0.19
Maapin yah kalau nemu typo :)
*****
Waktu kenyataannya berjalan dengan cepat. Tidak terasa, sudah seminggu berlalu---setelah dirinya ke distrik Songpa. Bahkan, ini sudah seminggu lebih dirinya menjadi kekasih dari Presdir Jeon'Corp.
Gara-gara itu, ia harus mati-matian menghindar dari paparazi yang selalu saja mengeluarkan pertanyaan dan membuatnya menjadi sosok yang terintimidasi.
"Apa anda benar-benar berkencan dengan Pemilik saham Jeon'Corp?"
"Sudah berapa lama anda menjalin hubungan dengan pebisnis Jeon?"
Bahkan, masih banyak lagi.
Itu membuatnya kewalahan, tetapi beruntung, tidak seburuk seperti hari-hari kemarin yang bahkan membuatnya seperti bukan Jihyo yang sebenarnya.
Padahal, Jeon Jungkook bukanlah seorang artis. Pria itu hanyalah seorang pebisnis andal yang menjadi pusat perhatian, tetapi seharusnya tidak sampai begini juga.
Apalagi, saat ia juga harus mendapati pribadi Jeon yang kadang hangat seperti musim semi dan kadang dingin melebihi musim salju.
Hoh! Itu adalah tantangannya.
"Tidak, aku tidak bisa menyelesaikan semuanya saat ini, Jung. Sekarang, aku ada di trotoar dan berniat kembali ke rumahku," decaknya sebal. Apalagi, saat seseorang menyenggol lengannya yang membuat kantong plastik itu berserakan.
Ia ingin menggerutu kesal, tetapi karena lawan bicaranya yang malah melakukannya dan membuat ia harus bisa mengendalikan dirinya. Dicapitnya benda pipih itu sembari memunguti kantong plastik tersebut.
"Ji, bagaimana kau bisa seperti itu? Tidak! Tidak! Kembali ke perusahaan--"
"Tidak bisa!"
Biarkan saja Jungkook memaki di sana. Lagipula, ia sudah meminta izin untuk lekas pulang, karena beberapa hal di mana ia harus ke panti asuhan Moonlight lalu berbelanja untuk keperluannya.
Akan tetapi, pria itu sepertinya suka sekali membuatnya kesulitan seperti ini.
Ia menghela napas lantas berdiri---berjalan dan meninggalkan tempat ini. Namun, tungkainya malah membawa dirinya ke kursi taman.
Ia menaruh belanjaannya itu di sampingnya, lantas meraih ponsel saat mendengar deringan akibat Jungkook yang terus saja menghubungi. Sebenarnya, ia ingin menjawab, tetapi baterai ponselnya yang tidak memadai, membuat harapan itu hilang---ponselnya tiba-tiba saja mati.
"Sial!" umpatnya dengan meremas benda pipih itu seraya mengedarkan pandangannya menatap sekitar.
Ya, tidak ada hal yang menjanggal atau bagaimana. Hanya lalu lalang pejalan kali. Namun, itu tidak lama sesaat manik bulatnya menangkap bagaimana segerombolan anak melakukan keusilan pada seorang anak perempuan.
Jihyo tidak tahu pasti permalasahan yang mereka coba tuntaskan, tetapi salah satu dari gerombolan itu, maju dan melayangkan pukulan.
Itu tindakan tidak terpuji yang membuat Jihyo mendekat dan mungkin akan dicap sebagai pahlawan kesorean. Apalagi, saat ia yang membantu anak perempuan itu untuk berdiri.
"Apa yang Bibi lakukan? Kami sedang bermain--"
"Bermain dalam artian menyakiti? Apa kalian semua tidak punya otak?" sarkastisnya. Namun, segerombolan anak laki-laki itu malah tertawa.
"Bibi tidak tahu apa-apa. Perempuan ini mengadu pada guru dan membuatku harus mendapati hukuman. Dia tentu harus mendapatkan timbal balik walau itu sebenarnya tidak memiliki arti apapun." Anak laki-laki itu menggerutu.
"You really deserve to be punished."
Anak perempuan itu menatap anak laki-laki tersebut dengan nyalang yang membuat anak laki-laki itu hendak kembali melayangkan pukulan.
"Hei, apa kau tidak takut hukuman atas perlakuanmu pada anak perempuan ini?"
Anak laki-laki itu menggeleng. "Kenapa harus takut? Ayahku seorang pengacara andal dan Bibi seharusnya tidak ikut andil dalam permasalan ini."
Sontak Jihyo merotasikan maniknya saat anak laki-laki itu menyeret pekerjaan orangtuanya yang sebenarnya tidak diperlukan. Ia lantas terkekeh dan membuat anak lelaki itu menggeram. "Wow! Anak pengacara andal yang telah berani memukul anak perempuan, dan memiliki perbandingan 1 dan 5. Bukankah berita yang bagus?"
Anak perempuan itu mengangguk setuju. "Berikan berita tambahan dimana 5 anak laki-laki membuat perkumpulan di belakang sekolah di mana 5 anak laki-laki itu sedang merokok dengan seragam yang masih melekat."
Pernyataan itu membuat Jihyo melongo tidak percaya. "Kalian merokok? Astaga! Berapa usia kalian sekarang? 8? 9?"
"8 tahun--akh--" Ucapan salah satu anak laki-laki itu terputus saat mendapati injakan keras dari salah satu temannya.
Jihyo menggeleng lalu melipat kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Pantas saja kalian dihukum, tetapi kenapa malah mengelak dan memukul seorang perempuan? Kalian ini masih sangat kecil, tetapi kenapa nakal sekali?"
Anak laki-laki itu pun berdecak dengan memasang wajah tidak peduli. "Terserah apa yang Bibi ingin katakan, karena pada dasarnya, aku tidak peduli," ucapnya dengan mantap lalu menatap temannya. "Mari kita pergi dan awas kau!"
Lima anak laki-laki itu telah pergi dan membuat Jihyo geram saja, karena masalah ini belumlah selesai. Ia ingin meneriaki 5 anak laki-laki itu, tetapi suara yang terdengar lembut lantas menghentikannya.
"Terima kasih, Bibi. Aku tidak mengenalmu tetapi kau wanita yang baik. Kapan-kapan, aku akan membalasnya."
Oh, lucunya. Jihyo kontan memperlihatkan senyumanya. "Tidak masalah. Aku hanya melakukan beberapa hal dan oh iya, kenapa belum pulang? Masih menunggu jemputan?" tanyanya yang mendapat anggukan dari sang empu.
"Aku menunggu Dadku, tapi dia sedang sibuk. Jadi saat ini, aku menunggu supir."
Jihyo mengerti. "Baiklah, perlu ditemani?"
Anak perempuan itu tampak berbinar. Ia ingin mengangguk, tetapi panggilan dari arah belakang membuat kegiatan mereka terhenti.
"Aku ingin, tapi supir Dadku sudah datang," ucapnya dengan cemberut.
Itu begitu menggemaskan. Ia tidak tahu pada dirinya yang tiba-tiba saja mengusap pipi tirus itu lalu mengelus rambut cokelat tersebut. "Tidak masalah, masih ada besok dan besok. Sepertinya, kita akan bertemu lagi," kekehnya yang membuat anak perempuan itu tersenyum.
"Tentu dan terima kasih sekali lagi, Bibi," ucapnya dengan memberikan salam formal. Ia bahkan bisa melihat saat anak perempuan itu mengaitkan jemarinya pada sang supir yang ingin menuntunnya karena jalanan yang begitu ramai.
Jihyo bisa melihat itu. Ia bahkan memerhatikan hingga mendapatkan lambaian tangan dari anak perempuan itu.
"Nona Moni, hati-hati!"
Seketika, kurva di bibir Jihyo perlahan memudar. Tunggu, Moni?
Bukankah anak Jungkook bernama Moni?
Akan tetapi, menurutnya itu hanya kebetulan saja, karena pemilik nama Moni bukanlah satu atau dua orang saja. Begitu banyak jiwa di dunia ini. Namun, kenapa ia langsung memikirkan Moni, anak Jungkook?
*****
Jihyo menghempaskan tubuhnya di kasur empuk dikarenakan seluruh tubuhnya serasa kebas akibat menunggu bis untuk rute ke rumahnya. Hampir sejam lamanya, mungkin. Padahal, ini bukanlah pertama yang ia lakukan---mungkin sudah keseringan tapi hari ini seperti berbeda.
Ia menghela napas, lantas merogoh ponsel dari dalam saku.
Oh my god! Ia lupa jika baterai ponselnya telah habis. Dengan buru-buru, ia mengisi daya ponselnya sembari menyalakannya. Antisipasi jika seseorang akan menghubunginya dan itu benar saja.
Siapa lagi kalau bukan Jeon Jungkook.
[Presdir Jeon]
Kenapa kau memutuskan sambungannya secara sepihak?
[Presdir Jeon]
Kau bahkan mematikan ponselmu.
[Presdir Jeon]
Jihyo
Jihyo melongo tidak percaya. Begitu banyak riwayat panggilan dari Jungkook, padahal apa yang mereka bahas tadinya, tidaklah terlalu penting. Hanya menyelesaikan perencanaan untuk perilisan tablet. Akan tetapi, Jungkook terus mencoba menghubunginya.
Lihat! Bahkan sampai sekarang.
"Ada a--"
"Sialan kau! Kenapa kau mematikan ponselmu! Aku hampir jantungan saat mendengar kau seperti meringis kesakitan dan tiba-tiba saja ponselmu mati."
Itu kalimat tercepat yang pernah Jihyo dengar. Membuatnya kehabisan kata-kata saat Jungkook menjadi dominan.
Ia mengerjap. "Eh, itu, seseorang tidak sengaja menyenggolku sehingga membuat barang belanjaanku berserakan. Ponselku tiba-tiba mati karena baterainya habis," ujarnya lantas menghela napas. "Aku sudah menjelaskannya. Jadi, coba ceritakan alasan lain kau menghubungiku?"
Seberang sana terdengar mendesah dan sontak membuatnya tidak mengerti.
"Tidak ada, hanya khawatir saja karena kau tidak seperti biasanya."
Jihyo lantas memperbaiki posisinya untuk duduk di atas kasur empuknya. "Oke, kalau begitu, aku tutup--"
"Jangan!"
Seketika ia mengerut bingung dan tertawa. "Kenapa?"
"Aku masih ingin mendengar suaramu. Jangan matikan dulu."
Sungguh, penuturan itu membuatnya tersedak sendiri. "Hah? Kita bahkan selalu bertemu, Tuan Jeon Jungkook."
"Park Jihyo, aku merindukanmu."
-----
Yaudah, nikahin cepat kook☻ kagak takut diembat ama Mylan nih? 👉👈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top