Chapter 9

"Yaah... nyamuknya terbang," ujar pangeran. Aku meraba keningku yang terasa gatal. Bisa kurasakan bentol kecil mulai muncul.

"Apa perlu kuambilkan minyak?" tanya pangeran.

"Tidak perlu Pangeran, nanti saja hilang," ujarku.

"Tapi kau baik-baik saja, 'kan? Kenapa wajahmu juga iburah?" Mata tajam itu memandangiku.

"Ohh... itu... ah iya udaranya sedikit panas di sini, saya merasa kegerahan." Pangeran mengangguk, ia kembali ke tempat semula.

"Kau mau ke suatu tempat besok?" tanya pangeran.

"Ke mana Pangeran?" sahutku.

"Rahasia." Pangeran mengedipkan matanya. "Besok pagi kau akan tahu, tunggu saja aku di pintu belakang istana," titah pangeran. Aku mengangguk mengerti. Sudah lama aku tidak pergi ke luar istana.

Aku sangat merindukan lingkungan luar, bertemu dengan banyak orang. Saling bertegur sapa, pergi ke ladang dan bertemu Badra. Bagaimana kabar pria itu sekarang?

****

Pagi ini, matahari belum terbit. Ayam sudah berkokok sejak beberapa saat lalu. Tetesan embun pagi masih terasa,menghantarkan hawa dingin. Kudekap erat tubuhku, kuusap lengan telanjangku untuk mengusir dinginnya udara.

Api di dalam sentir itu bergoyang saat dihembuskan angin. Aku duduk di sebuah batu besar, menunggu kedatangan pangeran.

Aku menunggu kedatangam pangeran. Kami sudah berjanji akan pergi keliling desa. Kugenggam erat keranjang kecilku, mungkin nanti aku bisa membeli beberapa barang di pasar.

"Sudah lama menunggu?" Aku berdiri dan tersenyum melihat pemilik suara bariton itu. Pangeran memberikan sebuah topi yang terbuat dari anyaman bambu. Topi bulat dengan atasan mengkerucut itu sering kulihat dipakai oleh para buruh saat panen di ladang.

"Pakailah, damuh masih menetes, jangan sampai kau sakit," kata pangeran. Kami berjalan bersisian. Lampu sentir yang kubawa menerangi setiap langkah kami.

"Aku sangat merindukan suasana pasar," ujar pangeran ibucah keheningan. Aku tidak langsung menanggapi, aku ingin mendengar kalimat selanjutnya.

"Aku bukan orang yang suka dengan kemewahan. Aku ingin memiliki banyak teman dalam kesederhanaan."

"Jadi itu alasan pangeran pergi diam-diam?" tanyaku.

"Mungkin itu salah satu alasanku. Tujuanku yang utama adalah melihat kehidupan rakyat. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasa. Aku tidak ingin menelantarkan rakyat demi kesenanganku semata."

"Anda akan akan menjadi raja yang Agung. Yang akan dicintai oleh rakyat," ujarku. Pangeran memandangku.

"Untuk itu aku harus memiliki pendamping yang memiliki tujuan yang sama, yang selalu menerangiku dalam segala keadaan," ujarnya lirih.

Aku tahu cepat atau lambat kebersamaan ini akan berakhir. Pangeran akan bersanding dengan orang yang sepadan, orang yang memiliki pengaruh dan tentu mencintainya. Aku selalu menyangkal jika perasaan ini hanya rasa kagum, yang bisa hilang kapan saja. Tapi hari ini perasaan itu muncul begitu nyata.

Aku tidak bisa menyangkalnya lagi, jika aku menaruh hati. Bukan karena pangeran adalah pangeran tapi karena pangeran adalah Jayapangus.

Aku rela jika bertepuk sebelah tangan. Karena aku menyadari bahwa cinta yang tidak tercapai masih disebut dengan cinta.

Para wanita berjalan kesana-kemari menjunjung barang dagangnya. Suara para pedagang begitu riuh meramaikan suasana pagi. Beberapa waktu lalu kami telah sampai di rgas pasar Wijayakranta. Pasar yang menjual hasil ladang, begitu pula dengan hewan ternak.

Pangeran menggenggam tanganku dan menariknya lembut ke arah seorang pedagang.

"Maaf, apa yang Anda jual?" tanya pangeran pada penjual itu. 

"Saya hanya menjual jagung rebus, hanya jagung yang saya punya di ladang," ujar wanita tua itu.

"Boleh saya membeli sepuluh?" Wanita itu mengagguk semangat, pangeran mengambil alih keranjang kecilku. Dialasinya dengan daun pisang sebelum jagung-jagung dimasukkan.

"Pangeran untuk apa membeli jagung sebanyak itu?" tanyaku dengan nyaring. Keadaan yang hingar bingar membuat kami harus bicara lantang. Pangeran tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Nanti saja kau tahu, Sang Wei," sahut pangeran.

Bumi semakin terang, pasar semakin sesak dengan lautan manusia. Sebuah permainan menyita perhatian separuh orang.

"Ayo... siapa yang ingin mencoba lagi? Kalian bisa mendapatkan barang langka jika ibunangkan permainan ini," ujar seorang pria tua dengan begitu semangat.

Pangeran menarik tanganku mendekat ke arah kerumunan itu. Tiga buah meja kayu kecil ada di tengah-tengah kerumunan. Para pengunjung sangat antusias dengan permainan itu. Aku hanya menyaksikannya. Satu meja dengan dua peserta.

"Masih tersisa satu meja lagi, siapa yang ingin bergabung?" teriak pria itu lagi.

"Aku ingin mencoba." Aku cukup terkejut dengan ucapan pangeran. Semua orang melihat ke arah kami.

"Pangeran apa Anda yakin ingin ikut? Itu permainan apa?" bisiku cemas.

"Itu adalah permainan adu kekuatan, kecepatan dan ketangkasan, aku ingin mencobanya," bisik pangeran.

"Ya... pria aneh yang di sana, cepat kemari!" ujar si penyelenggara.

       Pangeran berdiri di meja ketiga, dia membuka topi bambunya dan menatapku. Aku tersenyum memberinya semangat.

"Tinggal satu orang lagi, siapa yang ingin bergabung?" teriak pria tua itu.

"Aku!" Seorang pria muncul dari kerumunan pengunjung. Dia semakin mendekat ke tengah area.

"Sudah lengkap ternyata peserta kita."

Aku menoleh ke arah pria itu. Aku mungkin sedang berkhayal melihat pria itu adalah Badra. Kutepuk pelan pipiku berharap bayangan itu menghilang. Sepertinya aku tidak bermimpi.

Sekarang Badra dan Pangeran Jayapangus berhadapan di meja ketiga. Sepertinya mereka akan berpasangan untuk ibunangkan pertandingan ini. Aku sedikit pesimis mereka akan menang, lawan mereka cukup tangguh dan berbadan besar. Ada yang berjenggot panjang dengan otot yang menonjol di kedua lengannya, ada pula yang berkumis lebat tapi berbadan pendek. Kekuatan mereka tidak diragukan lagi.

Aku menyusup ke depan penonton. Jaring sudah terpasang, membatasi antara penonton dan area pertandingan.

"Baiklah pertandingan akan segera dimulai. 1... 2... 3... mulai!"

Puluhan ekor ayam dilepas ke area pertandingan, semua peserta berlomba menangkap ayam betina itu. Bahkan itik kecil pun ikut berpartisipasi dalam pertandingan.

Dua pria dari meja pertama mencoba menangkap ayam betina yang berbadan subur. Mereka berusaha menjebak ayam itu, tapi sayang ayam itu lebih gesit menghindar.

Tidak jauh berbeda dengan dua pria dari meja dua, nasib buruk mereka rasakan saat ayam yang ingin mereka tangkap tiba-tiba memuntahkan lahar panas dari pantatnya. Aku yakin itu sangat bau.

Berbeda dengan peserta lainnya yang menangkap ayam besar, Badra dan pangeran justru menangkap itik kecil. Beberapa kali mereka berusaha menangkap itik-itik itu tapi terus gagal.

Suara penonton semakin heboh, menyemangati setiap peserta.

"Ayo kaliam pasti bisa!!" teriakku. Aku menunduk saat Badra menoleh ke arahku. Syukurlah topi yang pangeran berikan bisa menutupi wajahku.

Pertandingan semakin seru, belum ada yang menangkap satu ayam pun sejak tadi. Pengunjung yang menyaksikan berteriak menggila. Ini bukan pertandingan sambung ayam yang harus teriaki.

"Kami menangkapnya," ujar Badra dan Pangeran Jayapangus bersamaan.

"Pertandingan selesai, pemenangnya adalah perserta meja ketiga," ujar pria tua itu dengan lantang.

Badra dan pangeran kembali ke meja yang ada di tengah area mengambil hadiah yang dijanjikan. Wajah keduanya terlihat bahagia saat tim penyelenggara memberikan hadiahitu.

 Perlahan pengunjung membubarkan diri saat rintik hujan mulai turun. Benar saja sejak pagi matahari tidak bersinar hangat, rupanya langit sedang mendung. Pangeran menghampiriku dengan berlari kecil.

"Ayo kita berteduh, sepertinya akan hujan deras." Pangeran menarik tanganku, mencari tempat berteduh. Setiap rumah yang kulihat berjejer rapi bambu-bambu yang dihias dengan janur.

Kami berhenti di sebuah rumah kecil, hujan turun semakin besar dan deras.

"Permisi, maaf apa kami boleh berteduh di sini sebentar?" tanya pangeran pada pemilik rumah.

"Tentu boleh, mari ikut saya," ujar wanita paruh baya itu. Aku dan pangeran mengikuti wanita itu sampai di bilik timur.

Badanku menggigil diguyur hujan, kuusap kedua lenganku mengusir dingin yang menusuk sampai ke tulang .

"Kalian bisa beristirahat di sini," ujarnya.

"Terima ini sebagai ucapan terima kasih kami atas kebaikan Anda," kata pangeran menyerahkam jagung rebus yang kami beli di pasar.

"Baiklah." Perempuan itu kemudiam pergi.

Aku mengangguk paham. Rasa hangat kurasakan saat memasuki ruangan itu. Aku duduk bersandar dekat tembok, tikar pandan menjadi alas dudukku. Pangeran duduk di sebelahku.

"Pangeran,” ucapku pelan.

"Ada apa?" tanya pangeran. Aku menatapnya, rasa penasaran mengalahkan rasa malu.

"Kenapa semua penduduk memasang bambu di depan rumah mereka?" ujarku

"Itu namanya penjor, semua hasil bumi di gantung pada bambu itu untuk mengucap syukur," jelas pangeran.

"Apa akan ada upacara besar?" tebakku.

"Iya, sebentar lagi perayaan kemenangan," jawab pangeran.

"Upacara apa itu, Pangeran?" Aku semakin penasaran dibuatnya.

"Kau masih ingat saat aku mimpi buruk, Sang Wei?" Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Semenjak mimpi buruk itu, aku mulai terpikirkan untuk melaksanakan yadnya kembali. Terutama merayakan Galungan."

Aku terdiam, memberikan pangeran kesempatan untuk menjelaskan.

"Kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan melawan musuh dalam diri, mengendalikan sifat buruk terutama keinginan atau nafsu," jelas pangeran.

"Aku mengerti, apa mimpi itu sangat menyeramkan?"

"Hhmm... aku merasa mimpi itu adalah pertanda untuk kembali menjalankan yadjna. Para pendeta juga menyetujuinya."

Suara ketukan pintu memotong pembicaraan kami.

"Ini pakailah, agar kalian tidak kedinginan," wanita si pemilik rumah itu memberikanku dua helai kain panjang. Aku bisa menggunakannya sebagai selimut.

"Sepertinya kita akan menginap di sini," ujar pangeran setelah wanita paruh baya itu keluar.

Aku mencari posisi nyaman untuk duduk, hujan lebat masih terdengar dari luar. Beruntung tidak ada kliat dan guntur yang menyertai.

"Pangeran...."

"Ada apa?" 

"Saya ingin mengatakan sesuatu," ujarku gugup.

"Katakan saja," sahut pangeran. Aku meremas kain yang kujadikan selimut. Mungkin ini saatnya aku ungkapkan semua isi pikiranku.

"Sebenarnya ...."

Damuh =air embun

Yadjna/yadnya= Persembahan kepada Dewa dengan hati tulus ikhlas.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top