau dirinya belum menghubungi sang empu, karena masalah dari pihak sana yang tidak dapat dihubungi. Awalnya, Yeonjun merasa frustrasi karena tidak mendapati presensi wanita itu, tetapi salah seorang bartender menceritakan bahwa wanita itu tidak hadir, karena masalah kesehatan setelah ia mengeluarkan pertanyaan untuk wanita itu. Bahkan, ia juga bertanya akan alamat rumahnya, sehingga ia dapat dengan mudah berada di sini.
Yeonjun kembali menghela napas. Setidaknya, hampir setengah jam dirinya mengamati rumah itu, tanpa memiliki niat untuk memberikan ketukan pintu pada pemilik rumah. Ia ingin memastikan terlebih dahulu, tetapi sepertinya, itu bukanlah alasan yang tepat karena kedua jemarinya sontak berkeringat dingin dan sedikit bergetar.
"Ais, jangan seperti ini, Yeonjun!" Pribadi itu mencoba menyemangati dirinya. Mencoba mengatakan ia bisa melampauinya, sehingga kobaran semangat langsung mencuat begitu saja yang membuat jemarinya membuka pintu mobil.
Akan tetapi, itu harus urung terjadi ketika rungunya mendengar suara pekikkan yang membuatnya terperanjak. Manalagi, suara itu berasal dari sana.
"Kak, jangan mengambil uang itu! Aku harus membeli keperluan rumah--"
"Dasar adik tidak berguna! Kau bisa mencari uang lagi. Seharusnya, malam ini kau bekerja! Kenapa harus merasa tidak enak badan? Menyusahkan saja!"
Yeonjun dapat melihat dan mendengar adegan itu dari sebalik kaca mobilnya. Bahkan, maniknya harus melihat di mana wanita itu dijambak oleh pria yang berperan sebagai kakak lelaki dengan penuh amarah.
"Ingat! Ini terakhir kalinya aku melihatmu izin seperti ini! Kau harus bekerja karena dengan itu, aku bisa bermain judi dengan temanku agar kita bisa cepat kaya!" ucap pria itu sembari menghempaskan sang adik. Membuat wanita itu terduduk di depan pintu sembari menahan rasa perih yang langsung menyeruak.
Yeonjun dapat melihatnya dan lubuknya serasa tidak tega---ada satu gejolak yang membuatnya ingin memberikan pelajaran pada pria itu yang kini berlalu dengan santai. Tanpa memikirkan bagaimana adik perempuan yang harus dilindunginya begitu terluka dengan tangisannya.
Buru-buru, Yeonjun meninggalkan tempat bersarangnya setelah pria itu telah menghilang bagai sihir. Sedikit mempercepat langkah hingga maniknya dapat melihat wanita itu yang kini mendongak menatapnya.
Wanita itu masih terisak dan terduduk. Sementara Yeonjun, ia masih berdiri di hadapan wanita itu, belum memberikan satu ujaran karena yang melakukannya adalah Goo Ji Ah.
"Kenapa datang? Ingin melihat betapa menderitanya aku? Atau kau memang tidak mempercayaiku dan menganggapku wanita pembohong yang memanfaatkan keadaaan?"
Tutur kata itu begitu menusuknya, tetapi ia mencoba tidak peduli dan membantu Jiah dengan segera untuk bangkit, walau sang empu tampak menepisnya dan melakukannya seorang diri sembari menahan ringisannya.
"Jiah, apa kau baik-baik saja?"
Wanita itu dengan kilat memicingkan mata dan tersenyum kecut. "Menurutmu, aku baik-baik saja'kan?"
"Kenapa kau berkata seperti—“
“Apa alasanmu ke sini? Bukankah sudah katakan ditelepon tadi? Aku akan menggugurkannya. Tenang saja, aku tidak akan menyusahkan siapapun,” pangkas wanita berambut panjang sepinggang itu pada Yeonjun dengan mata berkaca.
Sekilat, Yeonjun merasakan kelu pada kedua bibirnya yang memilih terkatup—seakan dirinya ingin menatap wanita itu saja tetapi harus dihentikan sesaat wanita bernama Goo Ji Ah itu berbalik dan mengambil langkah untuk masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Bahkan, Yeonjun tidak menyadari sesaat jemarinya menghentikan langkah wanita itu dengan mengcekal pergelangan tangannya.
Jiah tentu terkejut, tetapi ia masih bisa mengendalikan ekspresi wajahnya di mana ia menatap sinis pada Yeonjun dan jemari itu secara bergilir. Hingga, Yeonjun sontak melepaskan cekalan tangan itu secara tiba-tiba dan menghembuskan napas berulang kali.
“Jiah, aku tahu, apa yang terjadi itu sangatlah salah. Namun, aku tidak setuju dengan keputusanmu.”
Jiah yang mendengarnya, memicingkan mata lalu tersenyum kecut. “Kau sedang sakit, yah?” lantas Jiah menyisir rambutnya ke belakang. Berusaha menahan gejolak kekesalan yang terpendam. “Terus? Kau ingin melakukan apa? Hanya itu jalan satu-satunya saat ini—“
“Alasanku kesini karena itu.” Pun membuat Jiah dikelilingi ribuan pertanyaan pada benaknya. Manakala, Yeonjun yang tiba-tiba ingin membahasnya. Padahal, seingatnya, pria itu terus saja bertutur kata seolah-olah tidak mengerti harus menuntun langkahnya ke intensi mana. Ia tidak mengerti saja. Apalagi, saat ia harus menghadapi Yeonjun yang berbeda dengan pribadi yang diketahuinya di mana pria itu menundukkan sedikit kepalanya lalu memberikan elusan pada perutnya yang masih rata dengan sangat lembut.
Jangan tanyakan bagaimana terkejutnya Jiah ketika Yeonjun memberikan sebuah sengatan.
“Berapa usianya?” pertanyaan itu tentu diberikan pada satu nyawa yang baru saja tumbuh di dalam sana.
“Sekitar dua minggu,” jawabnya. Membuat Yeonjun mengangguk lantas tersenyum tipis.
“Apa kau mengalami mual? Maksudku—kau pasti mengerti atas pertanyaanku’kan?”
Bukannya menjawab, Jiah malah menghela napas. “Aku mengalaminya ataupun tidak, bukan urusanku! Dan sekarang, coba jelaskan maksud kedatanganmu! Bahkan, sikapmu yang begitu aneh.” Sambil melipat tangan di dada pada detik selanjutnya.
Namun, sepertinya, Yeonjun belum ingin lepas dari pandangan dan apa yang dilakukannnya. Jiah ingin sekali memberikan protes tetapi harus teurungkan, karena ada gejolak aneh yang menjalar tetapi sulit untuk ia jelaskan. Bahkan, saat Yeonjun masih memilih diam dan meninggalkan beribu pertanyaan pada benaknya.
“Tu—“
“Aku akan bertanggung jawab.”
“Aku akan memperbaiki semuanya dengan menikahimu.”
Apa yang terdengar seperti ilusi, tetapi suara berat Yeonjun terdengar sangat nyata—menggema dikepalanya. Manakala, kedua maniknya langsung disuguhkan mata cokelat pekat Yeonjun yang teduh. Jiah mendadak bisu dan mencoba mencari sebuah dusta atau jebakan pada manik itu.
Yeonjun yang seperti paham, langsung tersenyum tipis. “Aku tidak berbohong. Setelah merenungkan banyak hal, akan sangat berdosa saat melakukan apa yang kau putuskan. Kita sudah membuat dosa dengan melakukannya—“
“Itu bermula darimu!’’ pangkasnya, membuat Yeonjun seketika terdiam. Namun sekilat, mengangguk.
“Itu faktanya, akan tetapi, sangat berdosa saat membuatnya tiada. Aku memang keparat! Tetapi, aku tidak mungkin membiarkan darah dagingku tiada begitu saja. Aku tidak ingin menyesal suatu hari nanti. Jadi, aku mohon, biarkan aku menebus semuanya dengan melakukan apa yang seharusnya."
"Itu memang tidak mudah, tetapi aku akan berusaha menjadi pria sejati dengan melindungi dan menjaga kalian berdua. Aku akan mengeluarkanmu dari kekangan pria tadi."
"K--kau, melihatnya?"
Yeonjun mengangguk, kemudian meraih kedua jemari Jiah dan menggenggamnya. "Aku mohon, jangan menolaknya. Aku yakin, kau juga tidak ingin melakukan ini."
"A--aku …." Kedua bibir Jiah tampak bergetar dengan mata yang mengerjap. "Aku tidak tahu."
"Kenapa? Kau takut dengan pria itu'kan?" Dan, diamnya Jiah atas pertanyaan itu, membuat Yeonjun tersenyum tipis. Lantas, menuntun kedua jemarinya beralih pada kedua pipi tirus itu. "Jangan takut! Tidak akan terjadi hal apapun yang membuat kalian terluka. Itu janjiku."
Mendengar penuturan itu, membuat lubuk Jiah seketika melemah. Ia memang tidak sanggup atas keputusannya, tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada jalan keluar selain hal itu. Akan tetapi, Tuhan sepertinya tidak menyetujui hal itu dengan membuat Yeonjun bertanggung jawab setelah merenungkan banyak hal.
Jiah tidak meminta banyak hal. Akan tetapi, permintaan dari pria di depannya ini, membuat satu keinginannya terkabul di mana ia tidak perlu melakukan apa yang ada dibenaknya.
Ia bisa apa selain memberikan anggukan kepala? Permintaan ini tentu menguntungkan. Jiah akui, mereka akan terikat tanpa cinta. Namun, setidaknya, anaknya akan lahir dengan potret keluarga yang lengkap. Tidak seperti dirinya yang tidak mengenal siapa kedua orangtuanya sebenarnya.
***
Sampai jumpa teman-temanku tercintahh😘💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top