Empat Belas
"Vi, ada yang nyairiin lo, tuh. Cowok," ucap Dewa saat melewati kubikel Nivriti.
"Siapa?"
"Mana gue tahu. Tuh, di depan lagi ngobrol sama Arsen. Buruan, kayaknya mereka mau berantem."
Nivriti mengerutkan kening. Selama ini dia tidak pernah menerima tamu laki-laki di kantor. Siapa juga yang kurang kerjaan sampai menyambanginya. Tidak mungkin kakaknya yang di Singapura itu pun menemuinya di kantor. Tidak mungkin juga kurir paket. Belakangan ini dia sedang mengurangi belanja online. Nivriti penasaran, dia pun bergegas ke depan.
"Lo ngapain?" seru Nivriti setelah mengetahui siapa tamunya.
"Gue tinggal, ya." Arsen menepuk lengan laki-laki itu kemudian dia tersenyum kepada Nivriti sambil mengusap kepalanya.
Nivriti mendengus panjang. Dia sama sekali tidak berekspektasi bahwa Estu—adik tirinya akan mengunjunginya. Soalnya hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hubungan Nivriti dengan saudara-saudara tirinya memang tidak cukup dekat. Makanya dia heran bisa-bisanya salah seorang dari mereka datang di kantornya. Tentu saja ini bukan pertanda baik.
"Gue disuruh Papi jemput lo. Pulang ke rumah," tukas Estu sambil menyilangkan tangan di dada.
"Ngapain? Bilangin Papi gue bakal mampir weekend ini," cetus Nivriti. Dia sadar sudah jarang mengunjungi ayahnya. Selain ayahnya itu tipe orang sibuk, yah Nivriti memang tidak terlalu berminat berkunjung ke kediaman ayahnya apalagi sampai menginap.
"Kata Papi lo sakit-sakitan. Lo nggak usah protes, ikutin aja kata orangtua biar cepat beres dan gue nggak disuruh-suruh mulu," cetus Estu.
"Sakit-sakitan dari mana? Gue sehat-sehat gini."
"Gue nggak tahu, tapi Papi nyuruh gue jemput lo hari ini. Lo harus nurut, Vi. Lo tahu sendiri gimana Papi kalau emosi. Lo sama Arsen bisa aja dibikin putus."
Selama ini Nivriti tidak pernah memberitahu kondisinya pada siapa pun kecuali Barga dan Arsen tentunya. Bahkan kepada ayahnya, dia tidak memberitahu. Nivriti pikir ayahnya pun tidak akan peduli. Lantas dari mana sang ayah bisa tahu? Kemungkinan besar Barga yang memberitahu, tapi Nivriti tidak yakin.
Nivriti menarik napas panjang. Pulang ke rumah ayahnya berarti harus menginap paling tidak beberapa hari. Ini adalah momen paling tidak diinginkannya. Tetapi jika dihindari pun justru semakin memperkeruh situasi.
"Gue masih kerja. Jemput juga nggak jam segini kali," ucap Nivriti menyerah.
Estu mengamati arloji. "Jam lima itu kan masih dua jam lagi. Gue bisa tunggu lo di parkiran. Entar telepon aja kalau lo udah selesai. Biar gue samperin ke lobi."
Setelah mengatakan itu, Estu memutar tumit lantas berlalu. Sekali lagi Nivriti mendengus. Tidak ada pilihan lagi, untuk saat ini dia hanya bisa menuruti keinginan ayahnya.
"Dia cuma adik tiri, tapi tingkahnya posesif banget. Bang Barga aja nggak segitunya sama aku. Kamu ingat nggak sebelum aku pindah ke apartemen, Estu sempat diemin aku dua hari. Sekarang tiba-tiba dia jemput aku dengan alasan disuruh Papi. Lagaknya sok paling-paling aja. Nggak ngerti lagi sama anak itu," oceh Nivriti saat ia mematikan komputer.
"Itu karena Estu udah anggap kamu seperti kakak kandungnya, Vi. Estu kan nggak punya kakak, mungkin dia merasa kamu bagian dari tanggung jawabnya," ujar Arsen yang berdiri di sebelah Nivriti.
"Hm, kayaknya beberapa hari ini kita bakal jarang berangkat dan pulang bareng. Bocah itu pasti ribet. Aku nggak mau lama-lama di rumah, Sen. Bosen banget pasti nggak bisa bebas," gerutu Nivriti.
Arsen tertawa kecil. "Masih banyak orang yang sayang sama kamu, Vi. Kamunya aja
yang kurang peka. Feeling orangtua, Vi. Mungkin papi kangen sama kamu. Lagian kamu jarang nengok, sih."
"Iya, sih." Nivriti menggumam.
Berpisah dengan Arsen di lobi, Nivriti langsung masuk ke dalam mobil Estu. Sebenarnya dengan berat hati Nivriti ikut, tapi begitu ingat dia memiliki keluarga yang tidak selalu dipunyai semua orang membuatnya menghentikan keluhan. Nivriti melambaikan tangan pada Arsen setelah memeluknya seolah mereka akan berpisah. Padahal Nivriti hanya menginap dan mereka masih bisa bertemu esoknya.
"Ke apartemen dulu gue mau ambil baju," ujar Nivriti.
"Di rumah banyak baju. Lo kayak mau minggat aja," sahut Estu sambil terus mengemudi.
Baru saja Nivriti mau membantah, Estu keburu berucap, "Skincare, sepatu, tas, dompet, bahkan tumbler lo yang katanya kembaran sama Arsen masih ada di lemari. Kamar lo tiap hari dibersihin. Lo tinggal bawa badan doang."
Oh, pantas Nivriti tidak pernah melihat tumbler-nya. Dia lupa menaruh dikira hilang ternyata ketinggalan di rumah. Padahal itu salah satu tumbler kesukaannya.
Sepanjang perjalanan keduanya diam. Nivriti sesekali sesekali mengamati Estu dari samping. Dia membayangkan jika setiap hari bertemu dengan orang ini pasti bakal sering bertengkar.
"Lo tahu dari mana gue sering sakit belakangan ini?" tanya Nivriti akhirnya bersuara. Lama-lama tidak tahan juga berdiaman. Malah suasananya makin aneh dan canggung.
"Lo pernah pasang status di medsos, kan? Bentar doang kayaknya habis itu lo hapus. Nah, kebetulan gue lihat. Gue cerita sama Papi terus gue disuruh jemput lo."
"Dasar tukang ngadu!"
"Udahlah, lo balik rumah aja. Apartemennya disewain. Lagian rumah itu tempat paling aman. Kenapa sih lo nggak betah di rumah?"
Nivriti mengunci bibir. Pandangannya teralih ke jalanan.
"Karena ada gue? Lo masih nggak terima Papi nikah sama Mama?" Suara Estu terdengar menghakimi.
"Gue lagi nggak pengin bahas begituan. Basi," gumam Nivriti semakin memalingkan muka.
Tidak ada gunanya menentang sesuatu yang sudah terjadi. Barangkali memang semua hanya perasaan Nivriti saja. Nivriti hanya merasa asing karena situasinya tidak sama lagi. Dia ingin menciptakan lingkungannya sendiri.
Dan tibalah keduanya memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup luas. Rumah masa kecil Nivriti yang memiliki kenangan tak terhingga. Setiap kali ke sini, dia selalu teringat sang ibu. Seharusnya ayahnya tidak usah tinggal di sini. Rumah ini terlalu banyak memiliki memori seolah tidak pantas jika dihuni oleh pendatang baru seperti Estu dan mamanya. Namun, Nivtiri tidak bisa mengatur. Kepemilikan rumah ini masih tercatat atas nama ayahnya.
"Ayo," ajak Estu.
Nivtiri ragu. Dia merasa seperti tamu di rumah sendiri. Asing.
"Nivi ... akhirnya kamu pulang. Apa kabar, Nak?" sambut mama seraya memeluk Nivriti.
"Baik," jawab Nivriti tanpa membalas pelukan. Lalu dia tersenyum kecil, melangkah menuju kamar tanpa menghiraukan Estu dan mamanya.
"Kamu nggak makan? Mama masak opor ayam kesukaan kamu," seru mama, tapi tetap Nivriti abaikan. Langkahnya terus terayun.
Nivriti melihat sekeliling, tidak terlihat tanda-tanda ayahnya di rumah berarti pria paruh baya itu masih berkutat dengan pekerjaan di luar sana. Usai mengunci pintu dari dalam, Nivriti segera merebahkan badan. Matanya terpejam meresapi suasana kamar yang lama tidak ia kunjungi.
Seolah berada di tempat baru, Nivriti mencoba beradaptasi. Dia tidak tahu berapa lama akan menginap di sini. Setidaknya sampai bertemu dengan ayahnya, baru dia kembali lagi ke apartemen.
Estu : Di depan kamar lo ada makanan.
Gue yg naruh, disuruh Mama. Katanya, lo bakal semakin sakit-sakitan kalau nggak makan.
Nivriti berdecak membaca pesan dari ponselnya. Sok perhatian banget. Kesannya Nivriti lemah banget jadi manusia. Pasti dia sedang cari muka sama ayahnya.
Bagaimanapun juga, akhirnya Nivriti mengambil makanannya. Mengesampingkan ego, daripada kelaparan lebih baik makan.
Akhirnya bisa update lagi.
Ayooo jangan lupa vote dan komentarnya yaaa
Sekalian aku mau spill.
Coming soon akan terbit ...
Follow juga instagram @purpleefloo untuk seputar update cerita-cerita aku ya..
30102022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top